Kereta Api Cepat (High Speed Train),
Kebutuhan atau Pencitraan?
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan Konsumen
|
DETIKNEWS,
01 September 2015
Sebuah negara dengan
jumlah penduduk sangat besar, seperti Indonesia, harus mempunyai infrastruktur angkutan
publik yang memadai untuk melayani pergerakan manusia setiap saat. Salah satu
angkutan publik yang paling cocok adalah kereta api atau angkutan publik yang
berbasiskan rel, seperti kereta komuter, Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail
Transit (LRT) dan sebagainya.
Negara-negara yang
sudah lama mengandalkan dan bergantung pada angkutan publik berbasis rel,
baik untuk penumpang maupun barang, adalah Jepang, negara-negara Eropa,
China, Singapore dan lain-lain.
Mereka menghabiskan
miliaran dollar untuk pengembangan angkutan publik berbasis rel ini.
Dampaknya, ekonomi mereka kuat dan pelayanan publiknya optimal.
Hari-hari ini
Pemerintah Indonesia tengah demam pembangunan high speed train/rail (HST/HSR)
atau kereta cepat yang menghubungkan Jakarta-Bandung. Untuk itu sudah ada dua
negara yang bersedia membantu Indonesia mewujudkannya, yaitu Jepang dan
China. Persaingannya sudah melibatkan kekuasaan administrasi negara dan
politik yang jika tidak hati-hati akan merugikan rakyat Indonesia ke depan.
Pembangunan
infrastruktur harus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara lebih
merata, khususnya di luar Jawa. Pertanyaannya, apakah kita memang sudah membutuhkan
kereta api cepat (HST/R) di P. Jawa (Jakarta – Bandung – Surabaya) ? Untuk
pemerataan pertumbuhan, bukannya lebih
baik jika anggaran pemerintah (APBN) untuk membangun HST/R digunakan untuk
membangun infratruktur non HST/R di Sumatra dan atau pulau-pulau lain, supaya
partumbuhan ekonomi di Indonesia merata? Mari kita bahas singkat dan padat
keberadaan HST/R bagi kita.
Perlukah Kereta Api Cepat Jakarta – Bandung Dibangun?
Rencana pembangunan
HST/R memunculkan dua pendapat yang berbeda, setuju dan tidak setuju. Yang
setuju tidak perlu dibahas lebih lanjut karena alasannya perjalanan kita
dengan HST/R akan lebih efisien dan cepat karena kereta api biasa banyak
obstacle-nya dan angkutan jalan raya sudah parah macetnya. Selain gengsi.
Jakarta-Bandung dapat ditempuh dalam waktu sekitar 35 menit. Lalu apa alasan
para pihak yang tidak setuju HST/R dibangun saat ini?
HST/R tahap I yang
akan dibangun adalah Jakarta-Bandung, hanya sepanjang sekitar 140 Km (Jepang)
atau 173 Km (China). Saya baru saja selesai membaca dua Feasibility Study
(FS) dari HST/R milik Jepang dan China sedikit terkesima karena isinya mirip.
Saya tidak tahu siapa mencontek siapa. Silakan publik mengira-ngira sendiri.
Besaran investasinya
pun tidak berbeda jauh, Jepang sekitar USD 6,223 juta atau Rp 87 Triliun dan
China sekitar USD 5,585 atau Rp.78 Triliun (1 USD = Rp 14 ribu). Begitu pula
dengan tarif (dihitung saat 1 USD sekitar
Rp. 11.000). Untuk tahap awal tarif/pax sekitar Rp. 130.000 – Rp. 200.000
ribu (dengan kurs 1 USD masih di bawah Rp. 13.000) dari Jakarta (Gambir) ke
Bandung (Stasiun Gedebage). Pertanyaannya, mau berapa puluh tahun modal
tersebut kembali dengan EIRR sebesar 12% (Data dari FS yang dibuat JICA)?
Kalau investasi
sebesar lebih dari Rp 75 triliun itu diambil dari APBNP (multi years) dan
berasal dari utang, tentu saya dan beberapa pihak sangat keberatan. Bisa
dibayangkan betapa dasyatnya jika dana sebesar itu digunakan untuk
meningkatkan sarana kereta api yang ada, sehingga kecepatan kereta api bisa
meningkat hingga 160 km/jam. Selain itu dana tersebut juga dapat digunakan
untuk membangun sarana kereta api di daerah lain demi pemerataan pertumbuhan
ekonomi.
Katakan setiap tahun
hingga tahun 2019 (masa akhir tugas Kabinet Kerja), per tahunnya dialokasikan
oleh APBN dana sebesar Rp 30 triliun untuk pembangunan infrastruktur kereta
api non HST/R. Tentunya selain akan memperbaiki kualitas pelayanan kereta api
yang sekarang ada di Pulau Jawa, juga bisa dipakai untuk membangun jaringan
kereta api, misalnya di Sumatera. Mari kita buat hitung-hitungan kasar secara
sederhana.
Untuk meningkatkan
kemampuan rel dan fasilitas yang ada diperlukan Rp 1 triliun, kemudian untuk
peningkatan persinyalan dibutuhkan investasi sebesar Rp 1 triliun,
peningkatan jembatan sebesar Rp 1 triliun, pelebaran radius lengkung sebesar
Rp 1 triliun. Kemudian untuk pembelian/pembuatan 10 rangkaian kereta baru
seharga Rp 1,2 triliun dan penambahan 10 lokomotif baru seharga total Rp 500
miliar. Maka total biaya untuk peningkatan prasarana dan sarana kereta api
yang ada hanya diperlukan Rp 5,7
triliun.
Jadi sisa dana yang
ada sekitar Rp 24 triliun di tahun 2016 yang
bisa digunakan untuk membangun jaringan kereta api sekelas yang ada
sekarang di Pulau Sumatra (yang sebagian sudah ada tetapi belum tersambung
dari Lampung sampai Banda Aceh). Jika dimulai pada APBN 2016 maka pada 2019
akan ada dana untuk pembangunan prasarana dan sarana kereta api sekitar 3 x
Rp 30 triliun + Rp 24 triliun = Rp 114 triliun. Bayangkan berapa potensi
pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan jika jaringan rel di P. Sumatra atau
bahkam lainnya terbangun. Dari pada membenamkan dana sekitar Rp. 80 Triliun
hanya untuk HST/R Jakarta – Bandung.
Langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah
Membangun HST/R di
saat situasi perekonomian tidak menguntungkan dapat kontraproduktif. Kita
tidak memerlukan pencitraan dan gengsi yang tidak ada manfaatnya bagi
kebanyakan rakyat Indonesia.
Selain itu untuk
membangun HST/R memerlukan pasokan listrik yang tidak kecil, sementara
jaringan listrik Jawa-Madura-Bali (Jamali) per tahun 2017 akan defisit karena
naiknya kebutuhan publik dan gagal/tertundanya pembangunan PLTU Batang (2 x
1.000 MW). Kondisi ini membuat persoalan baru ketika ketenagalistrikan yang
kurang di Pulau Jawa masih harus berkurang karena digunakan untuk HST/R.
Melihat kondisi
tersebut pembangunan HST/R dapat dilanjutkan jika dibangun dengan menggunakan 100% investasi
swasta tanpa jaminan Pemerintah, namun Pemerintah bisa memberikan konsesi TOD
(Transit Oriented Development) kepada investor.
Indonesia belum mampu
secara finansial membangun dan mengoperasikan HST/R saat ini karena tidak
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara merata, kecuali menjadi
kebanggaan semu dan "makelarisasi" sekelompok orang di Republik
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar