Kamis, 03 September 2015

Ikhwal Dikuasai Negara

Ikhwal Dikuasai Negara

Hikmahanto Juwana  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia
                                                     KOMPAS, 03 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Terdengar kabar Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi serta Undang-Undang Mineral dan Batubara akan diamandemen. Salah satu wacananya adalah bagaimana menafsirkan sumber daya alam ”dikuasai negara”?

Istilah dikuasai negara dalam Undang-Undang Dasar 1945 ada di Pasal 33. Dalam pasal tersebut ada dua ayat yang menyebut dikuasai negara: Ayat (2) dan (3).

Pada Ayat (2), dikuasai negara berkait dengan cabang-cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Ayat (3) berkait dengan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Sumber daya alam migas masuk kategori dua ayat ini karena menguasai hajat hidup orang banyak dan termasuk kekayaan di bumi dan air. Minerba masuk kategori Pasal 33 Ayat (3).

Tafsir

Istilah dikuasai negara dalam UUD sangat luas dan terlalu abstrak sehingga perlu ditafsirkan. M Hatta, misalnya, menafsirkan sebagai ”tidak harus diartikan negara sebagai pelaku usaha. Kekuasaan negara terletak pada kewenangan membuat peraturan untuk melancarkan ekonomi dan melarang pengisapan orang lemah oleh yang bermodal”.

Penafsiran oleh penguasa tidak dapat direduksi hanya cabang legislatif yang membentuk UU, tetapi juga cabang yudikatif, yaitu Mahkamah Konstitusi.

MK dalam beberapa putusannya telah menafsirkan istilah dikuasai negara, yaitu mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas, bersumber dan diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat. Rakyat secara kolektif memberikan mandat kepada negara untuk membuat kebijakan dan mengurus, mengatur, mengelola, dan mengawasi untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Hanya, tafsir MK, seperti juga tafsir para founding father dan pakar, tidak operasional. Tafsir dikuasai negara yang berlaku operasional hanyalah tafsir oleh pembentuk UU, di Indonesia berarti DPR bersama Presiden.

Dalam penelitian penulis, ternyata tidak ada tafsir tunggal atas istilah dikuasai negara dari waktu ke waktu. Pada berbagai UU yang menyebut istilah dikuasai negara, ada keberagaman penafsiran mulai dari era pemerintahan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Semisal, UU Migas 1960. Di era pemerintahan Soekarno, dikuasai negara ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan kepada perusahaan negara oleh negara.

Pasal 3 Ayat (1) UU Migas 1960 menyebutkan, pertambangan minyak dan gas bumi hanya diusahakan oleh negara. Mengingat negara merupakan entitas yang abstrak, di Ayat (2) disebutkan, usaha pertambangan migas dilaksanakan oleh perusahaan negara. Kala itu, perusahaan negara di industri migas adalah PN Permina dan PN Pertamin.

Tahun 1971, dua perusahaan ini digabung menjadi Pertamina, didirikan berdasarkan UU khusus, yaitu UU 8 Tahun 1971. Status Pertamina di sini berbeda dengan status PT Pertamina sekarang. PT Pertamina yang ada saat ini didirikan berdasarkan UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan UU Perseroan Terbatas (PT).

Pertamina (tanpa PT di depan) dahulu melaksanakan kegiatan baik di hulu maupun di hilir. Di hulu, meski merupakan sebuah badan hukum, Pertamina diberi kewenangan negara sebagai regulator. Pertamina juga memiliki kewenangan negara sebagai pemberi wilayah konsesi bagi pihak ketiga. Pertamina juga mewakili negara saat berkontrak dengan pihak ketiga. Selain itu, Pertamina adalah badan usaha atau operator sebagaimana layaknya sebuah perusahaan migas.

Di hilir, Pertamina diberi kewenangan sebagai regulator, pihak yang mengusulkan besaran subsidi BBM, di samping merangkap sebagai operator.

Keberadaan Pertamina berubah dengan munculnya UU Migas 2001. UU memangkas kewenangan Pertamina yang sangat luas dan kuat. Berdasarkan UU Migas 2001, Pertamina kedudukan direduksi hanya sebagai pelaku usaha/perusahaan yang dimiliki negara.

PT Pertamina tidak lagi berperan sebagai negara. Ia tidak lagi memiliki peran regulator dan penentu wilayah pertambangan di sektor hulu yang keduanya diserahkan kepada pemerintah.

Pihak yang mewakili pemerintah dalam kontrak dengan pihak ketiga diserahkan kepada Badan Pelaksana Migas (BP Migas) yang pada 2012 keberadaannya dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Saat ini, peran BP Migas diambil alih oleh satuan kerja di Kementerian ESDM yang disebut sebagai SKK Migas.

Di sektor hilir, peran Pertamina sebagai regulator dan penentu subsidi diserahkan kepada pemerintah. Namun, pemerintah di sini bukanlah Kementerian ESDM, melainkan lembaga pemerintah independen (independent regulatory body) yang disebut Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas). PT Pertamina hanya sebagai operator.

Ini menunjukkan, meski istilah dikuasai negara dalam Pasal 33 tidak pernah diubah dalam konstitusi, interpretasi pembentuk UU telah berubah dalam dua kurun waktu berbeda.

Di bidang minerba, masa pemerintahan Soeharto berdasarkan UU Pertambangan Umum 1967, yang dikenal adalah kontrak dan kuasa pertambangan.

Perjanjian (Kontrak) Karya diatur dalam Pasal 10 UU Pertambangan Umum 1967. Kontrak Karya dibuat dengan perusahaan asing jika pemerintah atau perusahaan negara pemegang kuasa pertambangan tidak dapat melaksanakan sendiri pekerjaan-pekerjaan penambangan.

Satu hal yang perlu dicatat bahwa berdasarkan UU Pertambangan Umum 1967, instansi pemerintah yang punya peran sentral adalah pemerintah pusat.

Ini berbeda dengan UU Minerba 2009 di bawah pemerintahan SBY yang mendasarkan pada rezim izin. Izin pun tidak dominan dikeluarkan oleh pemerintah pusat, tetapi oleh pemerintah daerah.

Maka, dalam menafsirkan dikuasai negara, rezim kontrak dan rezim izin sama-sama diakui. Istilah pemerintah pun mendapat tafsir ulang dalam UU Minerba, dari sebelumnya pemerintah pusat menjadi pemerintah daerah. Ini seiring dengan menguatnya otonomi daerah sejak 1999.

Amandemen

Kini, saat UU Migas dan UU Minerba hendak diamandemen, istilah dikuasai negara harus ditafsirkan. Satu hal yang pasti, sumber daya alam migas dan minerba harus dapat menyejahterakan rakyat, bukan sekelompok orang atau perusahaan tertentu seperti selama ini.

Saat ini, dalam amandemen UU Migas sedang diwacanakan apakah rezim kontrak perlu dipertahankan atau diubah menjadi rezim izin. Sementara di UU Minerba, apakah rezim izin perlu terus dipertahankan atau diubah menjadi rezim kontrak.

Kalau dalam amandemen UU Migas rezim kontrak dipertahankan, siapakah pihak yang mewakili pemerintah dalam berkontrak dengan kontraktor?

Keberadaan SKK Migas tidak mungkin dipertahankan mengingat SKK Migas merupakan bagian dari pemerintah. Jika ada gugatan dari kontraktor dan SKK Migas kalah, pemerintahlah yang wajib membayar ganti rugi.

Aset pemerintah, termasuk aset BUMN sebagai perusahaan milik pemerintah, akan terpapar. Aset pemerintah di luar negeri pun rentan disita pengadilan.

Dalam amandemen UU Minerba, wacananya adalah apakah rezim izin akan dipertahankan atau dikembalikan ke rezim kontrak. Pelaku usaha lebih senang rezim kontrak. Selain bisa dijadikan jaminan bank, kontrak tidak dapat semena-mena diakhiri pemerintah. Ini berbeda dengan izin yang persepsinya dapat dicabut sewaktu-waktu secara sepihak oleh pemerintah.

Jika rezim kontrak dalam amandemen UU Minerba yang dipilih, siapakah pihak yang mewakili pemerintah? Muncul pemikiran, pembentuk UU mengatur pembentukan badan hukum layaknya Pertamina (bukan PT Pertamina) di industri migas.

Jika ide ini terwujud, kewenangan badan hukum ini pun harus diidentifikasi, apakah sama dengan Pertamina dulu yang bergerak di sektor hulu ataupun hilir? Apakah kewenangan negara juga diberikan?

Dapat dipastikan dalam proses amandemen UU Migas dan UU Minerba, adu argumentasi akan muncul. Apa pun tafsir yang tepat menurut pembentuk UU, tiga hal harus dicermati.

Pertama, pembentuk UU jangan pernah bereksperimen dalam menentukan tafsir. Kesan eksperimen muncul karena pembentuk UU tidak mengantisipasi secara rinci berbagai konsekuensi yang muncul.

Kedua, tafsir atas dikuasai negara perlu merujuk pada pengalaman industri lain yang mengonkretkan konsep dikuasai negara, seperti industri telekomunikasi, perkeretaapian, pelayaran, dan penerbangan.

Terakhir, apa pun tafsir dari dikuasai negara oleh pembentuk UU, diharapkan tafsir ini dapat bertahan jangka lama. Ini demi menjamin kepastian hukum dan kepastian dalam berusaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar