Kemerdekaan Keutamaan
Mochtar Pabottingi ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
03 September 2015
Kala para leluhur, pelopor, dan martir-syuhada bangsa
memperjuangkan kemerdekaan, inti perjuangan tersimpul dalam satu kata:
keutamaan. Ini bersifat multidimensional dan lebur satu sama lain: harkat
individu-kolektivitas, napas iman, serta kecintaan kepada Tanah Air, tradisi,
dan kebudayaan. Merangkum semua kesadaran politik modern yang menjunjung
keadilan dan kebenaran, mengangkat setiap individu-kelompok ke posisi politik
terhormat.
Kemerdekaan kita mustahil dipahami di luar konteks penjajahan.
Kebangkitan nasional tak lain dari geliat kesadaran kolektivitas politik
bangsa Indonesia akan hak-hak dasarnya yang berabad dirampas, termasuk
kesadaran tentang bagaimana mengelola negara-bangsa. Di situlah kemerdekaan
bertumpu dan menuju.
Keutamaan jadinya bermuara pada sehimpunan prinsip politik
komprehensif dalam posisi dialektis dengan titik perkembangan sejarah bangsa
kita pada puncak kolonialisme di paruh abad ke-20.
Penjajahan yang kita alami, berupa himpunan laku nista sistemik,
seperti pemerasan, penindasan, dan dehumanisasi, adalah demi ekstraksi
ekonomi-politik kolonial yang berskala masif. Sirnanya ”a center of
gravity”bumiputra di Nusantara—sejak ujung abad ke-16 dan selama sekitar 350
tahun—berganti dengan muslihat praktis yang mengeksploitasi seluruh rakyat
dan Tanah Air kita dalam bentuknya yang paling kasar dan mentah.
Kezaliman
kolonial
Dalam penjajahan, leluhur kita banyak diperlakukan bak binatang.
Karl Marx menyebut praktik ini sebagai ”a primitive accumulation”. Jan
Pieterszoon Coen (1587-1629) membela kezaliman kolonialnya dengan menyatakan,
”Tak bolehkah seorang Eropa memperlakukan ternaknya sesukanya?” Hingga abad
ke-20, ”honden” dan ”inlander” disamakan.
Pemahaman kemerdekaan sebagai perayaan sehimpunan keutamaan
politik niscaya harus selalu dikaitkan dengan pesan sentral pidato pembelaan
Bung Hatta (Indonesie Vrij, 1928) dan Bung Karno (Indonesia Menggoegat, 1930)
serta refleksi Bung Sjahrir (Renungan Indonesia, 1951). Jika Bung Hatta dan
Bung Karno menegaskan historisitas antitesis kemerdekaan dengan penjajahan,
Bung Sjahrir memurnikan antitesis tersebut dengan renungan kritis
nasionalismenya yang terkenal.
Pancasila adalah penyimpul segenap prinsip antitesis yang
diutarakan. Sebagai kristalisasi-sublimasi dialektis dari alam penjajahan,
Pancasila berfungsi sebagai perumus himpunan prinsip keutamaan politik,
sekaligus tumpuan bagi suatu koreksi radikal terhadap realitas penjajahan beserta
kemungkinan repetisinya dalam aneka bentuk.
Kita tahu, sebagian dari praktik ekonomi-politik Orde Baru
adalah copy paste dari praktik Hindia Belanda. Parlemen Orde Baru, misalnya,
adalah substitusi Volksraad. Begitu pula rantai panjang laku teror terhadap
rakyat serta kebijakan-kebijakan di bidang pers dan bahan-bahan makanan
pokok. L’histoire se repete!
Kenyataan ini seyogianya menyadarkan kita bahwa ”kemerdekaan”
tak boleh diterima sebagai ihwal sudah dan sekali jadi pada saat
”proklamasi”, melainkan sesuatu yang harus terus-menerus dicanangkan dan
diperjuangkan. Sebab, kuku-kuku dan taring-taring penjajahan tetap tiada
henti menerobos bangsa dan Tanah Air kita, baik dalam bentuk asli maupun
dalam bentuk jejadiannya.
Pergerakan kemerdekaan kita lahir dalam kerangka tekad untuk
memberikan keadilan kepada segenap warga Indonesia. ”Suatu konsepsi politik
efektif perihal keadilan,” tulis Rawls, ”mencakup pemahaman politik atas apa
yang secara publik diakui sebagai rangkaian kebutuhan niscaya yang akan
menyejahterakan segenap warga negara.”
Prinsip keadilan politik pada skala ultimat memayungi himpunan
keutamaan politik, yaitu apa yang disebut Rawls ”primary goods”. Begitulah
Bung Hatta mengutip Guizot (1787-1874), negarawan-sejarawan Prancis, bahwa ”Ada
naluri kebenaran dan keadilan yang hidup di dasar tiap jiwa manusia”. Suatu
kutipan yang bagi saya menggemakan satu ayat Kitab Suci bahwa pada kalbu
setiap manusia Tuhan meletakkan neraca keadilan.
Menjurus pada
kenistaan
Dalam rangka peringatan ulang tahun ke-70 dari kemerdekaan kita,
pertanyaan sentral yang wajib diajukan adalah mengapa di sepanjang era
Reformasi bangsa kita—terutama para penguasa—justru terasa makin menjauh dari
”kemerdekaan keutamaan” dan lebih menjurus kepada ”kemerdekaan kenistaan”?
Pada suatu acara sosial baru-baru ini, seorang perempuan aktivis
pendidikan bertanya kepada saya, ”Tolong jelaskan, bagaimana seorang mantan
narapidana masih bisa maju sebagai calon kepala daerah?” Bagi saya, ini
senada dengan pertanyaan-pertanyaan, ”Mengapa begitu sulit mencari figur
teladan di kalangan partai politik, apalagi di parlemen?” Atau ”Apa gerangan
penyebab berketerusannya pembusukan hukum di Indonesia?” Atau ”Mengapa krisis
moralitas atau krisis multidimensi di negeri kita masih terus menyungkup
kita, padahal pemerintahan sudah berganti beberapa kali?”
Untuk semua pertanyaan ini, sulit mengelakkan suatu jawaban
causa prima. Dan, itu pula yang saya sampaikan kepada sang aktivis
pendidikan, ”Karena setelah Presiden Soeharto lengser dan Orde Baru formal
berakhir, tak satu pun di antara penguasa, apalagi pentolan utamanya, yang
diadili sebagaimana mestinya. Padahal, alangkah masif laku korupsi dan
kezaliman, bahkan pengkhianatan terbuka terhadap ideal-ideal Pancasila di
Tanah Air di sepanjang 32 tahun rentang kuasa Orde Baru.
Pergantian rezim dalam arti sesungguhnya tak pernah terjadi pada
periode 1998-2001. Itulah akar tunjang dari segala keburukan dan kenistaan
dalam praktik kita bernegara selama tujuh belas tahun terakhir. Ini adalah
kenyataan telanjang yang hendak terus kita tutup-tutupi dengan ”siasat burung
onta” dan dengan bayaran yang terus menggunung.
Terus berkuasa
Alih-alih diadili, perangkat personalia rezim Orde Baru di
ketiga cabang pemerintahan dibiarkan terus berkuasa dan, dengan demikian,
terus mengangkangi pemerintahan pada tahun-tahun awal era Reformasi. Dari
Orde Baru ke era Reformasi yang ada hanyalah pergantian aturan main, bukan
pergantian personalia rezim, padahal esensi ”rezim” menyangkut keduanya
sekaligus. Itu berarti lisensi bagi transisi penuh kepalsuan serta berlakunya
suatu ”asymmetric tug of war”—tarik tambang kekuasaan yang sangat timpang,
tetapi alot dan dan berkepanjangan—antara segelintir pejuang Reformasi (yang
baru 1997 berusaha bangkit dari kondisi remuk akibat 32 tahun
otoritarianisme) dengan ”bablasan” personalia pemerintahan Orde Baru.
Tuntutan reformasi memang tak bisa ditolak begitu saja, betapa
kecil pun kekuatan eksponennya. Itu adalah tuntutan kondisi obyektif,
tuntutan zaman. Akan tetapi, fait accompli politik Presiden Soeharto membuat
kekuasaan para terusan Orde Baru berlanjut. Ini terjadi lantaran penolakan
Soeharto sejak 1987 untuk mengganti format politik darurat rezimnya yang
sudah lama kedaluwarsa, bersimbah penyelewengan, dan mulai membusuk dari
dalam kendati hingga 1997 dia sudah mengiming-imingkannya.
Jadilah reformasi suatu oksimoron—sebagai realitas ganda yang
bertolak belakang pada dirinya. Begitulah negara merestui status quo di mana
yang salah dan yang benar dibiarkan ko-eksis. Kebenaran sengaja dibuat tak
pernah jelas, dengan arah kebijakan yang tak menentu.
Maka, merajalelalah penggadaian ideal-ideal reformasi, yang
sesungguhnya merupakan ekstensi ideal-ideal kemerdekaan serta Pancasila itu
sendiri. Reformasi menjadi ”Reformasi”. Sudah 17 tahun bangsa kita sengaja
melaksanakan penipuan diri berjamaah.
Bukti tarik tambang kekuasaan yang sangat timpang dan destruktif
di tahun-tahun awal ”Reformasi” melimpah: Tragedi Ambon, Sampit, Poso,
Semanggi, 13-14 Mei serta metamorfosis partai-partai yang semula bertolak
dari niat dan jargon Reformasi menjadi tak terbedakan dari kalangan dan
lingkungan Golkar yang sudah puluhan tahun ditengarai bergelimang korupsi.
Rangkaian kasus mahakorupsi BLBI, misteri perpanjangan kontrak dengan
Freeport, LNG Tangguh, Indosat, dan seterusnya. Rangkaian tragedi politik dan
ekonomi ini sungguh bukan hanya menguras timbunan dana publik dan aneka
sumber daya alam kita, melainkan juga reservoir kewarasan politik dan akal
budi bangsa kita.
Pelanggengan
anakronistis
Dengan kata lain, konflik kepentingan atau konflik prinsipiil
berskala besar sengaja dilanggengkan dalam pemerintahan. Sama sekali tak
mengherankan jika pelanggengan anakronistis ini terus berlangsung dan
menyebarkan kotoran busuknya ke segenap sisi dan dimensi kehidupan kita
bernegara hingga sekarang. Semua ini kita kemukakan sama sekali bukan untuk
menolak apa yang sudah terjadi sebab itu pastilah mustahil, melainkan untuk
menentukan perjalanan bangsa kita ke depan.
Kita mengemukakannya untuk mengingatkan seluruh bangsa kita
bahwa arah kemerdekaan kita sudah berputar sejak Orde Baru dan menjadi tak
menentu sejak Era ”Reformasi”. Dalam pemahaman makna kemerdekaan seperti
diutarakan di atas, bangsa kita telah berusaha menegakkan ”Kemerdekaan Keutamaan”
dari periode 1945-1959; terus menegakkannya pada periode 1958-1965 kendati
sudah mulai melenceng; dan berbalik arah untuk menjalankan ”Kemerdekaan
Kepalsuan” katakanlah sejak 1971 hingga kini. Maka, singkatnya, kita
mengemukakan hal ini untuk menanamkan kembali ketegaran moralitas politik
bangsa kita dalam sinar kemerdekaan sejati.
Demi penjernihan makna kemerdekaan sebagai momen keutamaan,
suatu kristalisasi politik dan kristalisasi fungsi cabang-cabang pemerintahan
sangat dibutuhkan oleh bangsa kita saat ini. Akan tetapi, di tengah
somnambulisme politik kristalisasi dua sisi itu sama sekali belum terlihat
dan yang berlaku justru adalah kebalikannya.
Lembaga-lembaga peradilan terus menoleransi praktik hukum yang
justru menghilangkan kepastian hukum dan dari situ juga kepastian keadilan.
Ini mencakup niat untuk melaksanakan rekonsiliasi politik nasional tanpa
pengungkapan kebenaran—suatu niat yang tentu nonsense. Lembaga legislatif
pusat masih terus berkutat dengan proyek-proyek raksasa yang ”nol urgensi,
konyol rasionalitas, dan merampas dana publik”. Pimpinan lembaga eksekutif
baru yang berniat melaksanakan Nawacita—yang memang sejalan dengan
ideal-ideal Republik kita—tetap minus ketegasan (decisiveness). Sudah pasti
itu semua sungguh berada di luar jalan ”Kemerdekaan Keutamaan”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar