Jumat, 22 Maret 2013

Pertaruhan Melawan Mafia Impor


Pertaruhan Melawan Mafia Impor
Nabiel Al Musawa ;  Ketua Kelompok Komisi (Poksi) IV Fraksi PKS,
Anggota Tim Perumus RUU Pangan
REPUBLIKA, 21 Maret 2013


Indonesia merupakan negara yang sebagian besar masyarakatnya bertopang pada sektor pertanian sebagai mata pencaharian. Akan tetapi, kesejahteraan petani Indonesia tidaklah tinggi. Mereka sering dirugikan oleh permainan supply-demand.

Permasalahan pertanian dan pangan menjadi sebuah ironi bagi negeri ini. Sebuah ironi karena Indonesia merupakan negara agraris penghasil bahan pangan, tetapi melakukan impor pangan dalam jumlah yang tidak sedikit. Kenyataannya, impor pangan sering dilakukan ketika data statistik menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami surplus dan masa panen.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata enam persen dalam lima tahun terakhir yang dibarengi dengan meningkatnya kebergantungan pada barang impor, terutama pangan dan bahan bakar minyak. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konsumsi dari impor itu lebih banyak dinikmati oleh negara eksportir dan justru memiskinkan rakyat. Pada 2012, impor Indonesia meningkat delapan persen menjadi 191,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.821 triliun. Impor pada awal tahun ini juga membuat cadangan devisa dalam dua bulan terakhir merosot menjadi 105,2 miliar dolar AS dari 112,8 miliar dolar AS pada akhir 2012.

Kebijakan dua periode pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu yang bertumpu pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri membuat ekonomi nasional berada dalam posisi dilematis. Impor membuat potensi bangsa melemah, basis agraris jalan di tempat, lautan tidak optimal, dan sumber daya alam dikeruk habis.

Praktik Kartel

Praktik kartel menciptakan kegiatan ekonomi berbiaya tinggi yang monopolistik, oligopolistik, serta ketidakseimbangan pasar. Kartelis-kartelis inilah yang sering membuat bahan kebutuhan pokok langka dan harganya berfluktuasi tanpa sebab yang jelas. 

Berdasarkan hasil pendataan yang dilaksanakan oleh Kementan dan BPS serentak di seluruh Indonesia pada 1- 30 Juni 2011, populasi sapi potong mencapai 14,8 juta ekor, sapi perah 597,1 ribu ekor, dan kerbau 1,3 juta ekor. Kalkulasi di atas kertas menunjukkan ketersediaan daging sapi yang berasal dari produksi dalam negeri dan dari impor sangat mencukupi kebutuhan masyarakat. Kenyataannya, harga daging sapi mengalami lonjakan drastis. Belum lagi, persoalan kelangkaan dan kenaikan harga bawang yang terus melonjak dalam dua pekan terakhir menembus Rp 50 ribu per kilogram.

Kondisi seperti ini jelas merujuk pada praktik kartel. Boleh jadi kondisi ini sengaja diciptakan sebagai bentuk pukulan balik dari para kartelis terhadap kebijakan Kementerian Pertanian mengurangi kuota impor daging sapi dan pengaturan impor produk hortikultura yang memangkas pendapatan mereka. Jaringan kartelis tak peduli keluhan masyarakat, mereka bersikap pragmatis yang penting meraup untung.

Pemerintah mesti mengubah paradigma pembangunan untuk lebih fokus menuju kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Hal paling mendasar yang harus segera dilakukan adalah mengubah mental bangsa menjadi mental produsen kebutuhan nasional ketimbang mental pedagang barang impor. 

Selama ini, upaya mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan nasional tersisihkan oleh kepentingan elite dan kroni yang cenderung memperkaya diri melalui perburuan rente pada beragam barang impor. Akibatnya, kini Indonesia menjadi negara yang memiliki ketergantungan tinggi dan tidak mampu mandiri pada sektor strategis seperti pangan. 

Pertumbuhan ekonomi tinggi dari sektor konsumsi yang mayoritas dari impor hanya memperkaya negara eksportir dan memiskinkan rakyat sendiri.
Pemerintah belum berpihak ke petani sebagai produsen pangan. Justru kewenangan diberikan kepada importir untuk mendatangkan bahan pangan yang membanjiri pasar lokal. Anggaran pangan yang relatif sangat kecil memperlihatkan pemerintah belum serius untuk mendukung kemandirian dan kedaulatan pangan.

Solusi

Kartel pangan memang tidak mungkin hilang dalam sekejap. Namun, jika negara saja nyaris tidak berdaya, berarti tidak ada lagi lembaga atau institusi `kuat' yang bisa berhadapan dengan para kartel dan mafia pangan. Di sini pertaruhan nasional melawan mafia impor dipertanyakan. 

Jangan-jangan negeri ini memang harus dipimpin oleh para bandit di mana sekelompok elite penguasa memberi ruang khusus bagi para mafia pangan tersebut. Mungkin itulah yang membuat kartelis dan mafioso pangan bisa bertahan hingga saat ini.

Solusi untuk menindak para kartelis raksasa ini perlu kerja lintas sektoral dan interdepartemental, terutama di kementerian yang menangani perdagangan, perindustrian, Dirjen Bea Cukai, Kepolisian RI, dengan pemda setempat. Jika ada kolaborasi dengan para pemangku kepentingan, KPK harus turun tangan. 

Kerja lintas sektoral ini harus dengan tim khusus yang dikomandani oleh Menko Perekonomian sebagai penanggung jawab. Tanpa usaha tersebut, negara ini akan jatuh ke tangan para kartelis dan masyarakatnya akan makin terbelit gurita kemiskinan berkepanjangan. 
Wallahu'alam bish shawab. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar