Jumat, 12 Desember 2014

Memandang Pecandu dan Korban Narkotika

             Memandang Pecandu dan Korban Narkotika

Slamet Pribadi  ;   Pemerhati Masalah Hukum dan Sosial
MEDIA INDONESIA,  11 Desember 2014

                                                                                                                       


PERSOALAN peredaran gelap narkotika dan penyalahgunaannya di masyarakat ialah persoalan sosial masyarakat yang berasal dari perilaku sosial dan amat tergantung dari kesadaran seseorang tentang suatu nilai. Oleh karena itu, cara pandang mengatasi persoalan narkotika itu tidak bisa hanya dari sudut hukum. Persoalan tersebut berkembang biak di tengah pergaulan yang dinamis.Bahkan menjadi perilaku yang dapat menjadi pemicu kehancuran generasi.

Beberapa cara pandang di antaranya ialah cara pandang hukum, medis, dan sosial.Ketiganya harus berjalan secara seimbang. Cara pandang persoalan narkotika itu ialah solusi untuk menyelesaikan masalah. Tidak hanya diberi hukuman secara pidana, sesuai dengan tujuan pemidanaan, yaitu untuk diperbaiki mental dan fisiknya, tetapi juga , disehatkan, dipulihkan, dan direhabilitasi.

Cara pandang

Cara pandang satu sisi hanya dari sudut hukum saja, yaitu mencari kesalahan, dengan memanfaatkan unsur dalam pasal pidana, yang bisa dijeratkan kepada siapa saja. Saat ini, cara itu sudah mulai ketinggalan. Cara pandang tersebut biasanya dimiliki para penegak hukum, terutama yang tidak memahami tujuan hukum dan pemidanaan seseorang yang telah melanggar hukum,yakni memenjarakan sebagai solusi untuk memperbaiki seseorang yang telah menyalahgunakan narkotika untuk diri sendiri, meskipun dia menguasai suatu barang berupa narkotika yang dilarang oleh negara.

Menerapkan UU No 35/2009 tentang Narkotika, alangkah bijaknya kita berpikir yang lengkap. Di samping dipersangkakan dengan pasal yang memuat unsur pidana suatu perbuatan pidana, sebaiknya juga berpikir dengan pasal lain di dalam UU yang sama. Yaitu pasal-pasal yang mengatur perlunya pandangan medis dan sosial sebagai politik hukum, karena pasal yang satu dengan yang lain saling berkaitan.

Pembuat UU itu mempunyai tujuan yang besar dan memandang jauh soal narkotika. Seperti pasal yang diatur dalam Pasal 54 yang berbunyi “Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.“

Penegak hukum diajak berpikir jernih dan menyeluruh dengan menggunakan berbagai cara pandang terhadap para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, bahwa negara ini wajib merehabilitasi secara medis dan sosial. Artinya, negara melalui komponen kelembagaan penyelenggara negaranya (penegak hukum dan lembaga yang berkaitan) wajib memberikan pengobatan, menyehatkan, memulihkan kondisi para pecandu korban penyalahgunaan narkotika hingga yang bersangkutan sembuh, sehat, dan pulih. Itu merupakan kewajiban negara yang didelegasikan kepada aparatnya.

Penulis pernah berdebat dengan seorang penegak hukum, yang berpandangan bahwa para pengguna dan penyalah guna narkotika itu telah melakukan kejahatan. Saya setuju, tapi memiliki pandangan tambahan medis, bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan itu harus ditolong, disembuhkan, serta direhabilitasi karena telah mengalami kecanduan.

Di tengah perdebatan, kami ditengahi seorang dokter. Dia bertanya kepada lawan bicara saya “Apakah menunggu anak kandung atau keluarga yang mengalami kecanduan, sehingga baru memahami kalau rehabilitasi ini penting?“ Lawan bicara saya pun terdiam.

Itu ilustrasi yang menarik, bagaimana pendapat dari sisi hukum dan medis dalam menangani pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Untuk tetap pada posisi itu, perlu energi yang besar. Semua daya dikeluarkan, semata untuk melaksanakan amanat negara atas perintah UU. Yaitu negara wajib merehabilitasi secara medis dan sosial pecandu dalam keadaan ketergantungan dan korban penyalahgunaan narkotika, karena tidak sengaja menggunakan narkotika akibat dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika.

Jika hukum positif sudah memerintahkan kepada negara atas kewajibannya untuk me rehabilitasi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika, tidak ada pilihan lain, negara harus merehabilitasinya. Di Republik ini, setiap orang dijamin mendapat hak yang sama di hadapan hukum untuk sehat.

Yang dimasukkan penjara

Ada beberapa hal yang harus diwaspadai. Di antaranya bagi yang tidak ada ketergantungan, bahkan sama sekali tidak ada ketergantungan, nantinya akan mengalami ketergantungan. Bagi yang sudah mengalami ketergantungan, maka ketergantungannya semakin parah. Bagi yang tidak mengalami ketergantungan, ketika dimasukkan di penjara, apakah itu di tingkat penyidikan, prapenuntutan, atau di tingkat lembaga pemasyarakatan, maka dia bertemu dengan para bandar dan kurir.

Diawali dengan pemberian gratis oleh bandar, kemudian merasakan sensasinya, setelah itu ada keharusan untuk pemenuhan zat narkotika itu secara mutlak. Karena pengguna untuk diri sendiri yang baru masuk itu sudah mengalami transformasi perilaku mulai kecanduan, ada rasa ketergantungan, pilihan satu satunya ialah pemenuhan narkotika jenis apa pun. Alumni LP mengalami ketergantungan yang luar biasa.

Kewaspadaan lain ialah terbentuknya kurir baru, karena ada pergaulan intensif di dalam maupun di luar ruang tahanan. Interaksi itu memberikan suntikan baru bidang pengetahuan peredaran narkotika secara ilegal.

Menambah beban

Jika ini terjadi dan cara berpikir para penyelenggara negara di bidang penegakan hukum, kesehatan, rehabilitasi medis, dan sosial masih parsial, dan tidak ada gerakan yang masif dan integral, upaya untuk menekan angka suplai dari para bandar dan kurir, serta upaya menekan angka pengguna mustahil berhasil.

Upaya yang menyeluruh ialah satu-satunya pilihan bagi para penyelenggara negara ini. Ide dasar, konsep, dan kebijakannya harus menyatu. Jika ada satu pihak melakukan kebijakan yang luar biasa, sementara institusi yang lain biasa-biasa saja, bahkan pecandu yang mengalami ketergantungan dan korban penyalahgunaan narkotika terus di satukan dengan para bandar dan kurir, sudah bisa dipastikan upaya menekan supply dan demand tidak akan berhasil.

Angka penggunaan terus meningkat berbanding lurus dengan jumlah penduduk. Kerusakan mental terus menggerogoti masyarakat, utamanya generasi penerus. Beban masyarakat atas peredaran gelap dan angka penggunaan yang meningkat memberikan beban yang luar biasa kepada masyarakat, ongkos sosialnya terus meningkat. Anggaran yang semestinya digunakan untuk hal yang positif justru digunakan untuk membeli narkotika. Hitungannya ialah triliun per tahun.

Sudah waktunya para penyelenggara negara menyatukan konsep dan kebijakannya sesuai dengan yang diperintahkan oleh UU. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Berpikir parsial di zaman yang modern ini sudah ketinggalan kereta api. Itu artinya penyelenggara negara tidak peka terhadap politik, hukum, dan UU narkotika karena terpaku dengan rutinitasnya. Menyatukan para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dengan para bandar dan kurir narkotika di penjara harus menjadi perhatian serius.

Kerugian sosial dan kerugian materiil harus segera ditutup dengan menyatukan langkah yang progresif dan beradab memaknai UU narkotika dengan benar dan komprehensif. Terdapat keseimbangan antara metode supply dengan memutus mata rantai jaringan penjahat narkotika, melalui metode pencegahan, dengan memberikan penyadaran arti manusia yang sehat serta keseimbangan antara cara pandang hukum dengan cara pandang medis yang menyeluruh sesuai dengan perintah UU narkotika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar