Kamis, 18 Desember 2014

Asuransi Dampak Bencana

Asuransi Dampak Bencana

Effnu Subiyanto ;   Pengkaji Transformasi Teknologi dan Infrastruktur
KORAN JAKARTA,  17 Desember 2014

                                                                                                                       


Bencana alam negeri ini silih berganti. Longsor Banjarnegara (12/12) menjelang akhir pekan yang mengubur satu desa benar-benar sangat menyedihkan.

Korban tewas sementara 50 orang dan terus bertambah karena diperkirakan ada sekitar 100 penduduk Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, di lokasi, pada malam kejadian.

Untuk diingat bahwa tahun 2006 dusun tetangga Dusun Jemblung yakni Dusun Sijeruk juga mengalami hal sama. Sekitar 90 warga tewas terkubur pada kejadian tersebut. Titik bencana seketika terisolasi karena akses jalan dipenuhi material longsoran. Bantuan dari Semarang, Banyumas, Purwakarta, dan Pekalongan tidak bisa mencapai lokasi.

Alat berat yang sangat diperlukan seperti backhoe dan buldoser dengan sangat pelan merayap dari arah luar. Jika pun sampai ke titik bencana, pertolongan sudah sangat terlambat. Rangkaian bencana lain seperti banjir, erupsi Gunung Sinabung, gempa 6,5 SR di Kebumen, letusan Gunung Kelud memunculkan gagasan untuk mengasuransikan kondisi kahar.

Umumnya force majeur selalu menjadi pengecualian dalam kontrak asuransi jika tidak disebut khusus tidak ada yang bisa dipersalahkan. Jika melihat korban-korban bencana ada beberapa kelompok yang harus diperhitungkan seperti korban jiwa di episentrum dan daerah sekitarnya.

Kemudian harta benda, rusaknya tanaman pertanian, infrastruktur, handling, dan pemulihan mental korban. Persoalannya, berapa menilai angka kerugian kehilangan nyawa setiap korban bencana yang layak.

Perhitungan minimal kewajarannya adalah ahli waris harus mendapatkan penghasilan yang sama dengan yang didapatkan korban saat masih hidup ditambah dengan kenaikan inflasi per tahun dengan asumsi harapan hidup sampai dengan rata-rata usia produktif umumnya setiap penduduk Indonesia.

Jika misalnya BNPB setempat pada tahun ini merilis korban meninggal berusia 30 tahun dengan penghasilan 300.000 rupiah per bulan, maka yang diterima oleh ahli waris adalah 300.000 dikalikan kenaikan indeks inflasi per tahun dikalikan angka harapan hidupnya sampai usia 56 tahun. Maka, ahli waris untuk korban tersebut harus menerima 959.477 dengan asumsi inflasi 4,4 persen per tahun.

Jika akan diasuransikan, maka pemerintah harus memberikan nilai asumsi jumlah korban meninggal setiap bencana. Ini tentu saja diperlukan untuk menghitung nilai kewajaran premi yang harus dibayarkan kepada asuransi.

Berikutnya, nilai klaim terhadap harta benda yang tetap atau bergerak dihitung. Harta tanah juga perlu dihitung karena bencana tidak jarang menghilangkan hak milik. Misalnya kasus lumpur Lapindo atau longsor ini sebagai klausul totally lost ataupun partially lost seperti bencana Gunung Kelud.

Jika diasumsikan totally lost dengan nilai yang harus dikembalikan kepada setiap kepala keluarga (KK) diandaikan 500 juta rupiah untuk harta tetap dan maksimal 100 juta harta bergerak, maka premi bisa dikuantifikasi.

Untuk kerugian tanaman pertanian karena bencana relatif mudah dihitung karena tampak dari luar. Pemerintah dapat menggunakan asumsi produksi pertanian tahun sebelumnya atau dengan penggalian data langsung dari penduduk setempat.

Perkiraan nilai kerugian infrastruktur juga lebih mudah penghitungannya. Pengalaman dari bencana banjir 2014, misalnya, ditemukan kerusakan jalan nasional di Pantura Jawa sepanjang 274 km dengan biaya rekondisi minimal 1,5 triliun rupiah. Longsor atau gempa bumi akan merusakkan jembatan, jalan, pelabuhan, dan infrastruktur penting lainnya.

Pada bencana longsor Banjarnegara, akses jalan dipastikan rusak karena terendam lumpur dan kayu-kayu besar. Term berikutnya yang harus dikover mobilisasi dan demobilisasi korban kembali ke tempat semula setelah aman.

Biaya ini relatif mudah diestimasikan, yakni jumlah korban mengungsi dengan kebutuhan alat transportasi dikalikan hari yang dibutuhkan. Yang agak sulit dikalkulasi biaya pemulihan psikologi terhadap korban.

Diperlukan tim untuk memulihkan kondisi psikis korban atau anak-anak korban bencana dan korban lain yang rentan masalah kejiwaan. Tim harus bekerja berbulan-bulan. Jika diasumsikan setiap kejadian diperlukan dana sampai 1,0 triliun untuk menyelesaikan problem sosial dengan premi 1 persen, maka pemerintah perlu biaya 10 miliar.

Dalam setahun dicadangkan untuk 12 kali bencana, maka APBN harus membayar premi 120 miliar. Nilai premi ini lebih kecil dibanding dana siaga bencana dalam APBN 2014 sebesar 3 triliun yang dianggarkan untuk BNPB.

Pemerintah dituntut tangguh dalam menegosiasi premi asuransi agar biayanya rendah namun mendapat manfaat maksimal. Data bencana Indonesia sebetulnya bisa diperkirakan dengan perencanaan serius karena siklusnya relatif tetap sepanjang tahun. Bahkan, adakalanya tidak terjadi bencana sama sekali. Ini adalah benefit perusahaan asuransi yang tidak bisa diungkit-ungkit.

Akurat

Untuk membangun asuransi bencana diperlukan data dan informasi kependudukan yang sangat akurat. Setiap organ pemerintah sejak sel terkecil seperti RT sampai pemerintah kabupaten harus sangat intensif meng-update data kependudukan warga.

Ini menyangkut jumlah, usia, mata pencaharian, sampai nilai hartanya. Setiap penduduk tidak boleh berpangku tangan pasif menunggu update data KK-nya dikerjakan pemerintah. Harus inisiatif melaporkan legalitas KK sampai mendapatkan dokumen kependudukan benar-benar sesuai dengan kondisi terakhir.

Di sisi lain, organ pemerintah tidak sepatutnya mempersulit update data kependudukan atas inisiatif rakyat. Jangan sampai terulang kejadian data kependudukan bencana lumpur Lapindo Sidoarjo yang masih terkatung-katung sampai 8 tahun ini. Data itu sulit diverifikasi keotentikannya karena berbagai alasan. Ujung-ujungnya rakyat menjadi korban.

Menjadi korban berkepanjangan, namun tidak memperoleh ganti rugi untuk mempertahankan hidup. Ini adalah perbuatan kejahatan sangat berat. Inilah gunanya pemerintah.

Jika mengasuransikan korban bencana bisa direalisasikan, tidak hanya kepastian yang bisa diperoleh, namun trust akan lahir kembali.

Pemerintah akan mampu memberikan harapan kepada rakyatnya meski dalam kondisi bencana. Duka korban bencana akan sedikit terobati dan tidak akan turun ke jalan meminta-minta sedekah. Kementerian Sosial kali ini harus mengerjakan sesuatu yang berguna dalam jangka panjang.

Tanggap bencana yang diklaim sangat cepat sebetulnya hanya pendirian dapur umum, membagi selimut, obat-obatan yang sebetulnya tidak kualifikasi Kementerian Sosial. Betapa pun, di samping langkah jangka pendek itu, strategi jangka panjang juga diperlukan agar perlindungan kepada rakyat semakin kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar