Memandang
Pecandu dan Korban Narkotika
Slamet Pribadi ; Pemerhati Masalah Hukum dan Sosial
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Desember 2014
PERSOALAN peredaran gelap
narkotika dan penyalahgunaannya di masyarakat ialah persoalan sosial
masyarakat yang berasal dari perilaku sosial dan amat tergantung dari
kesadaran seseorang tentang suatu nilai. Oleh karena itu, cara pandang
mengatasi persoalan narkotika itu tidak bisa hanya dari sudut hukum.
Persoalan tersebut berkembang biak di tengah pergaulan yang dinamis.Bahkan
menjadi perilaku yang dapat menjadi pemicu kehancuran generasi.
Beberapa cara pandang di
antaranya ialah cara pandang hukum, medis, dan sosial.Ketiganya harus
berjalan secara seimbang. Cara pandang persoalan narkotika itu ialah solusi
untuk menyelesaikan masalah. Tidak hanya diberi hukuman secara pidana, sesuai
dengan tujuan pemidanaan, yaitu untuk diperbaiki mental dan fisiknya, tetapi
juga , disehatkan, dipulihkan, dan direhabilitasi.
Cara pandang
Cara pandang satu sisi hanya
dari sudut hukum saja, yaitu mencari kesalahan, dengan memanfaatkan unsur
dalam pasal pidana, yang bisa dijeratkan kepada siapa saja. Saat ini, cara
itu sudah mulai ketinggalan. Cara pandang tersebut biasanya dimiliki para
penegak hukum, terutama yang tidak memahami tujuan hukum dan pemidanaan
seseorang yang telah melanggar hukum,yakni memenjarakan sebagai solusi untuk
memperbaiki seseorang yang telah menyalahgunakan narkotika untuk diri
sendiri, meskipun dia menguasai suatu barang berupa narkotika yang dilarang
oleh negara.
Menerapkan UU No 35/2009 tentang
Narkotika, alangkah bijaknya kita berpikir yang lengkap. Di samping
dipersangkakan dengan pasal yang memuat unsur pidana suatu perbuatan pidana,
sebaiknya juga berpikir dengan pasal lain di dalam UU yang sama. Yaitu
pasal-pasal yang mengatur perlunya pandangan medis dan sosial sebagai politik
hukum, karena pasal yang satu dengan yang lain saling berkaitan.
Pembuat UU itu mempunyai tujuan
yang besar dan memandang jauh soal narkotika. Seperti pasal yang diatur dalam
Pasal 54 yang berbunyi “Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika
wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.“
Penegak hukum diajak berpikir
jernih dan menyeluruh dengan menggunakan berbagai cara pandang terhadap para
pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, bahwa negara ini wajib
merehabilitasi secara medis dan sosial. Artinya, negara melalui komponen
kelembagaan penyelenggara negaranya (penegak hukum dan lembaga yang berkaitan)
wajib memberikan pengobatan, menyehatkan, memulihkan kondisi para pecandu
korban penyalahgunaan narkotika hingga yang bersangkutan sembuh, sehat, dan
pulih. Itu merupakan kewajiban negara yang didelegasikan kepada aparatnya.
Penulis pernah berdebat dengan
seorang penegak hukum, yang berpandangan bahwa para pengguna dan penyalah
guna narkotika itu telah melakukan kejahatan. Saya setuju, tapi memiliki
pandangan tambahan medis, bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan itu harus
ditolong, disembuhkan, serta direhabilitasi karena telah mengalami kecanduan.
Di tengah perdebatan, kami
ditengahi seorang dokter. Dia bertanya kepada lawan bicara saya “Apakah
menunggu anak kandung atau keluarga yang mengalami kecanduan, sehingga baru
memahami kalau rehabilitasi ini penting?“ Lawan bicara saya pun terdiam.
Itu ilustrasi yang menarik,
bagaimana pendapat dari sisi hukum dan medis dalam menangani pecandu
narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Untuk tetap pada posisi itu,
perlu energi yang besar. Semua daya dikeluarkan, semata untuk melaksanakan
amanat negara atas perintah UU. Yaitu negara wajib merehabilitasi secara
medis dan sosial pecandu dalam keadaan ketergantungan dan korban
penyalahgunaan narkotika, karena tidak sengaja menggunakan narkotika akibat
dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan
narkotika.
Jika hukum positif sudah
memerintahkan kepada negara atas kewajibannya untuk me rehabilitasi pecandu
narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika, tidak ada pilihan lain, negara
harus merehabilitasinya. Di Republik ini, setiap orang dijamin mendapat hak
yang sama di hadapan hukum untuk sehat.
Yang dimasukkan penjara
Ada beberapa hal yang harus
diwaspadai. Di antaranya bagi yang tidak ada ketergantungan, bahkan sama
sekali tidak ada ketergantungan, nantinya akan mengalami ketergantungan. Bagi
yang sudah mengalami ketergantungan, maka ketergantungannya semakin parah.
Bagi yang tidak mengalami ketergantungan, ketika dimasukkan di penjara,
apakah itu di tingkat penyidikan, prapenuntutan, atau di tingkat lembaga
pemasyarakatan, maka dia bertemu dengan para bandar dan kurir.
Diawali dengan pemberian gratis
oleh bandar, kemudian merasakan sensasinya, setelah itu ada keharusan untuk
pemenuhan zat narkotika itu secara mutlak. Karena pengguna untuk diri sendiri
yang baru masuk itu sudah mengalami transformasi perilaku mulai kecanduan,
ada rasa ketergantungan, pilihan satu satunya ialah pemenuhan narkotika jenis
apa pun. Alumni LP mengalami ketergantungan yang luar biasa.
Kewaspadaan lain ialah
terbentuknya kurir baru, karena ada pergaulan intensif di dalam maupun di
luar ruang tahanan. Interaksi itu memberikan suntikan baru bidang pengetahuan
peredaran narkotika secara ilegal.
Menambah beban
Jika ini terjadi dan cara
berpikir para penyelenggara negara di bidang penegakan hukum, kesehatan,
rehabilitasi medis, dan sosial masih parsial, dan tidak ada gerakan yang
masif dan integral, upaya untuk menekan angka suplai dari para bandar dan
kurir, serta upaya menekan angka pengguna mustahil berhasil.
Upaya yang menyeluruh ialah
satu-satunya pilihan bagi para penyelenggara negara ini. Ide dasar, konsep,
dan kebijakannya harus menyatu. Jika ada satu pihak melakukan kebijakan yang
luar biasa, sementara institusi yang lain biasa-biasa saja, bahkan pecandu yang
mengalami ketergantungan dan korban penyalahgunaan narkotika terus di satukan
dengan para bandar dan kurir, sudah bisa dipastikan upaya menekan supply dan
demand tidak akan berhasil.
Angka penggunaan terus meningkat
berbanding lurus dengan jumlah penduduk. Kerusakan mental terus menggerogoti
masyarakat, utamanya generasi penerus. Beban masyarakat atas peredaran gelap
dan angka penggunaan yang meningkat memberikan beban yang luar biasa kepada
masyarakat, ongkos sosialnya terus meningkat. Anggaran yang semestinya
digunakan untuk hal yang positif justru digunakan untuk membeli narkotika.
Hitungannya ialah triliun per tahun.
Sudah waktunya para
penyelenggara negara menyatukan konsep dan kebijakannya sesuai dengan yang
diperintahkan oleh UU. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan kualitas manusia
Indonesia. Berpikir parsial di zaman yang modern ini sudah ketinggalan kereta
api. Itu artinya penyelenggara negara tidak peka terhadap politik, hukum, dan
UU narkotika karena terpaku dengan rutinitasnya. Menyatukan para pecandu dan
korban penyalahgunaan narkotika dengan para bandar dan kurir narkotika di
penjara harus menjadi perhatian serius.
Kerugian
sosial dan kerugian materiil harus segera ditutup dengan menyatukan langkah
yang progresif dan beradab memaknai UU narkotika dengan benar dan
komprehensif. Terdapat keseimbangan antara metode supply dengan memutus mata rantai jaringan penjahat narkotika,
melalui metode pencegahan, dengan memberikan penyadaran arti manusia yang
sehat serta keseimbangan antara cara pandang hukum dengan cara pandang medis
yang menyeluruh sesuai dengan perintah UU narkotika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar