Jiwa Zaman dalam Sastra
Warih Wisatsana ; Sastrawan; Penulis Puisi
|
KOMPAS,
13 September 2015
Sebuah karya sastra,
roman atau naskah drama, yang berlatar periode kunci sejarah tertentu,
semisal pergulatan historis Indonesia pada awal abad ke-19, sewaktu mulai
bertunasnya gagasan identitas kebangsaan, terbukti berpeluang menjadi karya
besar yang mencerahkan. Sebut saja tetralogi Buru dari Pramoedya Ananta Toer,
War and Peace karya Leo Tolstoy
(1863), novel semi biografi The Sun
Also Rises Ernest Hemingway (1926), atau karya Conrad, In the Heart of Darkness (1905).
Para penulis tersebut
sejatinya tidak semata menuturkan dengan piawai karakter dan konflik
antartokohnya, melainkan sebagaimana keyakinan kaum sejarawan, sesungguhnya
menyuguhkan upaya eksplorasi pada Geistzeit
atau jiwa zaman. Melalui romannya yang fenomenal itu, Leo Tolstoy dengan
realistis menggambarkan kemelut 580 tokoh-tokohnya, berlatar penyerbuan
Napoleon ke Rusia. Sedangkan The Sun
Also Rises adalah novel semibiografi berlatar perang saudara di Spanyol,
di mana Hemingway bertugas sebagai jurnalis. Adapun Joseph Conrad memaparkan
teror yang merundung masyarakat Kongo di bawah kekuasaan Raja Belgia.
Demikian juga sejumlah
pengarang Jepang tersohor dan diakui dunia, semisal Yasunari Kawabata,
Kenzaburo Oe, Haruki Murakami, dan Yukio Mishima, juga mencipta novel yang
menggali Geistzeit. Namun, jiwa zaman tersebut tidak dituturkan secara
langsung sebagai penggambaran keadaan, melainkan dideskripsikan dengan sublim
dan mendalam melalui kemelut batin tokoh-tokohnya.
Novel atau roman
tersebut sesungguhnya bukan sepenuhnya karya fiksi, yang jauh berjarak dari
kenyataan, akan tetapi adalah sebuah dunia rekaan pengarang yang membaurkan
serpihan pengharapan, kenangan-kenangan pribadi, dan juga realitas sejarah.
Peristiwa-peristiwa dalam novel menggenangi pembaca dengan berlapis kejadian.
Pada tataran tertentu, hal itu boleh jadi adalah sebentuk strategi estetik
pengarang dalam menguraikan kerumitan latar sejarah yang dialami tokoh-tokoh
novelnya, sekaligus berdialetika mengundang permenungan para pembacanya.
Menimbang tetralogi Pramoedya
Pramoedya Anantar
Toer, di dalam tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah, dan Rumah Kaca), memang terbukti adalah tafsir atas jiwa zaman,
membicarakan periode kunci sejarah Nusantara semasa benih-benih kebangsaan
mulai tersemai, pada awal abad ke-19. Tokoh Minke dan Nyai Ontosoroh ada
dalam pusaran zaman yang serba paradoks, di mana kolonialisme sedang memuncak
sekaligus juga dibayang-bayangi gerakan kesadaran baru, yakni arus pencerahan
humanistis universalis yang meniscayakan adanya keadilan, merekahkan
benih-benih kebangsaan dan kelak terbukti turut menderaskan gelombang
kemerdekaan di berbagai penjuru dunia.
Boleh dikata, yang
menjadi tokoh utama adalah Sang Sejarah itu sendiri. Novel Pulau Buru sebenarnya
menyiratkan paradoks yang melekat pada kebudayaan Barat sejak Auflärung abad
ke-18, yaitu kontradiksi antara ideologi universalis modern, yang hendak
memperluas jangkauannya dengan senantiasa mengkritisi diri, dan logika sistem
kapitalis yang cenderung melahirkan aneka ragam dominasi.
Kritik Pramoedya atas
kolonialisme juga diserukan sebelumnya oleh pengarang besar Perancis, Victor
Hugo, bahkan pengarang Amerika, Mark Twain, memelopori liga
anti-imperialisme. Seiring itu juga, pergolakan berkobar di mana-mana,
masyarakat terjajah mulai bangkit kesadaran berbangsanya, memunculkan
berbagai gerakan perlawanan.
Novel inspiratif, Max
Havelaar (1860), karya Multatuli, mengiringi lahirnya arus kesadaran baru
tersebut, berkisah tentang Saijah dan Adinda—hidup sekitar 40 tahun sebelum
Minke dan Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia. Seturut Max Havelaar itu, lahirlah
kebijakan Politik Etis Belanda (1901), bersemangat reformis, namun tidak
mampu mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang menyertainya. Lantaran tujuannya
mengadaptasi kolonialisme pada ragam kapitalisme yang lebih terbuka, bukan
menggantikan penjajahan dengan sistem lain, sehingga menimbulkan
pertentangan, baik yang pro maupun yang kontra atas kolonialisme.
Novel tetralogi Pulau
Buru menarik untuk disandingkan ataupun dibandingkan dengan novel-novel yang
mengeksplorasi jiwa zaman yang sama, baik dari pengarang Indonesia lainnya
maupun pengarang luar, semisal pengarang Perancis, Catherine van Moppès
(Emilie: Java 1904, telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia).
Bila Catherine van
Moppès bertutur sudut pandang wanita muda Eropa yang tengah merumuskan jati
diri dan pandangan antarbangsa, tokoh Minke dari Pramoedya juga berbicara hal
yang tak jauh beda. Kedua tokoh rekaan tersebut meski berbeda latar budaya
dan psikologinya, hidup dalam kurun waktu yang sama.
Kedua penulis ini
mewartakan pentingnya memperjuangkan humanisme yang melampaui batas-batas
bangsa, di mana Emilie dan Minke terlibat dalam situasi-situasi pelik, serta
dicekam prasangka-prasangka rasial-kultural. Menariknya, kedua sosok anak
manusia muda, sama-sama menyinggung perihal perjuangan Multatuli serta
mengagumi sosok RA Kartini, yang ramai diperbincangkan karena gagasan
emansipasinya.
Upaya menyandingkan
sekaligus membandingkan novel-novel berlatar historis tersebut, bukan semata
dapat membantu kita meresapi dan memahami sejarah kebangsaan Indonesia,
melainkan juga berpeluang menjernihkan dan mencerahkan.
Demikian pula tentu
harapannya bila membaca novel-novel berlatar tragedi tahun 65, baik karya
Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk), Umar Kayam (Sri Sumarah dan Bawuk), atau
karya Bre Redana (65 dan Blues Merbabu), Putu Oka Sukanta (Istana Jiwa),
Noorca Massardi (September), berikut yang belakangan dari Laksmi Pamuntjak
(Amba), Leila Chudori (Pulang), serta lain-lain, termasuk novel atau roman
selatar yang penulis dengar akan segera terbit setelah melalui riset yang
panjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar