Hakim
(Bukan) Politikus
Feri Amsari ; Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat
Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
KORAN
TEMPO, 17 Desember 2014
Ketua Mahkamah
Konstitusi meradang ketika Refly Harun (RH) dan Todung Mulya Lubis (TML)
ditunjuk sebagai anggota Panitia Seleksi (Pansel) Hakim Konstitusi. Kedua
figur kondang itu dianggap memiliki kepentingan tersembunyi karena acap kali
bersengketa di MK.
Melalui
surat protes MK Nomor 2777/HP.00.00/12/2014, Ketua MK meminta Presiden
mengganti kedua anggota Pansel tersebut. Meskipun bukan termasuk lingkup
kewenangan MK, surat tersebut telah melewati persetujuan sembilan hakim
konstitusi berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim MK. Langkah itu adalah
campur tangan pertama MK dalam proses seleksi hakim konstitusi oleh DPR,
presiden, dan Mahkamah Agung.
Jika
dicermati lebih dalam, surat protes itu memiliki tiga kelemahan penting.
Pertama, surat itu mempertanyakan kredibilitas anggota Pansel dalam
menghasilkan figur hakim konstitusi. Kritik MK tersebut ibarat "menepuk
air di dulang, tepercik muka sendiri". Jika RH dan TML diragukan
kredibilitasnya, bukankah sembilan hakim konstitusi yang ada saat ini merupakan
pilihan Pansel yang tidak terbuka? Terutama, hakim konstitusi pilihan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan MA yang dilakukan "tanpa proses
seleksi". SBY dan MA menunjuk sejumlah nama sebagai hakim konstitusi
tanpa melalui proses fit and proper
test, sebagaimana yang dipilih Presiden Joko Widodo melalui Pansel kali
ini. Sayangnya, MK tidak pernah mempertanyakan langkah Presiden SBY dan MA
tersebut, padahal kepentingan presiden dan MA dapat "menyusup"
melalui seleksi tertutup itu.
Kedua,
surat tersebut mempertanyakan figur RH yang pernah menuding borok pada
peradilan bertiang sembilan itu. Di kemudian hari, tudingan RH malah terbukti
dengan tertangkap tangannya Ketua MK Akil Mochtar sebagai penerima suap.
Konon kabarnya, RH masih menyimpan beberapa nama yang dianggap bermasalah.
Pengalaman itulah yang membuat sosok RH begitu dibutuhkan Pansel.
Mempertanyakan keberadaan RH di Pansel memberi kesan bahwa MK masih menyimpan
"dendam masa lalu" ketika boroknya terbongkar.
Ketiga,
surat tersebut mempertanyakan kepentingan anggota Pansel karena acap kali
beperkara di MK merupakan logika tidak tepat. Jika alat ukurnya adalah
beperkara, bukankah Presiden dan DPR adalah pihak yang berlangganan beracara
di MK? UUD 1945 dan UU MK memberikan kewenangan mengajukan hakim konstitusi
kepada lembaga tersebut. Jika alat ukurnya kepentingan beracara, kenapa MK
tidak pernah gelisah dan mempertanyakan kewenangan Presiden dan DPR
mengajukan hakim konstitusi tersebut? Bukan tidak mungkin, alasan MK
mempertanyakan anggota Pansel terkesan dicari-cari untuk sebuah kepentingan
tersembunyi pula.
Ketua MK
Hamdan Zulfa berniat melanjutkan jabatannya yang akan habis (Kompas, 13 Desember) dengan terlebih
dulu mempertimbangkan mekanisme seleksi (Kompas,
11 Desember). Pilihan Hamdan untuk melanjutkan jabatan itu tentu
bertentangan dengan mekanisme seleksi yang dipilih Presiden Jokowi.
Pola
melanjutkan jabatan tersebut menyerupai yang pernah dipraktekkan DPR ketika
melanjutkan jabatan Akil Mochtar sebagai hakim konstitusi. DPR, tanpa melakukan
seleksi ulang dan mengabaikan protes publik, dengan "berani"
melanjutkan begitu saja jabatan hakim konstitusi Akil. Bukan tidak mungkin,
Jokowi belajar dari kasus Akil tersebut. Dengan dibentuknya Pansel,
setidaknya "transaksi politik" yang mungkin terjadi antara Presiden
dan calon hakim konstitusi dapat dibatasi. Jika ingin figur negarawan
berintegritas yang memahami konstitusi dan hukum tata negara dapat terpilih,
proses seleksi terbuka melalui Pansel merupakan langkah yang paling tepat.
Itu sebabnya,
pilihan MK mempertanyakan keanggotaan Pansel patut diduga menyimpan agenda
politik tersendiri. Dengan "menyerang" keanggotaan Pansel dan
meminta pergantian anggota, Pansel akan kehilangan waktu untuk melakukan
seleksi. Padahal hakim konstitusi harus dilantik sebelum 7 Januari 2015. Jika
batas waktu itu tidak terpenuhi, bukan tidak mungkin Presiden terpaksa
memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi Hamdan agar tidak terjadi
kekosongan jabatan.
Apabila langkah MK mengirimkan surat protes kepada Presiden itu
terbukti sebagai pilihan politik, bukan tidak mungkin telah terjadi
pelanggaran Pasal 2 angka 2 Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim
Konstitusi (PMK Nomor 02/PMK/2003) yang meminta hakim MK menjauhkan diri dari
perbuatan tercela dan menjaga wibawa selaku negarawan, arif dan bijaksana
dalam menegakkan hukum dan keadilan. Sulit bagi hakim MK menghindari tuduhan
bahwa surat protes tersebut adalah langkah kekhawatiran karena potensi tidak
terpilih kembali sebagai hakim konstitusi. Jika tuduhan itu benar, hakim MK
bukan lagi seorang negarawan yang arif dan bijaksana. Padahal hakim
konstitusi bukanlah politikus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar