Menghidupkan Tradisi Riset
Lukmanul Khakim ; Staf Khusus Menteri Riset Teknologi dan
Perguruan Tinggi
|
REPUBLIKA,
01 September 2015
Angan menjadi
kenyataan. Itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi pendidikan
tinggi hari ini. Setidaknya, jalan untuk menuju kenyataan itu telah terbuka
dan hanya tinggal menagih komitmen para pelaku untuk mewujudkannya. Kenyataan
itu tidak lain adalah tradisi riset yang berkualitas.
Wacana penggabungan
pendidikan tinggi dengan Kementerian Riset yang digembar-gemborkan sejak dulu
telah menjadi kenyataan. Ini pascaperesmian Kabinet Kerja 2014-2015 yang di
dalamnya terdapat Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang
dijabat oleh M Nasir.
Kabar menggembirakan
ini bukanlah puncak dari cita-cita pendidikan tinggi kita yang
digadang-gadang mampu mendulang serta menghasilkan riset unggul dan mutakhir.
Tentu pula, bisa diandalkan untuk bersaing di kontestasi dunia internasional.
Namun, sesungguhnya ini adalah awal dari perjuangan panjang ke depan.
Menristek Dikti M
Nasir membeberkan kondisi terkini tradisi riset yang miris di dunia
pendidikan tinggi kita saat menggelar rapat kerja dengan Komisi X DPR pada
April lalu. Data Kemenristek mencatat Indonesia hanya mampu menghasilkan 22
ribu jurnal ilmiah bertaraf internasional, itu pun akumulasi dari 10
perguruan tinggi terbaik.
Jumlah ini masih
sangat sedikit. Bandingkan saja, misalnya, tak usah negara-negara Barat, di
tingkat ASEAN saja kita masih kalah. Malaysia menghasilkan 150 ribu jurnal
ilmiah, Thailand 58 ribu, dan Singapura 160 ribu. Angka ini diperoleh dari
jumlah publikasi jurnal bertaraf internasional yang terpublikasi pada indeks
Scopus/, sebuah database abstrak dan Citation
dari /Peer Reviewed artikel jurnal,
dan literatur dari berbagai sumber situs penting lainnya.
Terry Mart dalam
esainya "Darurat Riset"
(2014) mengatakan, lemahnya tradisi riset di perguruan tinggi Indonesia
adalah salah satu faktor utama yang membawa kita menjadi bangsa yang paceklik
penelitian. Hal inilah yang kemudian membuat Syamsul Rizal dalam artikelnya,
"Meningkatkan Kualitas Riset" (2014), menekankan perlunya penekanan
kembali kepada seluruh dosen serta pejabat perguruan tinggi, termasuk rektor,
agar fokus mengerjakan riset.
Pemandangan yang marak
kita jumpai sekarang adalah dosen berlomba-lomba memperbanyak jam untuk
mengejar target jam mengajar. Penelitian dan pengabdian dinomorduakan.
Akibatnya, saat tiba giliran penelitian lapangan dan terjun ke masyarakat, ia
kalang kabut dan gagap.
Lemahnya budaya riset
juga sangat besar kemungkinan dipengaruhi oleh masih minimnya anggaran yang
dialokasikan untuk kebutuhan riset. Jika dibandingkan negara-negara maju,
Indonesia hanya memiliki alokasi dana sekitar 0,09 persen dari PDB negara.
Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dana riset yang dialokasikan oleh
negara-negara tetangga di Asia. Malaysia, misalnya, menyisihkan 1 persen
anggarannya, Singapura 2,5 persen, dan Korea Selatan 3,4 persen.
Jumlah tersebut juga
terbilang kecil mengingat visi riset dan teknologi yang semakin menantang.
Kendati begitu, di tengah-tengah potret pilu dunia tradisi riset tersebut,
iktikad dan ikhtiar Menristek Dikti perlu diapresiasi. Ia menargetkan hingga
pada akhir masa jabatannya dana riset diupayakan bisa menembus kisaran 0,75
persen sampai 1 persen. Sebuah cita-cita yang patut mendapat dukungan.
Fakta dan temuan lain
yang menarik dijadikan catatan adalah hasil analisis Kemenristek Dikti yang
menemukan 'kesia-sian' hasil riset disebabkan oleh kekeliruan pola riset.
Kekeliruan yang dimaksud adalah riset murni dilakukan berdasarkan motivasi
keilmuan, bukan praktis kebutuhan industri di lapangan. Karena itu, hasil
riset hanya berhenti sebagai temuan yang terkatalogisasi di jurnal ilmiah.
Identifikasi
kekeliruan pola sungguh sangat bermanfaat. Sebab, disadari atau tidak, riset
haruslah berdampak langsung pada kehidupan nyata, bukan terhenti sebatas
kajian ilmiah. Bagaimanapun riset idealnya adalah produk ilmiah yang harus
terimplementasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Itulah yang
sesungguhnya oleh Arief Budiman (2009) disebut dengan intelektual cendekiawan
sejati. Mereka, para cendekiawan itu, bukanlah manusia yang tinggal di menara
gading yang ilmunya selalu melangit. Tanpa pernah menginjakkan kaki di bumi
sama sekali.
Oleh karenanya, riset
harus berangkat dari kebutuhan di lapangan. Para periset, misalnya, harus
terlebih dahulu meriset serta mengidentifikasi kebutuhan industri. Langkah
jemput bola semacam itu yang kelak diharapkan akan meminimalkan hasil riset
agar tidak sekadar menjadi pemanis jurnal ilmiah.
Dua persoalan di atas,
yakni minimnya dana sekaligus kekeliruan pola riset, disadari atau tidak
merupakan problem terbesar dari lesunya dunia riset di Indonesia. Dengan dua
problem itu, tak mengherankan jika hari ini kita masih kerap mendapati
minimnya riset-riset brilian, stagnasi ilmu pengetahuan, dan juga minimnya
jurnal ilmiah yang diakui dunia internasional.
Pada Rabu, 21 Januari
2015, Kemenristek Dikti menandatangani perjanjian kerja sama dengan Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo) serta bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia
sebagai upaya memfokuskan riset pada kebutuhan praksis industri. Langkah ini
patut didukung semua pihak, terutama Kemenristek Dikti dan para pengusaha.
Mudah-mudahan langkah ini menjadi tonggak awal lahirnya riset berkualitas dan
aplikatif. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar