Menunggu
Kabinet Jokowi
Jeffrie Geovanie ; Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding
|
SINAR
HARAPAN, 08 Agustus 2014
Tanpa mengabaikan proses gugatan yang diajukan kubu
Prabowo-Hatta ke Mahkamah Konstitusi (MK), kita tetap yakin apa yang sudah
ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak akan berubah. Argumen kecurangan
pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) perlu pembuktian yang
tidak gampang.
Kalau hanya klaim, siapa pun bisa melakukan. Klaim kemenangan
bisa dilakukan Prabowo-Hatta, tetapi atas dasar apa? Inilah pertanyaan yang
perlu dijawab secara lugas. Jika hanya klaim sepihak tak ada gunanya. Apalagi
kalau sekadar berdasarkan rumor, kabar angin, dan isu-isu yang dikembangkan
di media sosial yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Atas dasar keyakinan bahwa keputusan MK tidak akan mengubah
hasil secara signifikan, akan lebih baik jika kita fokus pada apa yang
seharusnya dilakukan pasangan capres-cawapres terpilih.
Kabinet seperti apa yang akan dipimpin Presiden Jokowi menjadi
penting untuk kita perbincangkan. Kabinet yang baik dan sesuai harapan publik
sedikit banyak akan mengurangi keraguan para pendukung Prabowo pada Jokowi.
Jokowi sebagai Simbol
Joko Widodo alias Jokowi tak sekadar nama. Dia sudah menjadi
representasi dari sejumlah simbol politik. Di antara simbol-simbol politik
yang identik dengan Jokowi adalah blusukan, jujur, sederhana, dan bekerja.
Blusukan menjadi trendsetter yang tak bisa dilepaskan dari sosok
Jokowi. Blusukan sama sekali berbeda dengan turba (turun ke bawah) yang sudah
populer sejak masa Soeharto.
Turba artinya orang yang berada di atas turun ke bawah. Turba
menjadi simbol kesenjangan posisi dan strata sosial. Turba menjadi kosakata
yang membedakan penguasa dengan rakyatnya.
Sementara itu, blusukan menjadi simbol kebersamaan, lebih dari
sekadar kedekatan, tapi “manunggal” antara pemimpin dengan rakyat yang
dipimpinnya. Karena pemimpin hakikatnya berasal dari rakyat maka blusukan
menjadi keniscayaan. Istilah blusukan akan terdengar aneh untuk para elite
yang dalam kehidupan sehari-harinya jauh dari rakyat.
Selain blusukan, yang juga lekat dengan Jokowi adalah jujur, sederhana,
dan bekerja. Ketiga kata ini menjadi sangat populer karena menjadi bagian
dari lirik lagu hip-hop yang dinyanyikan Muhammad Marzuki (“Kill The DJ”)
dari Yogyakarta.
Kejujuran menjadi penekanan dalam memilih calon pemimpin karena
segala kejahatan, termasuk kejahatan para penguasa, lebih banyak berawal dari
ketidakjujuran.
Banyak kalangan menganggap remeh ketidakjujuran dengan
mengatakan “ya sekali-kali tidak apa-apa”. Padahal, justru karena sekali
tidak jujur, pasti akan ditutupi dengan ketidakjujuran yang lain.
Ketidakjujuran menjadi beranak-pinak.
Seperti kejujuran, kesederhanaan juga penting bagi seorang
pemimpin. Saat ini, kesederhanaan sudah menjadi anomali, hal yang aneh bagi
pemimpin.
Sementara itu, sebagian besar rakyat berada dalam kemiskinan,
para elite umumnya hidup dalam gelimang kemewahan. Pemimpin boleh saja kaya
raya sepanjang kekayaannya diperoleh secara sah dan halal, tapi kaya raya
tidak identik dengan bermewah-mewah.
Untuk ukuran umumnya orang Indonesia, Jokowi bukan orang miskin.
Ia memiliki kekayaan miliaran rupiah dari hasil usahanya sebagai pengusaha
mebel yang sudah menembus pasar mancanegara.
Namun, kekayaan itu tak membuatnya bermewah-mewah. Jokowi tetap
sederhana walaupun kursi wali kota dan gubernur sudah didudukinya. Mobilnya
tak pernah lebih mewah dari Kijang Innova, pun saat ia sibuk berkampanye
keliling Indonesia.
Namun yang lebih penting dari kejujuran dan kesederhanaan adalah
“bekerja”. Bekerja adalah fungsi utama pemimpin. Jujur bagus, sederhana juga
bagus, tetapi kedua sifat baik ini tidak banyak manfaatnya kalau tidak
dibarengi kemampuan bekerja yang baik. Untuk bisa bekerja, pemimpin butuh
keberanian karena tidak semua pekerjaan pemimpin bisa disukai semua orang.
Keberanian mengambil risiko tidak disukai, tetapi berdampak
konstruktif bagi masa depan bangsa. Itulah bentuk keberanian pemimpin.
Lebih dari Zaken Kabinet
Dengan modal blusukan, jujur, sederhana, dan bekerja, kabinet
yang dibutuhkan Jokowi lebih dari sekadar zaken kabinet yang sudah disuarakan
banyak orang.
Zaken kabinet artinya kabinet ahli dengan menempatkan orang
sesuai kompetensi yang dimilikinya. Tentu akan lebih baik lagi jika kabinet
ahli itu bukan berasal dari pemimpin partai politik.
Sebenarnya, para ahli bisa saja berasal dari partai politik
karena faktanya memang sudah banyak kaum profesional yang menjadi pimpinan
partai politik (parpol). Namun, pemimpin parpol sudah pasti akan terikat
dengan kepentingan partainya. Ada konflik kepentingan yang akan mengganggu
kinerjanya.
Idealnya, saat menjadi menteri, seorang politikus sudah harus
terbebas dari kepentingan partainya. Loyalitasnya pada partai harus lebur
saat loyalitas pada negara dimulai. Itu karena saat menjadi pejabat publik ia
harus berkomitmen untuk mengabdi pada publik. Ia harus bekerja untuk
kepentingan rakyat tanpa diskriminasi.
Tapi pengalaman menunjukkan, banyak anggota kabinet yang berasal
dari parpol bekerja atas dasar kepentingan partainya. Anggota kabinet menjadi
seperti anggota parlemen yang terhimpun dalam fraksi-fraksi sesuai nama
parpol yang mencalonkannya. Karena itu, kabinet presidensial rasanya seperti
parlementer.
Anggota Kabinet Jokowi tidak boleh seperti itu. Kabinet Jokowi
harus mencerminkan karakteristik Jokowi sebagaimana yang sudah saya sebutkan
di atas.
Lebih dari sekadar kabinet ahli yang mumpuni di bidangnya, tapi
yang lebih penting adalah ia harus bagian dari rakyat, jujur, sederhana,
rajin bekerja, dan berani mengambil risiko untuk kepentingan rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar