Ekspektasi
Pemajuan HAM
Hendardi ; Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Desember 2014
PADA 10 Desember 2014, warga
dunia rutin merayakan Hari Internasional Hak Asasi Manusia (HAM). Tepatnya
66 tahun yang lalu, 10 Desember 1948 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) menjadi naskah acuan bagi setiap negara di dunia untuk memperlakukan
manusia secara bermartabat dengan menghargai integritas diri dan seperangkat
hak-hak yang melekatnya.
Perayaan sebuah momentum
biasanya ditujukan untuk menjadi medium penguatan spirit dan merawat serta
melanjutkan cita-cita yang lahir bersamaan dengan momen tersebut. Bagi
kebanyakan dari pegiat HAM di dunia, juga di Indonesia, peringatan itu
digunakan untuk mengingatkan negara sebagai subyek hukum HAM internasional
memenuhi tanggung jawab generiknya dalam menghormati, memajukan, dan
memproteksi hak asasi manusia.
Pada 2014, Indonesia memiliki
presiden dan wakil presiden yang baru saja bekerja kurang dari 2 bulan.
Momentum transisi politik ini menjadi sangat relevan untuk mengingatkan
pemerintahan baru setidaknya bisa melakukan dua hal: mengkaji dan mencari
terobosan keadilan bagi pelanggaran HAM masa lalu yang selama 10 tahun Susilo
Bambang Yudhoyono memimpin tidak pernah disentuh, dan meletakkan HAM sebagai
paradigma dalam membangun bangsa.
Dua agenda besar ini ialah manifestasi dari
refleksi mutakhir Hari Internasional HAM dan kebutuhan mendesak bagi bangsa,
yang masih menyisakan catatan impunitas atas sejumlah peristiwa pelanggaran
berat HAM.
Kuncup harapan
Pada Desember 2013, Indeks
Kinerja HAM yang disusun oleh SETARA Institute menempatkan Joko Widodo
sebagai salah satu bakal calon presiden dengan komitmen paling tinggi (39%)
dalam hal pemajuan HAM. Bahkan Jokowi juga diyakini mampu menuntaskan
kasuskasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Akan tetapi, setahun dari survei
itu, pada Indeks Kinerja HAM 2014, komitmen itu mulai berkurang.
Menurunnya komitmen Jokowi setidaknya
tergambar dari survei terbaru yang menunjukkan sebanyak 36,8% responden
menyatakan Jokowi memiliki komitmen tinggi dan 51,3% responden justru
menyatakan komitmen Jokowi dalam pemajuan HAM rendah. Linier dengan persepsi
tersebut, para ahli yang menjadi responden survei tersebut juga menemukan
bahwa 61,8% responden meyakini situasi HAM di era Jokowi akan mengalami
stagnasi. Apalagi dikaitkan dengan kemampuan Jokowi menuntaskan kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu, hanya 17,1% responden yang yakin akan
kemampuan presiden ketujuh ini.
Namun demikian, secara umum
Indeks Kinerja HAM yang untuk kelimanya disusun oleh SETARA Institute
menggambarkan tren yang positif. Dari 8 variabel yang digunakan sebagai
indikator utama survei ini, hampir semuanya menunjukkan tren kenaikan meski
tidak signifikan. Pada tahun 2014 skor indeks menunjukkan peningkatan dari
2,25 pada 2013 menjadi 2,49 pada tahun 2014.
Peningkatan ini jelas disebabkan
oleh komitmen tertulis Jokowi-JK sebagaimana tertuang dalam visi misinya, yang
menyatakan secara tegas akan menuntaskan penyelesaian kasus pelanggaran HAM
berat di Indonesia, termasuk bersikap tegas pula atas praktik diskriminasi
yang disebabkan oleh peraturan perundang-undangan.
Apa yang tergambar dari survei
Indeks Kinerja HAM tersebut, sesungguhnya harapan itu masih sangat terbuka
meski masih berupa kuncup yang belum mekar. Publik sangat mafhum bahwa
pemerintahan ini baru bekerja lebih kurang 2 bulan. Karena itu, berbagai
evaluasi atas kinerja presiden, termasuk kinerja bidang HAM, harus diletakkan
sebagai cambuk untuk memacu percepatan realisasi janji-janji saat kampanye
dulu.
Langkah nyata
Pemerintahan baru di bawah
kepemimpinan Joko WidodoJusuf Kalla, jika mengacu pada tren peningkatan
indeks, telah memberikan sentimen positif pada pemajuan HAM. Secara umum
publik jelas menaruh harapan besar pada pemerintahan baru. Sebagaimana
dituangkan dalam visi-misi pasangan presiden dan wakil presiden RI ini,
agenda pemajuan HAM mendapatkan perhatian normatif. Demikian juga, beberapa
langkah perdana sejumlah kementerian pada kabinet kerja 2014-2019, telah
menunjukkan optimisme bagi pema juan HAM.
Namun demikian, sentimen positif
yang dipicu oleh visi HAM yang progresif tidak cukup berkontribusi untuk
segera menaikkan kepercayaan publik.
Harapan publik harus dikelola
dan dirawat bukan dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata.
Langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh sejumlah menteri yang berhubungan
dengan penghapusan diskriminasi di Kabinet Kerja Jokowi-JK misalnya, telah
menuai pujian meski belum terukur hasilnya. Namun pada saat yang bersamaan,
terdapat juga menteri-menteri yang justru mengambil langkahlangkah yang
memunculkan pesimisme publik karena langkah tersebut kontradiktif dengan
nalar keadilan.
Pada isu penyelesaian pelanggaran
HAM masa lalu, kepemimpinan ini harus melangkah lebih maju dari pendahulunya.
Selama 10 tahun, kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono hanya melakukan
kapitalisasi isu ini untuk menghibur korban dan para pegiat HAM, hingga
kepemimpin annya berakhir sesungguhnya impunitas itu masih bercokol.
Jokowi-JK tidak perlu meretas jalan lagi kecuali menjalankan mandat UU.
Sudah cukup jelas, terhadap
perkara pelanggaran HAM masa lalu yang secara teknis yudisial masih
memungkinkan diadili, Jokowi tinggal membentuk pengadilan HAM Ad Hoc,
sebagaimana diatur oleh UU 26/2000. Sementara untuk perkara yang secara
teknis yudisial tidak lagi memungkinkan dijalankannya proses peradilan,
Jokowi-JK tinggal menjalankan proses rekonsiliasi. Untuk langkah kedua ini,
pemerintah harus ter lebih dahulu mengambil prakarsa membentuk UU Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Dengan dua langkah tersebut,
bangsa ini bisa berpijak pada sejarah dan keadilan warga dalam membangun.
Tidak seperti sekarang ini, semua peristiwa masih tertutup kabut dan
menyisakan ketidakadilan bagi korban dan bagi semua anak bangsa. Dua langkah
tersebut bukanlah langkah sulit, 7 perkara pelanggaran HAM berat masa lalu
yang sudah diselidiki Komnas HAM ialah fokus utama penyelesaian secara
yudisial.
Cukup dengan memerintahkan
Kejaksaan Agung bekerja melakukan penyidikan dan penuntutan, maka secara
paralel pengadian HAM ad hoc bisa dibentuk. Apalagi, syarat persetujuan DPR
RI untuk bisa menentukan apakah sebuah perkara yang dikualifikasi sebagai
pelanggaran HAM berat telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi atau bisa
memulai dengan kasus penculikan yang nyata sudah mendapat dukungan DPR RI
2009 untuk disidangkan.
Untuk menata masa depan,
Presiden RI Joko Widodo harus mengawal dan memastikan janji-janji pemajuan
HAM menjadi salah satu prioritas pembangunan pada 20142019. Janji-janji
tersebut harus dipastikan terakomodasi pada Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 dan pada Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) 2014-2019 yang sedang disusun oleh Presiden.
Beginilah
cara bangsa yang beradab memetik hikmah dari sebuah perayaan momentum seperti
perayaan Hari Internasional HAM 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar