Senin, 15 Desember 2014

Kembalikan Uang Rakyat kepada Rakyat

                                Laporan Akhir Tahun Politik, Hukum, dan Keamanan

Kembalikan Uang Rakyat kepada Rakyat
A Ponco Anggoro  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  15 Desember 2014

                                                                                                                       


GERAKAN penghematan pernah dicanangkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, upaya itu belum tuntas dilakukan. Kini, di awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo juga menaruh perhatian terhadap persoalan ini.
Tiga surat edaran langsung dikeluarkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi. Tiga surat itu merupakan tindak lanjut instruksi Presiden Jokowi untuk melaksanakan Gerakan Penghematan Nasional saat sidang kabinet, 3 November 2014.

Surat edaran pertama adalah Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2014, tanggal 4 November 2014, tentang peningkatan efektivitas dan efisiensi kerja aparatur negara. Selang dua pekan, keluar Surat Edaran No 11/2014 tentang Pembatasan Kegiatan Pertemuan/Rapat di Luar Kantor dan kemudian Surat Edaran No 13/2014 tentang Gerakan Hidup Sederhana.

Melalui surat edaran itu, aparatur sipil negara diminta membatasi perjalanan dinas, rapat di luar kantor, hemat listrik, pendingin ruangan, telepon, air, alat tulis kantor, dan kendaraan dinas hanya untuk kepentingan dinas. Sebagai bentuk pengawasan, setiap enam bulan sekali, setiap instansi diminta melaporkan penghematan yang telah dilaksanakan ke kementeriannya. Jika instruksi penghematan tidak dijalankan, sanksi administratif dijatuhkan, di antaranya penundaan promosi, tidak diberikan tunjangan kinerja, dan tidak dicairkannya gaji ke-13.

Gerakan penghematan anggaran ini tak sebatas di atas kertas. Presiden Jokowi menunjukkannya ketika memilih menggunakan pesawat komersial dan duduk di kelas ekonomi saat kunjungan ke Semarang, awal Desember lalu.

Presiden Jokowi juga mengurangi jumlah anggota rombongan dalam setiap kunjungan kerja ke daerah atau ke luar negeri. Kebijakan ini membuat wartawan hampir selalu bisa bergabung dengan Jokowi dalam rombongan utama yang menggunakan pesawat kepresidenan. Fenomena ini jarang terjadi di era sebelumnya.

Jokowi juga mengurangi jumlah staf kepresidenan, yang antara lain dilakukan dengan tidak lagi memakai juru bicara dan staf khusus. Makanan dan minuman di kompleks Istana Kepresidenan juga disederhanakan.

Di jajaran menteri, penghematan antara lain dilakukan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Caranya antara lain dengan memaksimalkan Gedung Sasana Bhakti Praja, ruang pertemuan di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, untuk pertemuan dengan kepala daerah, wakil kepala daerah, dan jajaran Kemendagri lainnya. Padahal, sebelumnya, pertemuan seperti itu biasa digelar di hotel-hotel berbintang.

Gerakan penghematan belakangan ini juga masif dilakukan banyak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Gerakan penghematan itu mungkin terlihat sepele. Namun, jika dilakukan semua instansi, di pusat hingga daerah, anggaran yang dihemat bisa mencapai miliaran, bahkan triliunan rupiah.

Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah menyebutkan, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terdapat alokasi anggaran hingga Rp 40 triliun untuk perjalanan dinas dan rapat di luar kantor pemerintah. Ini dinilainya sebagai salah satu bentuk inefisiensi anggaran yang harus terus diperbaiki. Jumlah itu baru dari APBN, belum lagi jika dilihat di setiap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Oknum aparatur sipil

Menggelar kegiatan di luar kantor dan perjalanan dinas selama ini menjadi salah satu cara yang sering dipakai oknum aparatur sipil negara untuk menggerogoti APBN atau APBD. Sebab, setiap kegiatan di luar kantor atau perjalanan dinas, mereka mendapat tambahan penghasilan berupa honorarium, besarnya
Rp 300.000 sampai Rp 500.000 per hari.

Menjelang akhir tahun anggaran, modus itu biasa terlihat. Mereka sengaja mengadakan rapat di hotel sekalipun di kantor tersedia ruangan untuk rapat. Ruangan-ruangan di hotel pun habis dipesan. Begitu pula kamar hotel. Mereka berbondong-bondong melakukan perjalanan dinas ke luar kota dengan dalih koordinasi atau studi banding.

Langkah itu juga memunculkan penyimpangan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan semester I-2014 menunjukkan, ada orang yang ditugaskan melakukan perjalanan dinas justru tak pergi. Mereka menitipkan surat perintah perjalanan dinas ke orang lain yang berangkat untuk distempel di instansi tujuan sebagai bukti pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Praktik ini membuat negara merugi sampai Rp 92,83 miliar.

Selain perjalanan dinas, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sering menemukan pengadaan alat tulis kantor yang sengaja digelembungkan.

”Satu kantor isinya lima orang, tetapi beli kertasnya Rp 1,5 miliar. Kemudian setiap tahun dilaporkan habis sehingga terus dianggarkan. Korupsi kok dari alat tulis kantor, memberi makan anak kok dari (korupsi) kertas,” kata Direktur Pengembangan Strategi dan Kebijakan Pengadaan Umum LKPP Setyabudi Arijanta.

Ketika inefisiensi anggaran terus terjadi dan modus korupsi di birokrasi terus berulang, langkah pemerintah untuk mengefisienkan anggaran jelas patut didukung. Sebab, dengan efisiensi tersebut, dana-dana yang tak perlu bisa lebih banyak dialokasikan untuk kepentingan rakyat.

Wali Kota Manado Vicky Lumentut, misalnya, menuturkan, pembatasan perjalanan dinas, rapat di luar kantor, rehabilitasi gedung, dan pengadaan mebel bisa menghemat hingga Rp 36 miliar. Dana itu kemudian dipakai untuk membantu korban banjir di Manado agar mereka bisa membangun kembali rumahnya yang rusak dihantam banjir pada awal tahun 2014.

Penghematan ala SBY

Gerakan penghematan seperti yang kini dilakukan Jokowi sebenarnya pernah dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Yudhoyono. Melalui Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi, Yudhoyono menginstruksikan penghematan penggunaan penerangan, alat pendingin ruangan, dan kendaraan dinas.

Tahun 2012, atas kebijakan Yudhoyono pula, Kemenpan dan RB mengeluarkan surat edaran yang intinya meminta peningkatan efisiensi, penghematan, dan kesederhanaan hidup. Sejumlah instruksi di surat edaran itu pun membatasi perjalanan dinas, rapat-rapat di luar kantor, dan pemanfaatan fasilitas dinas.

Jika dilihat lebih jauh ke belakang, Presiden Megawati pernah melakukan hal yang sama. Melalui Menpan saat itu, Feisal Tamin, dikeluarkan Surat Edaran Nomor 357/M.PAN/12/2001 tentang Langkah-langkah Efisiensi dan Penghematan serta Hidup Sederhana di Lingkungan Aparatur Negara.

Dalam surat edaran itu, aparatur sipil negara diminta menghemat listrik, telepon, air, dan membatasi perjalanan dinas. Aparatur juga diminta tak menggelar resepsi dan pesta di tempat mewah dan berlebihan.

Lalu mengapa hingga kini pemborosan terus terjadi? Guru Besar Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada Miftah Thoha menilai tidak ada upaya serius, sungguh-sungguh, dan konsisten dari pemerintahan sebelumnya untuk efisiensi anggaran. Pengawasan juga lemah dan tak ada sanksi tegas bagi aparatur sipil negara yang memboroskan anggaran.

”Padahal, dengan pemberian sanksi, seperti pangkat diturunkan atau tempat tugas dipindahkan, akan ada efek jera sehingga pemborosan tak terus terulang,” katanya.

Efisiensi anggaran pun diharapkan Miftah tidak berhenti pada pembatasan perjalanan dinas atau rapat di luar kantor. Satu hal yang bisa mengefisienkan anggaran dalam jumlah besar adalah merampingkan struktur organisasi di setiap kementerian/lembaga/pemerintahan daerah.

”Organisasi pemerintahan kita terlalu besar dan gemuk. Kalau mau mengefisienkan anggaran lebih besar, jumlah pejabat eselon satu hingga empat di birokrasi harus dikurangi karena banyak urusan pejabat itu yang tumpang tindih. Ini merupakan salah satu bagian penting dari reformasi birokrasi sehingga birokrasi kita bisa lebih efektif dan efisien,” kata Miftah.

Akhirnya, efektivitas penghematan anggaran amat ditentukan sikap dan orientasi aparatur sipil negara. Kesadaran bahwa rakyat merupakan pemilik kedaulatan tertinggi yang harus dilayani, dan bukan melayani, menjadi kunci keberhasilan. Ini mungkin berarti perlu revolusi mental, kata yang (pernah) dipopulerkan oleh Jokowi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar