Rabu, 02 September 2015

Kereta Api Cepat (High Speed Train), Kebutuhan atau Pencitraan?

Kereta Api Cepat (High Speed Train),

Kebutuhan atau Pencitraan?

Agus Pambagio  ;  Pemerhati Kebijakan Publik dan Konsumen
                                                  DETIKNEWS, 01 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebuah negara dengan jumlah penduduk sangat besar, seperti Indonesia,  harus mempunyai infrastruktur angkutan publik yang memadai untuk melayani pergerakan manusia setiap saat. Salah satu angkutan publik yang paling cocok adalah kereta api atau angkutan publik yang berbasiskan rel, seperti kereta komuter, Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT) dan sebagainya.

Negara-negara yang sudah lama mengandalkan dan bergantung pada angkutan publik berbasis rel, baik untuk penumpang maupun barang, adalah Jepang, negara-negara Eropa, China, Singapore dan lain-lain.

Mereka menghabiskan miliaran dollar untuk pengembangan angkutan publik berbasis rel ini. Dampaknya, ekonomi mereka kuat dan pelayanan publiknya optimal.

Hari-hari ini Pemerintah Indonesia tengah demam pembangunan high speed train/rail (HST/HSR) atau kereta cepat yang menghubungkan Jakarta-Bandung. Untuk itu sudah ada dua negara yang bersedia membantu Indonesia mewujudkannya, yaitu Jepang dan China. Persaingannya sudah melibatkan kekuasaan administrasi negara dan politik yang jika tidak hati-hati akan merugikan rakyat Indonesia ke depan.

Pembangunan infrastruktur harus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara lebih merata, khususnya di luar Jawa. Pertanyaannya, apakah kita memang sudah membutuhkan kereta api cepat (HST/R) di P. Jawa (Jakarta – Bandung – Surabaya) ? Untuk pemerataan pertumbuhan, bukannya  lebih baik jika anggaran pemerintah (APBN) untuk membangun HST/R digunakan untuk membangun infratruktur non HST/R di Sumatra dan atau pulau-pulau lain, supaya partumbuhan ekonomi di Indonesia merata? Mari kita bahas singkat dan padat keberadaan HST/R bagi kita.

Perlukah Kereta Api Cepat Jakarta – Bandung Dibangun?

Rencana pembangunan HST/R memunculkan dua pendapat yang berbeda, setuju dan tidak setuju. Yang setuju tidak perlu dibahas lebih lanjut karena alasannya perjalanan kita dengan HST/R akan lebih efisien dan cepat karena kereta api biasa banyak obstacle-nya dan angkutan jalan raya sudah parah macetnya. Selain gengsi. Jakarta-Bandung dapat ditempuh dalam waktu sekitar 35 menit. Lalu apa alasan para pihak yang tidak setuju HST/R dibangun saat ini?

HST/R tahap I yang akan dibangun adalah Jakarta-Bandung, hanya sepanjang sekitar 140 Km (Jepang) atau 173 Km (China). Saya baru saja selesai membaca dua Feasibility Study (FS) dari HST/R milik Jepang dan China sedikit terkesima karena isinya mirip. Saya tidak tahu siapa mencontek siapa. Silakan publik mengira-ngira sendiri.

Besaran investasinya pun tidak berbeda jauh, Jepang sekitar USD 6,223 juta atau Rp 87 Triliun dan China sekitar USD 5,585 atau Rp.78 Triliun (1 USD = Rp 14 ribu). Begitu pula dengan tarif (dihitung saat 1 USD sekitar  Rp. 11.000). Untuk tahap awal tarif/pax sekitar Rp. 130.000 – Rp. 200.000 ribu (dengan kurs 1 USD masih di bawah Rp. 13.000) dari Jakarta (Gambir) ke Bandung (Stasiun Gedebage). Pertanyaannya, mau berapa puluh tahun modal tersebut kembali dengan EIRR sebesar 12% (Data dari FS yang dibuat JICA)?

Kalau investasi sebesar lebih dari Rp 75 triliun itu diambil dari APBNP (multi years) dan berasal dari utang, tentu saya dan beberapa pihak sangat keberatan. Bisa dibayangkan betapa dasyatnya jika dana sebesar itu digunakan untuk meningkatkan sarana kereta api yang ada, sehingga kecepatan kereta api bisa meningkat hingga 160 km/jam. Selain itu dana tersebut juga dapat digunakan untuk membangun sarana kereta api di daerah lain demi pemerataan pertumbuhan ekonomi.

Katakan setiap tahun hingga tahun 2019 (masa akhir tugas Kabinet Kerja), per tahunnya dialokasikan oleh APBN dana sebesar Rp 30 triliun untuk pembangunan infrastruktur kereta api non HST/R. Tentunya selain akan memperbaiki kualitas pelayanan kereta api yang sekarang ada di Pulau Jawa, juga bisa dipakai untuk membangun jaringan kereta api, misalnya di Sumatera. Mari kita buat hitung-hitungan kasar secara sederhana.

Untuk meningkatkan kemampuan rel dan fasilitas yang ada diperlukan Rp 1 triliun, kemudian untuk peningkatan persinyalan dibutuhkan investasi sebesar Rp 1 triliun, peningkatan jembatan sebesar Rp 1 triliun, pelebaran radius lengkung sebesar Rp 1 triliun. Kemudian untuk pembelian/pembuatan 10 rangkaian kereta baru seharga Rp 1,2 triliun dan penambahan 10 lokomotif baru seharga total Rp 500 miliar. Maka total biaya untuk peningkatan prasarana dan sarana kereta api yang ada hanya diperlukan Rp  5,7 triliun.

Jadi sisa dana yang ada sekitar Rp 24 triliun di tahun 2016 yang  bisa digunakan untuk membangun jaringan kereta api sekelas yang ada sekarang di Pulau Sumatra (yang sebagian sudah ada tetapi belum tersambung dari Lampung sampai Banda Aceh). Jika dimulai pada APBN 2016 maka pada 2019 akan ada dana untuk pembangunan prasarana dan sarana kereta api sekitar 3 x Rp 30 triliun + Rp 24 triliun = Rp 114 triliun. Bayangkan berapa potensi pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan jika jaringan rel di P. Sumatra atau bahkam lainnya terbangun. Dari pada membenamkan dana sekitar Rp. 80 Triliun hanya untuk HST/R Jakarta – Bandung.

Langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah

Membangun HST/R di saat situasi perekonomian tidak menguntungkan dapat kontraproduktif. Kita tidak memerlukan pencitraan dan gengsi yang tidak ada manfaatnya bagi kebanyakan rakyat Indonesia.

Selain itu untuk membangun HST/R memerlukan pasokan listrik yang tidak kecil, sementara jaringan listrik Jawa-Madura-Bali (Jamali) per tahun 2017 akan defisit karena naiknya kebutuhan publik dan gagal/tertundanya pembangunan PLTU Batang (2 x 1.000 MW). Kondisi ini membuat persoalan baru ketika ketenagalistrikan yang kurang di Pulau Jawa masih harus berkurang karena digunakan untuk HST/R.

Melihat kondisi tersebut pembangunan HST/R dapat dilanjutkan jika  dibangun dengan menggunakan 100% investasi swasta tanpa jaminan Pemerintah, namun Pemerintah bisa memberikan konsesi TOD (Transit Oriented Development) kepada investor.

Indonesia belum mampu secara finansial membangun dan mengoperasikan HST/R saat ini karena tidak dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara merata, kecuali menjadi kebanggaan semu dan "makelarisasi" sekelompok orang di Republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar