Rabu, 02 September 2015

Menghidupkan Tradisi Riset

Menghidupkan Tradisi Riset

Lukmanul Khakim  ;  Staf Khusus Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi
                                                  REPUBLIKA, 01 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Angan menjadi kenyataan. Itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi pendidikan tinggi hari ini. Setidaknya, jalan untuk menuju kenyataan itu telah terbuka dan hanya tinggal menagih komitmen para pelaku untuk mewujudkannya. Kenyataan itu tidak lain adalah tradisi riset yang berkualitas.

Wacana penggabungan pendidikan tinggi dengan Kementerian Riset yang digembar-gemborkan sejak dulu telah menjadi kenyataan. Ini pascaperesmian Kabinet Kerja 2014-2015 yang di dalamnya terdapat Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang dijabat oleh M Nasir.

Kabar menggembirakan ini bukanlah puncak dari cita-cita pendidikan tinggi kita yang digadang-gadang mampu mendulang serta menghasilkan riset unggul dan mutakhir. Tentu pula, bisa diandalkan untuk bersaing di kontestasi dunia internasional. Namun, sesungguhnya ini adalah awal dari perjuangan panjang ke depan.

Menristek Dikti M Nasir membeberkan kondisi terkini tradisi riset yang miris di dunia pendidikan tinggi kita saat menggelar rapat kerja dengan Komisi X DPR pada April lalu. Data Kemenristek mencatat Indonesia hanya mampu menghasilkan 22 ribu jurnal ilmiah bertaraf internasional, itu pun akumulasi dari 10 perguruan tinggi terbaik.

Jumlah ini masih sangat sedikit. Bandingkan saja, misalnya, tak usah negara-negara Barat, di tingkat ASEAN saja kita masih kalah. Malaysia menghasilkan 150 ribu jurnal ilmiah, Thailand 58 ribu, dan Singapura 160 ribu. Angka ini diperoleh dari jumlah publikasi jurnal bertaraf internasional yang terpublikasi pada indeks Scopus/, sebuah database abstrak dan Citation dari /Peer Reviewed artikel jurnal, dan literatur dari berbagai sumber situs penting lainnya.

Terry Mart dalam esainya "Darurat Riset" (2014) mengatakan, lemahnya tradisi riset di perguruan tinggi Indonesia adalah salah satu faktor utama yang membawa kita menjadi bangsa yang paceklik penelitian. Hal inilah yang kemudian membuat Syamsul Rizal dalam artikelnya, "Meningkatkan Kualitas Riset" (2014), menekankan perlunya penekanan kembali kepada seluruh dosen serta pejabat perguruan tinggi, termasuk rektor, agar fokus mengerjakan riset.

Pemandangan yang marak kita jumpai sekarang adalah dosen berlomba-lomba memperbanyak jam untuk mengejar target jam mengajar. Penelitian dan pengabdian dinomorduakan. Akibatnya, saat tiba giliran penelitian lapangan dan terjun ke masyarakat, ia kalang kabut dan gagap.

Lemahnya budaya riset juga sangat besar kemungkinan dipengaruhi oleh masih minimnya anggaran yang dialokasikan untuk kebutuhan riset. Jika dibandingkan negara-negara maju, Indonesia hanya memiliki alokasi dana sekitar 0,09 persen dari PDB negara. Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dana riset yang dialokasikan oleh negara-negara tetangga di Asia. Malaysia, misalnya, menyisihkan 1 persen anggarannya, Singapura 2,5 persen, dan Korea Selatan 3,4 persen.

Jumlah tersebut juga terbilang kecil mengingat visi riset dan teknologi yang semakin menantang. Kendati begitu, di tengah-tengah potret pilu dunia tradisi riset tersebut, iktikad dan ikhtiar Menristek Dikti perlu diapresiasi. Ia menargetkan hingga pada akhir masa jabatannya dana riset diupayakan bisa menembus kisaran 0,75 persen sampai 1 persen. Sebuah cita-cita yang patut mendapat dukungan.

Fakta dan temuan lain yang menarik dijadikan catatan adalah hasil analisis Kemenristek Dikti yang menemukan 'kesia-sian' hasil riset disebabkan oleh kekeliruan pola riset. Kekeliruan yang dimaksud adalah riset murni dilakukan berdasarkan motivasi keilmuan, bukan praktis kebutuhan industri di lapangan. Karena itu, hasil riset hanya berhenti sebagai temuan yang terkatalogisasi di jurnal ilmiah.

Identifikasi kekeliruan pola sungguh sangat bermanfaat. Sebab, disadari atau tidak, riset haruslah berdampak langsung pada kehidupan nyata, bukan terhenti sebatas kajian ilmiah. Bagaimanapun riset idealnya adalah produk ilmiah yang harus terimplementasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Itulah yang sesungguhnya oleh Arief Budiman (2009) disebut dengan intelektual cendekiawan sejati. Mereka, para cendekiawan itu, bukanlah manusia yang tinggal di menara gading yang ilmunya selalu melangit. Tanpa pernah menginjakkan kaki di bumi sama sekali.

Oleh karenanya, riset harus berangkat dari kebutuhan di lapangan. Para periset, misalnya, harus terlebih dahulu meriset serta mengidentifikasi kebutuhan industri. Langkah jemput bola semacam itu yang kelak diharapkan akan meminimalkan hasil riset agar tidak sekadar menjadi pemanis jurnal ilmiah.

Dua persoalan di atas, yakni minimnya dana sekaligus kekeliruan pola riset, disadari atau tidak merupakan problem terbesar dari lesunya dunia riset di Indonesia. Dengan dua problem itu, tak mengherankan jika hari ini kita masih kerap mendapati minimnya riset-riset brilian, stagnasi ilmu pengetahuan, dan juga minimnya jurnal ilmiah yang diakui dunia internasional.

Pada Rabu, 21 Januari 2015, Kemenristek Dikti menandatangani perjanjian kerja sama dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) serta bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia sebagai upaya memfokuskan riset pada kebutuhan praksis industri. Langkah ini patut didukung semua pihak, terutama Kemenristek Dikti dan para pengusaha. Mudah-mudahan langkah ini menjadi tonggak awal lahirnya riset berkualitas dan aplikatif. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar