Haji dan Dialog Keberagaman
Esty D Imaniar ; Pendiri Modesty Indonesia;
Alumnus Kajian Pluralisme Agama
Temple University, Philadelphia
JAWA
POS, 31 Agustus 2015
Esty D Imaniar ; Pendiri Modesty Indonesia;
Alumnus Kajian Pluralisme Agama
Temple University, Philadelphia
|
BELAKANGAN ini, media nasional dipenuhi
pemberitaan haji, sekalipun secara teknis belum dimulai. Antusiasme muslim
Indonesia untuk berhaji memang besar, sekalipun harus mengantre selama 20
tahun atau menabung selama 30 tahun.
Namun, tidak semua antusiasme diapresiasi.
Dalam sebuah tulisan yang menjadi viral, kewajiban berhaji dipertanyakan.
Konon, tidaklah pantas menghabiskan puluhan juta untuk ibadah personal ketika
bangsa sedang sulit. Dana umat yang bisa mencapai 30 triliun itu lebih baik
digunakan untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Secara matematis, ide ini
logis. Tetapi, haji tentu tidak sesederhana motif ekonomi.
Perjalanan Spiritual
Haji merupakan perjalanan spiritual, salah
satu ritual penting agamaagama di dunia. Dalam agama Kristen, perjalanan ke
Jerusalem dilakukan dengan mengunjungi tempat meninggal dan diangkatnya
Kristus. Dalam ajaran Judaisme, perjalanan ke Jerusalem tiga kali setahun
merupakan ritual sentral yang mendefinisikan seseorang sebagai Yahudi. Dalam
agama Buddha, tirta yatra berfungsi untuk menyucikan diri, sebagaimana
dicontohkan Siddharta di awal lahirnya Buddhisme.
Bagi umat Islam, perjalanan ke Makkah
merupakan salah satu lima pilar agama. Layaknya perjalanan spiritual lain,
haji merupakan perjuangan fisik, mental, dan tentu ekonomi. Karena itu,
kewajibannya disertai syarat ’’mampu’’.
Tetapi, sebagaimana diyakini umat beragama,
melakukan perjalanan ke rumah Tuhan merupakan undangan ilahiah: siapa pun
yang terpanggil, bagaimanapun kondisinya, akan berjuang demi memenuhi
panggilan.
Hasilnya, mayoritas jamaah sudah tua karena
lama mengusahakan ’’kemampuan’’. Karena ’’kemampuan’’ ini pula, banyak pemuda
’’menunda’’ haji mereka. Padahal, sebagai muslim, berhaji penting untuk
menguatkan keberagaman.
Haji merupakan pengalaman personal dalam
komunal universal. Melalui pakaian (ihram) saja, manusia dapat belajar
tentang kesetaraan di hadapan Tuhan, tidak peduli kewarganegaraan atau kelas
sosial.
Pengalaman berhaji juga terbukti dapat
meningkatkan kecintaan pada toleransi dan perdamaian. Dalam risetnya (
Estimating the Impact of the Hajj: Religion and Tolerance in Islam’s Global
Gathering, 2008), Clingingsmith dkk membuktikan bahwa haji menumbuhkan
penerimaan dan kemauan bekerja sama dengan ras berbeda. Selain itu,
penelitian kepada 1.600 responden tersebut menemukan, haji meningkatkan
pandangan positif muslim terhadap penganut agama lain.
Tanpa Pemaksaan
Kompromi
Temuan di atas dapat dibenarkan. Sebab, haji
merupakan wujud dialog keberagamaan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dalam
perkumpulan global di rumah Tuhan, seseorang akan menemui aneka praktik dan
kepercayaan yang berbeda dari seluruh dunia.
Meski begitu, mereka tidak saling tuduh aliran
sesat atau protes cara salat. Tidak ada kesempatan merusak harmoni
kebersamaan karena semua berfokus pada tujuan yang sama: Tuhan. Melalui haji,
kita belajar bahwa tidak perlu memaksakan kompromi demi bisa harmoni dalam
perbedaan.
Tentang harmoni, Clingingsmith menyebut fakta
unik dalam penelitiannya terhadap jamaah haji Pakistan, bahwa bangsa tersebut
banyak belajar toleransi dari jamaah Indonesia. Menurut riset yang
diselenggarakan delapan bulan setelah haji itu, kehadiran muslim Indonesia
saat haji penting sebagai barometer muslim non-Arab.
Identitas muslim Indonesia sebagai bukan Arab
penting bagi bangsa lain karena umat Islam ASEAN dikenal bergelut dengan interaksi
agamabudaya yang intens. Lahirnya Islam di Bumi Arab sedikit banyak
menghadirkan dilema bagi muslim non-Arab untuk memilah antara ajaran Islam
dan budaya Arab.
Sayangnya, masih banyak yang gagal memahami
bahwa tidak semua Arab adalah Islam. Didukung kurangnya ilmu dan inferioritas
budaya, tidak sedikit yang latah mengadopsi semua yang berasal dari tanah
tersebut demi tampak religius.
Berhaji di tanah Islam turun dan berkembang
dapat menambah pemahaman ideologi secara kontekstual sekaligus global. Jika
selama ini seseorang hanya mengenal Islam di negaranya, di masjidnya, atau di
penjelasan ustadnya, dengan berhaji seseorang dapat mengalami hidup
berdampingan dengan berbagai pemahaman dan praktik Islam di dunia.
Melalui perjalanan, manusia menjadi asing di
tempat asing. Tetapi, dalam keterasingan, spiritualisme hadir menundukkan
ego; untuk saling memberi pun menerima pemberian. Namun, pemberian dalam
perjalanan tentu tidak melulu bernilai ekonomis. Makna adalah kekayaan yang
didapat dari kesusahan beperjalanan. Sayangnya, kecuali yang bersusah dalam
persiapan, mereka yang berhaji hari ini tidak lagi bersusah. Hotel
berbintang, jalur ber-AC, dan fasilitas antar-jemput telah mengubah
perjalanan spiritual menjadi wisata religi yang bisa diulang setiap ada
rezeki.
Padahal, sebagai teladan, Nabi SAW tidak
’’rajin’’ berhaji, sekalipun dekat dan kaya. Perjalanan spiritualnya sebagai
tamu Tuhan dilaksanakan sekali tetapi dengan hati. Melalui haji, beliau
meneladankan keberagaman dengan menghadirkan saudagar dan mantan budak dalam
satu baris; mengampanyekan kesetaraan denganmempersaudarakanpribumi dan
non-pribumi; menawarkan perdamaian pada mereka yang berbeda keyakinan.
Saat ini kita memang perlu meninjau ulang
haji. Tetapi, bukan karena berbiaya tinggi lantas tidak wajib. Justru dalam
rangka merawat kebinekaan, kesadaran berhaji penting ditanamkan sejak dini.
Dengan menjadi bagian muslim global, setidaknya kita tidak perlu kagetan
mendengar Islam Nusantara, Wali Sanga, Khilafah, atau Sufisme sebagai
segelintir spirit Islam.
Belakangan ini kebutuhan Islam toleran semakin
kuat disuarakan dalam muktamar lembaga-lembaga besar Islam di Indonesia. Jika
pemerintah serius ingin melahirkan generasi penjaga bineka, memberi
’’beasiswa haji’’ dapat menjadi terobosan revolusi mental yang hebat.
Maka, setidaknya para pemuda Islam tidak
melulu harus ke Amerika untuk belajar toleransi beragama. Atau setidaknya
berita haji tidak hanya diwarnai kisah haru wong cilik yang melahirkan
sinisme ’’kemewahan’’ haji tidaklah wajib di saat sulit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar