The
Winner (Not) Takes It All
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perumahan @Rhenald_Kasali
|
JAWA
POS, 08 Agustus 2014
The Winner Takes It All adalah lagu jadul ABBA, grup musik pop asal Swedia. Semoga Anda
masih ingat. Ini adalah tentang curhat sang petarung yang jadi pecundang.
Betapa terpukulnya dia bisa dilihat dari syairnya.
I don't wanna talk
About the things we've
gone through
Though it's hurting me
Now it's history
’’Saya tidak mau lagi
bicara tentang yang sudah lewat, yang begitu menyakitkan. Semua hanya tinggal
kenangan.’’
Petarung sudah mengeluarkan segalanya. Tapi, Tuhan berkata lain.
Petarung (yang gagah itu) kalah, tinggallah pemenang yang mendapatkan
semuanya. Begitukah? Saya tidak sepenuhnya setuju dengan ungkapan syair lagu
tersebut. Apalagi pada bagian ini.
The winner takes it all
The loser standing
small...
Kekuasaan di Mana-Mana
Ketika jutaan manusia Indonesia baru saja merayakan hari
kemenangan, menyucikan diri, bersilaturahmi, dan mudik, ternyata masih ada
yang sibuk dengan urusan pilpres kemarin. Dari pernyataan yang dilontarkan,
ada kesan seakan-akan hanya pemenangnya –setidaknya dengan penetapan KPU–
yang mendapatkan segalanya.
Saya ingin katakan, di negeri archipelago yang luas ini, kita
punya tantangan pengabdian yang sangat besar. Mengabdi itu tidak hanya
menjadi presiden, menteri, tokoh politik, atau jadi orang kaya. Bedanya juga
tipis: yang satu pakai dana APBN, yang lain dibiayai keringat sendiri. Kalau
mau mengedepankan pelayanan dengan suci dan tidak melakukan korupsi, dijamin
kita dapat kekuasaan yang jauh lebih elegan.
Sebaliknya, dalam politik sering terjadi the winners takes
nothing. Selain rumit, banyak yang mendoakan agar Anda ’’masuk perangkap’’.
Seakan banyak yang membela seperti pengacara-pengacara hebat. Jangan lupa,
semua itu besar ongkosnya. Hanya yang bekerja tulus yang tidak perlu
membayar.
Harus diakui, tak banyak di antara kita yang siap kalah. Meski
mereka menyatakan siap menang dan siap kalah, fakta-fakta yang kita lihat
tidak seperti itu. Mereka justru pasang kuda-kuda untuk membalas. Kalau tidak
sekarang, mungkin kelak di DPR.
Di banyak negara maju, meski oposisinya sangat kritis, mereka
sportif. Kalau program partai pemenang bagus, demi rakyat, mereka tidak segan
mengakuinya. Di negara kita sebaliknya. Oposisi kita baru sebatas pokoknya
harus berseberangan dengan pemenang. Waton
suloyo, kata almarhum Gus Dur.
Rakyat yang menyaksikan tentu jengkel. Semasa kampanye sudah
disuguhi pertarungan win-lose. Kini
kembali harus menyaksikan pertarungan serupa. Padahal, kita maunya semangat
win-win. Jangan lupa, kita masih harus bersatu menyiapkan diri menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015.
Dalam industri kesehatan, misalnya, selain harus melayani pasien
miskin, kini banyak dokter dari Malaysia, Singapura, dan Filipina yang
berpraktik di sini. Sebaliknya, berapa banyak dokter kita yang bisa
berpraktik di rumah sakit-rumah sakit di sana?
Selama ini, beras Thailand yang ke Pontianak harus lewat
Jakarta. Kelak pada era AEC, beras-beras itu boleh langsung dikirim ke sana
dengan logistik yang lebih murah. Kalau energi kita terus dihabiskan untuk
berkelahi, apa jadinya kalau petani di Sulsel mengatakan, lebih baik kita
impor beras saja ketimbang menanam sendiri karena tak kompetitif?
Demikian pula, mobil atau barang elektronik bakal membanjiri
pasar-pasar di Kalimantan serta Papua dengan harga yang lebih murah ketimbang
produk sejenis yang dipasok dari Surabaya. Sementara itu, buruh-buruh kita
belum punya rumah yang layak. Rakyat kita terpaksa mengontrak di gang-gang
sempit yang kumuh dengan lampu seadanya.
Dan, masih banyak lagi.
Jadi, urusan pemerintah mendatang hanya kerja, kerja, dan kerja.
Sudah tidak ada waktu untuk berorasi, bersenang-senang, bagi-bagi jatah, dan
menikmati kemewahan protokoler. Karena itu, saya sangat heran kalau masih
ngotot ingin jadi presiden.
Selain pekerjaannya banyak, gajinya tidak seberapa. Sementara
itu, di luar istana negara, banyak panggilan pengabdian yang tak ada habisnya
dengan sejuta kehormatan yang tulus. Kalau tidak percaya, mereka boleh ikut
saya, entah mengajar, menulis buku, atau blusukan sosial ke pulau-pulau
terpencil. Tinggal semalam saja di Rumah
Perubahan yang terletak di tengah kampung, dijamin dapat ide pengabdian.
Jadi, siapa bilang the
winner takes it all? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar