Selasa, 16 Desember 2014

Banjarnegara Memang Rawan Longsor

                     Banjarnegara Memang Rawan Longsor

Daryono  ;   Peneliti di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
JAWA POS,  15 Desember 2014

                                                                                                                       


SETELAH berakhirnya amukan topan hagupit yang menghantam wilayah timur Filipina dan menewaskan sedikitnya 27 orang, kini dinamika atmosfer menunjukkan adanya kecenderungan pertumbuhan pola tekanan rendah dan sel-sel siklon di Samudra Hindia. Kondisi itu patut kita waspadai bersama, mengingat cuaca ekstrem dapat terjadi di beberapa tempat di Indonesia.

Jumat petang (12/12) kita dikejutkan oleh berita memilukan yang datang dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Curah hujan yang mengguyur selama dua hari berturut-turut di kawasan Wonosobo dan Banjarnegara akhirnya memicu bencana. Tanah longsor telah mengubur puluhan rumah di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara.

Hingga Minggu pagi (14/12), 23 korban ditemukan dalam keadaan meninggal. Selain itu, sebelas orang mengalami luka berat dan empat korban lain terluka ringan. Sebanyak 85 orang masih dinyatakan hilang dan hingga kini terus dilakukan upaya pencarian korban di lokasi longsor.

Hujan Lebat

Bencana tanah longsor Banjarnegara didahului dengan hujan sangat lebat yang berlangsung hampir dua hari. Pada Kamis (11/12), sehari sebelum peristiwa longsor, Stasiun Geofisika Kelas III (BMKG) Banjarnegara mencatat, curah hujan memang sangat tinggi, mencapai 112,7 mm. Data tersebut diperkuat oleh sumber TRMM yang juga menunjukkan bahwa di Banjarnegara saat itu memang terjadi hujan lebat pada kisaran 100–120 mm.

Berdasar data streamline pada Jumat (12/12) pukul 07.00 WIB, di sepanjang Pulau Jawa terdapat pola konvergensi massa udara yang membawa uap air. Pergerakan massa udara itu mengalir ke arah timur dan sebagian ke arah tenggara, kemudian berputar ke kanan, menuju zona pusat tekanan rendah. Pada hari yang sama, di Samudra Hindia selatan Jawa sedang ada pertumbuhan tekanan rendah (low pressure). Gangguan tropis itulah tampaknya yang menjadi salah satu penyebab cuaca buruk di kawasan Wonosobo-Banjarnegara beberapa hari terakhir.

Menurut laporan warga yang selamat, pada Jumat pagi hingga siang, di lokasi longsor belum turun hujan deras. Namun, tiba-tiba pada petang hari, sekitar pukul 17.30 WIB, terdengar dentuman keras yang diikuti suara gemuruh panjang. Bukit Telagalele yang menjulang tinggi itu tiba-tiba longsor. Setelah terjadi longsoran pertama, hujan seketika mengguyur dengan deras, selanjutnya membuat material longsoran meluncur dan mengubur 105 rumah. Longsoran juga menutup jalan raya yang menjadi jalur penghubung Banjarnegara dengan Dieng. BMKG Banjarnegara mencatat, curah hujan hari itu 101,8 mm.

Rawan Longsor

Banjarnegara memang rawan longsor. Sebab, hampir 70 persen wilayahnya didominasi zona perbukitan dan pegunungan tua. Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, yang menjadi area longsor sekitar 10 kilometer di utara Kota Banjarnegara, sebenarnya sudah dikenal sebagai salah satu kawasan rawan longsor.

Beberapa faktor yang paling berpengaruh dalam mengakibatkan longsoran di Banjarnegara adalah kemiringan lereng yang curam serta kondisi batuan penyusun yang mendukung terjadinya longsoran. Kemiringan lereng lebih dari 40 persen dengan litologi yang punya daya serap air tinggi (endapan dari bahan rombakan gunung api) dikenal memiliki pengaruh besar terhadap terjadinya gerakan tanah.

Kawasan lereng akan longsor jika mendapat gangguan kestabilan. Dalam hal ini, gaya pendorong memiliki kekuatan lebih besar daripada gaya penahan. Gaya dorong itu biasanya berupa air atau kemiringan yang curam. Sementara itu, gaya penahan sangat bergantung pada jenis tanahnya.

Berdasar hal tersebut, curah hujan dalam peristiwa longsor di Banjarnegara dapat menjadi faktor penting. Air hujan bisa menambah beban tanah. Tanah yang mengalami  kejenuhan dapat melemahkan daya ikat tanah pada lereng. Dalam hal ini, curah hujan tinggi menjadi faktor pemicu longsor, khususnya pada lereng-lereng yang labil dan kritis.

Berdasar pengamatan melalui foto-foto dari media, sepintas tampak bahwa tipe longsor di Dusun Jemblung adalah slumping (rotational slide). Namun, karena material longsoran itu memiliki kandungan air yang sangat tinggi, di bagian hilir material berubah menjadi aliran debris, tanah, batuan lapuk, dan air. Atau, bisa jadi pada awalnya ada gejala creeping (rayapan), tapi begitu dipicu hujan lebat, yang terjadi adalah slides (meluncur).

Dengan bidang luncur berupa batu lempung, saat hujan deras, batu itu bersifat tidak dapat meloloskan air dan menjadi licin sehingga berfungsi sebagai media peluncur massa di atasnya. Terkait dengan kekhawatiran akan adanya bencana longsor susulan, biasanya jika sudah terjadi longsoran besar, kecil kemungkinan terjadi slumping susulan. Soal tipe longsoran yang sebenarnya terjadi, tampaknya diperlukan kajian lebih mendalam di lokasi bencana.

Sejak akhir 2011, di wilayah Kabupaten Banjarnegara terjadi lebih dari 379 bencana tanah longsor. Bahkan, setiap tahun ada kecenderungan potensi kerawanan tanah longsor meningkat. Karena itu, memasuki musim hujan tahun ini, hendaknya para pemangku kepentingan dan relawan bencana segera memulai kegiatan sosialisasi mitigasi kepada masyarakat di tempat-tempat rawan longsor. Harapannya, dengan sosialisasi yang terus digalakkan, kita semua dapat berperan aktif dalam menekan jumlah korban dan kerugian harta benda jika terjadi bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar