Panggung
Bre Redana ; Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
13 September 2015
Panggung adalah
refleksi kehidupan, di mana dulu baik pada masyarakat tradisional di sini
maupun pada zaman klasik dan modern di Barat orang berkaca diri. Pertemuan
langsung antara pemain di panggung dan penonton itulah yang seketika
membedakan antara panggung dan dunia film maupun televisi. Pada dua yang
disebut terakhir, hubungan manusia dimediasi citra.
Untuk urusan panggung,
proyek Indonesia Kita yang dimotori oleh Butet Kartaredjasa dan Agus Noor
merupakan salah satu proyek tontonan paling sukses di TIM tahun-tahun
belakangan ini. Setiap kali pentas, tiket selalu ludes. Kadang, jumlah
pementasan harus ditambah.
Mereka telah menemukan
sistem produksi yang efisien dan efektif. Di situ termasuk formula
estetiknya, yang sebenarnya biasa dilakukan oleh kelompok-kelompok kesenian
rakyat kita di masa lalu, entah wayang, ketoprak, maupun yang mutakhir
kelompok lucu Srimulat pada zamannya.
Kelompok-kelompok
panggung tradisional kita melakukan pengolahan keseniannya dalam tradisi yang
berbeda dibanding tradisi berteater di Barat. Siapa saja yang mempelajari
teater Barat tentu akrab dengan istilah reading, tafsir atas reading,
blocking, moving, dan seterusnya. Proses reading alias membaca dan menafsir
naskah bisa berlangsung berbulan-bulan sebelum berlanjut ke pengadeganan.
Sebaliknya pada teater
rakyat kita, proses berlangsung terbalik. Yang diutamakan adalah posisi,
gerak, sesuatu yang berhubungan dengan tubuh. Tak ada naskah, apalagi naskah
yang rinci. Yang ada hanyalah apa yang mereka kenal dengan istilah penuangan,
di mana sutradara atau pimpinan grup membagikan gagasan cerita pada para
pemain. Kelompok Srimulat yang berpentas setiap malam di Taman Ria Senayan
pada tahun 1980-an, melakukan penuangan beberapa menit sebelum pertunjukan
dimulai. Setelah itu pemain mengembangkannya sendiri di atas panggung. Hal
seperti itu pasti masih dilakukan oleh kelompok-kelompok kesenian rakyat yang
masih tersisa sekarang.
Semua tadi bisa
berjalan dikarenakan kecakapan, keterampilan, kemampuan merespons situasi,
diandaikan telah melekat pada para seniman panggung. Spontanitas mereka tidak
jatuh dari langit. Mereka terasah memproyeksikan diri sebagai tokoh untuk
menghidupkan cerita, lewat proses panjang berkesenian yang mereka geluti dan
tekuni bertahun-tahun. Ditambah energi yang muncul karena kehadiran penonton,
lengkaplah panggung menjadi miniatur kehidupan.
Ya, pertemuan langsung
alias sesrawungan selalu memunculkan energi. Hakikat manusia adalah makhluk
sosial. Peradaban manusia sendiri berangkat dari kebutuhan bersosialisasi
yang menjadi sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Kebudayaan lahir
dari ritual, termasuk ekspresinya yang paling kuno, yakni tari. Waktu itu
bahasa belum ada. Tubuh menjadi piranti sosial pertama.
Kini, signifikansi
tubuh makin ditinggalkan orang. Politik tubuh digantikan istilah yang
diucapkan banyak orang namun barangkali tak dipahami benar maknanya, yakni
politik pencitraan. Dengan ditinggalkannya signifikansi tubuh yang berarti
juga signifikansi tindakan, terjadi kesenjangan antara kata dan perbuatan.
Terlebih ketika hubungan manusia dimediasi oleh citra, serta piranti-piranti
teknologi informasi. Spontanitas tindakan diganti dengan spontanitas
celetukan seperti Anda temui di Twitter.
Sejatinya, kesenian
hanya sarana untuk mengungkap segi-segi terdalam manusia, termasuk antara
lain kebutuhannya untuk bersosialisasi atau sesrawungan tadi. Pada titik itu,
soal-soal teknis seperti menyangkut kriteria estetik kesenian bakal teratasi
dengan sendirinya. Justru pamrih berkesenian itu yang dalam beberapa hal
perlu dihilangkan. Meminjam paradoks Zen: karena aku berkesenian maka aku
tidak berkesenian.
Jangan terlalu percaya
pada televisi, dan lain-lain media kontemporer. Mereka telah menjadikan hidup
sebagai reality show. Kita perlu
kembali kepada kewajaran hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar