Senin, 15 Desember 2014

Wajah Baru Gerakan Kerelawanan Rakyat

                                Laporan Akhir Tahun Politik, Hukum, dan Keamanan

Wajah Baru Gerakan Kerelawanan Rakyat
NWO  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  15 Desember 2014

                                                                                                                       


BEBERAPA saat setelah pemungutan suara Pemilu Presiden 2014, Ainun Najib resah. Warga negara Indonesia yang bekerja di sebuah perusahaan teknologi informasi di Singapura ini resah oleh klaim kemenangan yang dilakukan kedua pasangan peserta pilpres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

”Saya khawatir, jika tidak ada sumber informasi yang melaporkan hasil pemilu secara independen dan bisa diverifikasi siapa pun, akan muncul gejolak di masyarakat,” kata Ainun yang lahir tahun 1985 di Gresik, Jawa Timur.

Kegelisahan Ainun ini juga dirasakan dua rekannya, sesama pakar teknologi informasi. Mereka lalu membuat kawalpemilu.org, situs web yang memuat perolehan suara tiap-tiap pasangan calon dengan sumber hasil rekapitulasi suara dari setiap tempat pemungutan suara yang diunggah Komisi Pemilihan Umum ke situsnya.

Ainun mengenang, ada sekitar 700 relawan dengan berbagai latar belakang yang meng-input data KPU ke kawalpemilu.org.

Data yang disajikan kawalpemilu.org saat itu lalu menjadi patokan baru di tengah kebingungan masyarakat terhadap hasil hitung cepat lembaga survei yang berbeda-beda dan proses rekapitulasi berjenjang yang membutuhkan waktu.

Data yang dipaparkan kawalpemilu.org terbukti cukup akurat. Pada akhir penghitungan, mereka menyebutkan, pasangan JKW-JK mendapat 70.997.859 suara, beda 26 suara dengan penghitungan KPU yang mencatat pasangan itu mendapat 70.997.833 suara. Sementara untuk pasangan Prabowo-Hatta, hasil penghitungan KPU dan kawalpemilu.org sama, yaitu 62.576.444 suara.

Kebangkitan

Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, AAGN Ari Dwipayana, menuturkan, gerakan kerelawanan, seperti yang dilakukan Ainun dan kawan-kawan, sebenarnya bukan hal baru. Reformasi 1998 juga dimulai oleh gerakan kerelawanan yang dipelopori kelas menengah.

Setelah tahun 1999, gerakan kerelawanan ini sempat redup, diganti oleh model politik formal melalui Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga/komisi negara.

”Pada Pemilu 2014, gerakan kerelawanan ini kembali muncul seiring dengan ketidakpuasan terhadap lembaga formal. Perkembangan teknologi informasi membuat gerakan kerelawanan muncul dalam bentuk baru, tak hanya dengan turun ke jalan, tetapi juga seperti yang terlihat di kawalpemilu.org atau lewat media sosial,” tutur Ari.

Dalam pemilu lalu, media sosial bahkan juga dipakai untuk mendorong aksi nyata di masyarakat. Banyak kegiatan yang diumumkan lewat media sosial.

Jika ditarik ke belakang, gerakan dukungan melalui media sosial di Indonesia sudah terlihat sejak 2009, yaitu dalam isu Cicak-Buaya. Gerakan yang dipicu polemik antara KPK dan Polri ini akhirnya mendorong Presiden (saat itu) Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Delapan yang dipimpin Adnan Buyung Nasution untuk memberikan rekomendasi penyelesaian.

Setelah Pemilu 2014, gerakan lewat media sosial kembali berlanjut dalam isu pilkada langsung. Aksi walk out Fraksi Partai Demokrat dalam Rapat Paripurna DPR untuk menyetujui RUU Pilkada pada 26 September lalu, sehingga membuat pilkada cukup dilakukan DPRD, membuat Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat banyak dikritik melalui Twitter.

Desakan rakyat, yang antara lain lewat Twitter, ini menjadi salah satu pertimbangan Yudhoyono mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang agar pilkada kembali dilakukan secara langsung. DPR akan membahas perppu itu Januari 2015.

Pengaruh media sosial dalam politik juga dirasakan di negara lain. Kemenangan Barack Obama dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2008 sedikit banyak juga berkat media sosial. Gerakan sosial seperti di Mesir pada 2011, yang menjatuhkan Hosni Mubarak dari jabatan sebagai presiden, juga diawali di media sosial.

M Qodari dari Indo Barometer meyakini, pada masa depan, peran media sosial dan TI di politik Indonesia akan membesar seiring bertambahnya jumlah pengguna. Sekarang saja ada sedikitnya 69 juta pengguna Facebook dan 20 juta pemakai Twitter aktif.

Salah satu ciri gerakan di media sosial dan TI adalah disatukan oleh isu. Jika tak ingin terperosok, penting bagi elite politik untuk terus menyamakan langkahnya dengan suara rakyat, yang antara lain disampaikan di media sosial. Namun, karena isu di media sosial bisa dimanipulasi, juga perlu punya kecerdasan untuk menyaring isu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar