Indonesia
merupakan negara yang sebagian besar masyarakatnya bertopang pada sektor
pertanian sebagai mata pencaharian. Akan tetapi, kesejahteraan petani
Indonesia tidaklah tinggi. Mereka sering dirugikan oleh permainan supply-demand.
Permasalahan
pertanian dan pangan menjadi sebuah ironi bagi negeri ini. Sebuah ironi
karena Indonesia merupakan negara agraris penghasil bahan pangan, tetapi
melakukan impor pangan dalam jumlah yang tidak sedikit. Kenyataannya, impor
pangan sering dilakukan ketika data statistik menunjukkan bahwa Indonesia
sedang mengalami surplus dan masa panen.
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia rata-rata enam persen dalam lima tahun terakhir yang
dibarengi dengan meningkatnya kebergantungan pada barang impor, terutama
pangan dan bahan bakar minyak. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang
mengandalkan konsumsi dari impor itu lebih banyak dinikmati oleh negara
eksportir dan justru memiskinkan rakyat. Pada 2012, impor Indonesia meningkat
delapan persen menjadi 191,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.821 triliun.
Impor pada awal tahun ini juga membuat cadangan devisa dalam dua bulan
terakhir merosot menjadi 105,2 miliar dolar AS dari 112,8 miliar dolar AS
pada akhir 2012.
Kebijakan
dua periode pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu yang bertumpu pada impor
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri membuat ekonomi nasional berada dalam
posisi dilematis. Impor membuat potensi bangsa melemah, basis agraris jalan
di tempat, lautan tidak optimal, dan sumber daya alam dikeruk habis.
Praktik Kartel
Praktik
kartel menciptakan kegiatan ekonomi berbiaya tinggi yang monopolistik,
oligopolistik, serta ketidakseimbangan pasar. Kartelis-kartelis inilah yang
sering membuat bahan kebutuhan pokok langka dan harganya berfluktuasi tanpa
sebab yang jelas.
Berdasarkan
hasil pendataan yang dilaksanakan oleh Kementan dan BPS serentak di seluruh
Indonesia pada 1- 30 Juni 2011, populasi sapi potong mencapai 14,8 juta
ekor, sapi perah 597,1 ribu ekor, dan kerbau 1,3 juta ekor. Kalkulasi di
atas kertas menunjukkan ketersediaan daging sapi yang berasal dari produksi
dalam negeri dan dari impor sangat mencukupi kebutuhan masyarakat. Kenyataannya,
harga daging sapi mengalami lonjakan drastis. Belum lagi, persoalan
kelangkaan dan kenaikan harga bawang yang terus melonjak dalam dua pekan
terakhir menembus Rp 50 ribu per kilogram.
Kondisi
seperti ini jelas merujuk pada praktik kartel. Boleh jadi kondisi ini
sengaja diciptakan sebagai bentuk pukulan balik dari para kartelis terhadap
kebijakan Kementerian Pertanian mengurangi kuota impor daging sapi dan pengaturan
impor produk hortikultura yang memangkas pendapatan mereka. Jaringan
kartelis tak peduli keluhan masyarakat, mereka bersikap pragmatis yang
penting meraup untung.
Pemerintah
mesti mengubah paradigma pembangunan untuk lebih fokus menuju kemandirian
dan kedaulatan pangan nasional. Hal paling mendasar yang harus segera
dilakukan adalah mengubah mental bangsa menjadi mental produsen kebutuhan
nasional ketimbang mental pedagang barang impor.
Selama
ini, upaya mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan nasional tersisihkan
oleh kepentingan elite dan kroni yang cenderung memperkaya diri melalui
perburuan rente pada beragam barang impor. Akibatnya, kini Indonesia
menjadi negara yang memiliki ketergantungan tinggi dan tidak mampu mandiri
pada sektor strategis seperti pangan.
Pertumbuhan
ekonomi tinggi dari sektor konsumsi yang mayoritas dari impor hanya
memperkaya negara eksportir dan memiskinkan rakyat sendiri.
Pemerintah belum berpihak ke petani sebagai produsen pangan. Justru
kewenangan diberikan kepada importir untuk mendatangkan bahan pangan yang
membanjiri pasar lokal. Anggaran pangan yang relatif sangat kecil memperlihatkan
pemerintah belum serius untuk mendukung kemandirian dan kedaulatan pangan.
Solusi
Kartel
pangan memang tidak mungkin hilang dalam sekejap. Namun, jika negara saja
nyaris tidak berdaya, berarti tidak ada lagi lembaga atau institusi `kuat'
yang bisa berhadapan dengan para kartel dan mafia pangan. Di sini pertaruhan
nasional melawan mafia impor dipertanyakan.
Jangan-jangan
negeri ini memang harus dipimpin oleh para bandit di mana sekelompok elite
penguasa memberi ruang khusus bagi para mafia pangan tersebut. Mungkin
itulah yang membuat kartelis dan mafioso pangan bisa bertahan hingga saat
ini.
Solusi
untuk menindak para kartelis raksasa ini perlu kerja lintas sektoral dan
interdepartemental, terutama di kementerian yang menangani perdagangan,
perindustrian, Dirjen Bea Cukai, Kepolisian RI, dengan pemda setempat. Jika
ada kolaborasi dengan para pemangku kepentingan, KPK harus turun
tangan.
Kerja
lintas sektoral ini harus dengan tim khusus yang dikomandani oleh Menko
Perekonomian sebagai penanggung jawab. Tanpa usaha tersebut, negara ini
akan jatuh ke tangan para kartelis dan masyarakatnya akan makin terbelit
gurita kemiskinan berkepanjangan.
Wallahu'alam
bish shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar