Selasa, 16 Desember 2014

Menembus Sekat Ignoransi

                                       Menembus Sekat Ignoransi

Annick HT  ;   Direktur Democracy Project, Yayasan Abad Demokrasi;
Menjadi salah satu tim pengajar dalam program ICRP
SATU HARAPAN,  04 Desember 2014

                                                                                                                       


Sejak kehadirannya di dunia, agama nampaknya menjadi elemen yang paling membingungkan dan misterius. Di satu sisi, ia mengantarkan peradaban manusia pada titik puncak capaian moral kemanusiaan. Di sisi lain, agama terlalu sering menjadi sumber keributan dan kekacauan. Atas nama agama, manusia bisa saling meniadakan dan saling membunuh.

Lalu, seberapa penting agama sekarang ini? Gallup, salah satu lembaga survei Internasional pada tahun 2009 mengeluarkan rilis survei yang menyimpulkan ada korelasi kuat antara kemiskinan dengan kesalehan individu. Semakin miskin suatu negara, semakin penting agama dalam kehidupan keseharian warganya. Dalam survei tersebut, Indonesia berada pada tingkat teratas, bersama dengan Bangladesh, Nigeria, Yaman, Malawi, dan Sri Lanka, di mana 99 % persen penduduknya menyatakan agama sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan keseharian mereka.

Data itu sangat bisa menjadi alat bantu kita dalam melihat tantangan besar kehidupan antar-agama di Indonesia. Jika agama sepenting itu di Indonesia, sementara watak dominan yang muncul dalam keseharian kita adalah watak agama yang formalis, mengental sebagai entitas politik, penuh prejudice, memproduksi kebencian dan permusuhan, maka tak pelak lagi: agama adalah ancaman, bukan rahmat dan berkah.

Dari mana prejudice, kebencian, dan permusuhan itu berasal? Tentu saja sejarah perang agama turut berkontribusi. Catatan kelam perselingkuhan agama dengan politik dan kekuasaan masih sering pula menginspirasi. Namun yang lebih penting dari itu adalah: kultur segregatif dan ignoransi yang sudah terlanjur menubuh dengan kehidupan keseharian kita, sehingga bahkan kitapun merasa tidak ada masalah dengan penyakit mematikan itu.

Kita telah terbiasa dikotakkan dalam sekat-sekat segregatif berdasarkan status agama kita. Status agama itupun dilekatkan pada tubuh kita melalui KTP, pendidikan, penguburan, bahkan melalui transaksi keuangan yang kita lakukan dengan bank misalnya.

Alih-alih menghancurkan sekat-sekat segregatif itu, kita justru menikmati hidup dalam kontak itu sebagai zona nyaman kita. Kita justru mempertebal sekat dan mempertinggi tembok pemisah antara “kita” dengan “mereka”. Kita berlomba memperbanyak sekat dan menyempitkan kotak pengungkung kita.

Pada akhirnya, yang muncul dalam respon refleks kita melihat penganut agama lain adalah ignoransi, ketidaktahuan dan ketidakmautahuan. Terlalu banyak contoh di depan mata kita untuk menunjukkan bahwa ignoransi inilah penyebab dominan diskriminasi, konflik, permusuhan, dan kekerasan berlatar agama.

Konsepsi kerukunan umat beragama yang selama ini menjadi titik pijak kebijakan negara untuk mengatur hubungan antar-umat beragama nampaknya juga tidak banyak beranjak dari kungkungan ignoransi ini. Paling banter adalah upaya normatif antar-pemeluk agama untuk saling mencari “persamaan universal kemanusiaan”, atau dalam bahsa lain disebut sebagai pluralisme kemanusiaan. Konsekuensinya, konsepsi ini memiliki kecenderungan besar untuk melupakan dan menyembunyikan perbedaan yang ada. Konsekuensi ini bisa menjadi titik lemah yang membahayakan.

Harus ada terobosan lebih jauh untuk masuk pada wilayah “perbedaan” itu. Ia ada bukan untuk disembunyikan. Ia ada justru untuk dikenal, dikelola, dan pada akhirnya dirayakan.

Di tengah tebalnya tembok-tembok penyekat antar-agama, mengenal perbedaan adalah barang mahal saat ini. Perjumpaan kemanusiaan dengan penganut agama lain memang bukan perkara sulit di negeri ini. Ruang publik sekolah umum, pasar, mal, gelanggang olah raga, tempat hiburan, adalah ruang publik yang cair: ruang publik sekuler yang tak beragama. Ruang ini menjanjikan relasi kemanusiaan tanpa sekat.

Namun, sekali lagi, ruang tersebut cair justru karena melupakan, menyembunyikan perbedaan. Sekat itu menghilang sementara. Bukan karena ditembus, namun karena dihindari.

Ziarah rumah ibadah

Salah satu simbol penting sekat antar-agama adalah rumah ibadah. Rumah ibadah adalah sebenar-benarnya zona nyaman yang diciptakan oleh pemeluk agama. Bagi sebagian (besar) mereka, rumah ibadah ini disakralisasi sedemikian rupa sehingga ia menjadi titik terdalam dari kotak segregatif agama.

Membongkar tembok pemisah dengan mengenal dan membincangkan perbedaan, di titik terdalam simbol utama segregasi agama adalah terobosan awal yang penting dari upaya berikutnya; mengelola dan merayakan perbedaan.

Sebuah inisiatif kemudian muncul untuk menembus kebekuan metode pendidikan agama yang selama ini juga segregatif. Mempelajari agama orang lain adalah tabu dalam alam pendidikan segregatif semacam ini.

Adalah Universitas Pembangunan Jaya Jakarta, yang kemudian bergandengan tangan dengan sebuah lembaga lintas agama, yakni Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) untuk mencari terobosan pendidikan agama yang membuka ruang selebar mungkin untuk saling belajar antar agama.

Metode pengajaran agama ini dimulai dengan membuang sekat segregasi, mengumpulkan mahasiswa dari berbagai agama menjadi satu kelas. Di sini belajar agama berarti belajar mengenal semua agama yang ada, tak terkecuali agama-agama yang selama ini dianggap "tak diakui" seperti Sikh, Bahai, Tao, juga agama-agama lokal yang selama ini dianggap "bukan agama" seperti Sunda Wiwitan, Kapribaden, dan lain-lain.

Dan di tengah proses pengajaran diskursif agama-agama tersebut, semua mahasiswa dibawa dalam satu ziyarah langka: mengunjungi berbagai rumah ibadah yang berbeda, melakukan perjumpaan langsung dengan para liyan, mendiskusikan dan mengurai tabu-tabu yang dibaluri syakwasangka dan kebencian tak beralasan. Tak cuma masjid, gereja, vihara, pura, dan lithang, mereka juga berkunjung ke rumah ibadah dari agama yang bahkan tak banyak dikenal, seperti gurudwara, rumah ibadah Sikh, dan bio yang juga menjadi rumah ibadah warga penganut Tao juga menjadi tujuan kunjungan.

Setidaknya, langkah awal ini akan menorehkan satu catatan penting: bahwa pelajaran agama bukanlah sekadar pelajaran berteori tentang agama. Belajar agama juga adalah mengenal perbedaan melalui pengalaman perjumpaan langsung dengan mereka yang berbeda. Belajar agama juga belajar bahwa agama yang baik tidak selalu melahirkan manusia baik. Bahwa menjadi penganut agama lain tidak otomatis menjadi orang buruk yang layak dibenci dan dimusuhi. Lebih jauh, belajar agama juga adalah belajar bahwa di balik persoalan di dalam agama-agama sendiri, masalah yang tak kalah rumit adalah bagaimana negara mengatur relasi antar-agama, dan bagaimana masyarakat memaknai kehadiran agama lain di tengah realitas kehidupan mereka.

Semoga upaya ini menular dan menjadi bagian dari tradisi kaum beragama di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar