Sabtu, 09 Agustus 2014

The Winner (Not) Takes It All

The Winner (Not) Takes It All

Rhenald Kasali  ;  Pendiri Rumah Perumahan @Rhenald_Kasali
JAWA POS, 08 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

The Winner Takes It All adalah lagu jadul ABBA, grup musik pop asal Swedia. Semoga Anda masih ingat. Ini adalah tentang curhat sang petarung yang jadi pecundang. Betapa terpukulnya dia bisa dilihat dari syairnya.

I don't wanna talk

About the things we've gone through

Though it's hurting me

Now it's history

’’Saya tidak mau lagi bicara tentang yang sudah lewat, yang begitu menyakitkan. Semua hanya tinggal kenangan.’’

Petarung sudah mengeluarkan segalanya. Tapi, Tuhan berkata lain. Petarung (yang gagah itu) kalah, tinggallah pemenang yang mendapatkan semuanya. Begitukah? Saya tidak sepenuhnya setuju dengan ungkapan syair lagu tersebut. Apalagi pada bagian ini.

The winner takes it all

The loser standing small...

Kekuasaan di Mana-Mana

Ketika jutaan manusia Indonesia baru saja merayakan hari kemenangan, menyucikan diri, bersilaturahmi, dan mudik, ternyata masih ada yang sibuk dengan urusan pilpres kemarin. Dari pernyataan yang dilontarkan, ada kesan seakan-akan hanya pemenangnya –setidaknya dengan penetapan KPU– yang mendapatkan segalanya.

Saya ingin katakan, di negeri archipelago yang luas ini, kita punya tantangan pengabdian yang sangat besar. Mengabdi itu tidak hanya menjadi presiden, menteri, tokoh politik, atau jadi orang kaya. Bedanya juga tipis: yang satu pakai dana APBN, yang lain dibiayai keringat sendiri. Kalau mau mengedepankan pelayanan dengan suci dan tidak melakukan korupsi, dijamin kita dapat kekuasaan yang jauh lebih elegan.

Sebaliknya, dalam politik sering terjadi the winners takes nothing. Selain rumit, banyak yang mendoakan agar Anda ’’masuk perangkap’’. Seakan banyak yang membela seperti pengacara-pengacara hebat. Jangan lupa, semua itu besar ongkosnya. Hanya yang bekerja tulus yang tidak perlu membayar.

Harus diakui, tak banyak di antara kita yang siap kalah. Meski mereka menyatakan siap menang dan siap kalah, fakta-fakta yang kita lihat tidak seperti itu. Mereka justru pasang kuda-kuda untuk membalas. Kalau tidak sekarang, mungkin kelak di DPR.

Di banyak negara maju, meski oposisinya sangat kritis, mereka sportif. Kalau program partai pemenang bagus, demi rakyat, mereka tidak segan mengakuinya. Di negara kita sebaliknya. Oposisi kita baru sebatas pokoknya harus berseberangan dengan pemenang. Waton suloyo, kata almarhum Gus Dur.

Rakyat yang menyaksikan tentu jengkel. Semasa kampanye sudah disuguhi pertarungan win-lose. Kini kembali harus menyaksikan pertarungan serupa. Padahal, kita maunya semangat win-win. Jangan lupa, kita masih harus bersatu menyiapkan diri menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015.

Dalam industri kesehatan, misalnya, selain harus melayani pasien miskin, kini banyak dokter dari Malaysia, Singapura, dan Filipina yang berpraktik di sini. Sebaliknya, berapa banyak dokter kita yang bisa berpraktik di rumah sakit-rumah sakit di sana?

Selama ini, beras Thailand yang ke Pontianak harus lewat Jakarta. Kelak pada era AEC, beras-beras itu boleh langsung dikirim ke sana dengan logistik yang lebih murah. Kalau energi kita terus dihabiskan untuk berkelahi, apa jadinya kalau petani di Sulsel mengatakan, lebih baik kita impor beras saja ketimbang menanam sendiri karena tak kompetitif?

Demikian pula, mobil atau barang elektronik bakal membanjiri pasar-pasar di Kalimantan serta Papua dengan harga yang lebih murah ketimbang produk sejenis yang dipasok dari Surabaya. Sementara itu, buruh-buruh kita belum punya rumah yang layak. Rakyat kita terpaksa mengontrak di gang-gang sempit yang kumuh dengan lampu seadanya.

Dan, masih banyak lagi.

Jadi, urusan pemerintah mendatang hanya kerja, kerja, dan kerja. Sudah tidak ada waktu untuk berorasi, bersenang-senang, bagi-bagi jatah, dan menikmati kemewahan protokoler. Karena itu, saya sangat heran kalau masih ngotot ingin jadi presiden.

Selain pekerjaannya banyak, gajinya tidak seberapa. Sementara itu, di luar istana negara, banyak panggilan pengabdian yang tak ada habisnya dengan sejuta kehormatan yang tulus. Kalau tidak percaya, mereka boleh ikut saya, entah mengajar, menulis buku, atau blusukan sosial ke pulau-pulau terpencil. Tinggal semalam saja di Rumah Perubahan yang terletak di tengah kampung, dijamin dapat ide pengabdian.

Jadi, siapa bilang the winner takes it all?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar