Menumbuhkan
Kewirausahaan
Elfindri ; Profesor
Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Unand
|
KORAN
SINDO, 13 Agustus 2014
Mudah
untuk disebut, namun sulit untuk diimplementasikan. Itulah yang kita
maksudkan bagaimana proses percepatan melahirkan wirausaha baru dalam konteks
pembangunan.
Sesuatu
yang tidak dapat terbantahkan bahwa ada korelasi yang jelas antara jumlah
wirausahawan dan skala kemajuan ekonomi. Semakin besar jumlah wirausahawan,
semakin maju kemajuan ekonomi sebuah negara. Per definisi wirausaha memang
suatu status pekerjaan di mana seseorang mampu berfungsi menghasilkan inovasi
baru dalam memproduksi nilai tambah barang-barang dan jasa; termasuk
memasarkannya.
Dalam
praktiknya, pembaruan inovasi dengan menanggung risiko yang bekal ditanggung.
Dalam statistik tenaga kerja, data wirausahawan memang tidak mudah diperoleh.
BPS mengklasifikasikan seseorang berdasarkan status pekerjaannya, dan dari
informasi itu minimum kita bisa menemukan data jumlah wirausahawan. Status
pekerjaan di luar sistem upah (bukan penerima upah) adalah mereka yang masuk
dalam kelompok bagian dari wirausahawan.
Bisa
pekerja mandiri, pekerja keluarga tanpa dibayar, atau pengusaha dengan buruh
tetap. Untuk status terakhir, wirausahawan bisa melahirkan berbagai jenis
pekerjaan yang dia sendiri menyediakan upah untuk orang lain. Telah dipatok
bahwa Singapura dan Amerika Serikat memiliki proporsi wirausaha yang lebih
tinggi dari status pekerjaan. Bisa jumlahnya pada kisaran 2,5% sampai 7,5%
dari total angkatan kerja.
Jumlah
demikian tidaklah mudah dihasilkan, mengingat pada kondisi di Indonesia
proporsi angkatan kerja yang masuk kategori berwirausaha masih jauh dari yang
diinginkan. Wirausaha di Indonesia terutama berasal dari etnis China, Minang,
Jawa, Sunda, Bugis, dan berbagai kelompok jenis pekerjaan. Bahkan,
wirausahawan relatif mengikuti proses dan berkembangnya bisnis sesuai dengan
jaringan bisnis semenjak tempo dulu.
Telah
banyak catatan menyatakan bahwa wirausaha di Indonesia, selain dari etnis
Tionghoa, pada umumnya lahir dari etnis tertentu dengan bidang tertentu pula.
Etnis Minang berwirausaha menjadi pedagang yang ulet. Etnis Batak banyak
masuk dalam wirausaha jasa hukum dan transportasi. Demikian juga wirausaha
yang berasal dari suku Bugis, Sunda, Jawa, dan sebagainya.
Menumbuhkan
Wirausaha
Dapat
dipahami bahwa semakin banyak wirausaha, semakin besar jumlah kesempatan
kerja turunan yang bisa dihasilkan, mengingat untuk menjadi wirausaha adalah
tidak dapat diajarkan di sekolah. Wirausaha dapat dihasilkan dari akumulasi
dari pembiasaan seseorang untuk mampu mewujudkan sebuah pembaruan, dan
kemudian pembaruan dapat diwujudkan dalam bentuk barang dan jasa yang dapat
dinikmati oleh banyak orang.
Belakangan
wirausaha ekonomi berkembang seiring dengan perkembangan wirausaha sosial.
Ketika wirausaha ekonomi dapat menumbuhkan orang-orang yang sanggup membuat
sebuah pembaruan dalam struktur barang dan jasa, sementara wirausahawan
sosial merupakan seseorang yang dapat mewujudkan barang publik lebih optimal.
Pentingnya
menumbuhkan kewirausahaan telah dibuktikan secara empiris oleh Ryan Decker,
John Haltiwanger, Ron Jarmin, dan Javier Miranda (2014) yang berjudul: ”The Role of Entrepreneurship in US Job
Creation and Economic Dinamism”, yang diterbitkan di dalam Jurnal of
Economic Perspectives Vo. 28 Issue 3, Summer, 2014.
Dalam
tulisannya, Decker dkk menemukan bahwa melambatnya pertumbuhan lapangan kerja
Amerika Serikat hingga tahun 2000 diperlihatkan oleh kurangnya lahir bisnis
baru. Dan, pelambatan bisnis baru sebagian juga disebabkan terbatasnya
pembiayaan pada bisnis-bisnis baru, ”start
up bussniess”. Menumbuhkan bisnis baru adalah salah satu kata kunci
penting dalam sebuah perekonomian.
Namun,
menumbuhkan sebuah bisnis menemukan banyak kendala jika ditinjau dari sisi
pembiayaan. Katakan jika kita tujukan bagaimana bisnis pemula keadaannya.
Misalnya seseorang ingin berusaha secara mandiri, dengan pengalaman minimum,
serta tanpa modal yang tersedia. Kelompok ini cukup mendominasi khususnya
para pencari kerja baru.
Ketika
mereka ingin berusaha, para pemilik modal, misalnya dunia perbankan, biasanya
selalu memegang unsur, apakah pernah berpengalaman, apakah punya jaminan dan
sebagainya dalam memberikan kredit. Katakan banyak kampanye yang
memperlihatkan ”komitmen perbankan” dalam menyediakan kredit, semisal kredit
usaha rakyat (KUR), kredit usaha tani (KUT). Kita yakin bahwa marketing
kredit demikian hanya ditujukan kepada mereka yang sudah mapan usaha
mandirinya.
Penyediaan
kredit demikian pada umumnya tidak akan banyak membiayai usaha-usaha bisnis
baru ”start up business” yang
diusulkan oleh mereka yang membutuhkan kredit. Sebagai akibat sebenarnya
mereka yang ingin berwirausaha baru ini menghadapi banyak kendala. Selain
kendala keterampilan, kendala pembiayaan dan karakter juga sangat memegang
peranan penting.
Ketiga
aspek itu yang ditemukan kenapa wirausahawan misalnya dari Minang mampu
tampil karena ketiga aspek itu dapat diatasi oleh mereka yang sukses di
kemudian hari (Elfindri, Wiko Saputra,
dan Desri Ayunda 2008, Minang Entrepreunership, Baduose Media) Oleh
karena itu, tantangan terbesar kabinet perekonomian ke depan adalah bagaimana
melahirkan wirausahawan baru.
Fokus
pada tiga hal; pengembangan keterampilan, akses modal, dan membangun karakter
diperkirakan akan dapat bermanfaat untuk mempercepat tumbuhnya bisnis-bisnis
baru oleh wirausahawan muda.
Dengan
kata lain dapat diyakini bahwa sebuah perekonomian akan baik di kemudian hari
ketika para warganya dapat didorong untuk selalu mampu melalui penahapan
awal, sampai penahapan pematangan dalam melakukan usaha-usaha yang sifatnya
spesifik, unik, dan dapat tampil mengambil posisi sebagai wirausaha kuat di
kemudian hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar