Jumat, 15 Agustus 2014

Menumbuhkan Kewirausahaan

                                 Menumbuhkan Kewirausahaan

Elfindri ;   Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Unand
KORAN SINDO, 13 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Mudah untuk disebut, namun sulit untuk diimplementasikan. Itulah yang kita maksudkan bagaimana proses percepatan melahirkan wirausaha baru dalam konteks pembangunan.

Sesuatu yang tidak dapat terbantahkan bahwa ada korelasi yang jelas antara jumlah wirausahawan dan skala kemajuan ekonomi. Semakin besar jumlah wirausahawan, semakin maju kemajuan ekonomi sebuah negara. Per definisi wirausaha memang suatu status pekerjaan di mana seseorang mampu berfungsi menghasilkan inovasi baru dalam memproduksi nilai tambah barang-barang dan jasa; termasuk memasarkannya.

Dalam praktiknya, pembaruan inovasi dengan menanggung risiko yang bekal ditanggung. Dalam statistik tenaga kerja, data wirausahawan memang tidak mudah diperoleh. BPS mengklasifikasikan seseorang berdasarkan status pekerjaannya, dan dari informasi itu minimum kita bisa menemukan data jumlah wirausahawan. Status pekerjaan di luar sistem upah (bukan penerima upah) adalah mereka yang masuk dalam kelompok bagian dari wirausahawan.

Bisa pekerja mandiri, pekerja keluarga tanpa dibayar, atau pengusaha dengan buruh tetap. Untuk status terakhir, wirausahawan bisa melahirkan berbagai jenis pekerjaan yang dia sendiri menyediakan upah untuk orang lain. Telah dipatok bahwa Singapura dan Amerika Serikat memiliki proporsi wirausaha yang lebih tinggi dari status pekerjaan. Bisa jumlahnya pada kisaran 2,5% sampai 7,5% dari total angkatan kerja.

Jumlah demikian tidaklah mudah dihasilkan, mengingat pada kondisi di Indonesia proporsi angkatan kerja yang masuk kategori berwirausaha masih jauh dari yang diinginkan. Wirausaha di Indonesia terutama berasal dari etnis China, Minang, Jawa, Sunda, Bugis, dan berbagai kelompok jenis pekerjaan. Bahkan, wirausahawan relatif mengikuti proses dan berkembangnya bisnis sesuai dengan jaringan bisnis semenjak tempo dulu.

Telah banyak catatan menyatakan bahwa wirausaha di Indonesia, selain dari etnis Tionghoa, pada umumnya lahir dari etnis tertentu dengan bidang tertentu pula. Etnis Minang berwirausaha menjadi pedagang yang ulet. Etnis Batak banyak masuk dalam wirausaha jasa hukum dan transportasi. Demikian juga wirausaha yang berasal dari suku Bugis, Sunda, Jawa, dan sebagainya.

Menumbuhkan Wirausaha

Dapat dipahami bahwa semakin banyak wirausaha, semakin besar jumlah kesempatan kerja turunan yang bisa dihasilkan, mengingat untuk menjadi wirausaha adalah tidak dapat diajarkan di sekolah. Wirausaha dapat dihasilkan dari akumulasi dari pembiasaan seseorang untuk mampu mewujudkan sebuah pembaruan, dan kemudian pembaruan dapat diwujudkan dalam bentuk barang dan jasa yang dapat dinikmati oleh banyak orang.

Belakangan wirausaha ekonomi berkembang seiring dengan perkembangan wirausaha sosial. Ketika wirausaha ekonomi dapat menumbuhkan orang-orang yang sanggup membuat sebuah pembaruan dalam struktur barang dan jasa, sementara wirausahawan sosial merupakan seseorang yang dapat mewujudkan barang publik lebih optimal.

Pentingnya menumbuhkan kewirausahaan telah dibuktikan secara empiris oleh Ryan Decker, John Haltiwanger, Ron Jarmin, dan Javier Miranda (2014) yang berjudul: ”The Role of Entrepreneurship in US Job Creation and Economic Dinamism”, yang diterbitkan di dalam Jurnal of Economic Perspectives Vo. 28 Issue 3, Summer, 2014.

Dalam tulisannya, Decker dkk menemukan bahwa melambatnya pertumbuhan lapangan kerja Amerika Serikat hingga tahun 2000 diperlihatkan oleh kurangnya lahir bisnis baru. Dan, pelambatan bisnis baru sebagian juga disebabkan terbatasnya pembiayaan pada bisnis-bisnis baru, ”start up bussniess”. Menumbuhkan bisnis baru adalah salah satu kata kunci penting dalam sebuah perekonomian.

Namun, menumbuhkan sebuah bisnis menemukan banyak kendala jika ditinjau dari sisi pembiayaan. Katakan jika kita tujukan bagaimana bisnis pemula keadaannya. Misalnya seseorang ingin berusaha secara mandiri, dengan pengalaman minimum, serta tanpa modal yang tersedia. Kelompok ini cukup mendominasi khususnya para pencari kerja baru.

Ketika mereka ingin berusaha, para pemilik modal, misalnya dunia perbankan, biasanya selalu memegang unsur, apakah pernah berpengalaman, apakah punya jaminan dan sebagainya dalam memberikan kredit. Katakan banyak kampanye yang memperlihatkan ”komitmen perbankan” dalam menyediakan kredit, semisal kredit usaha rakyat (KUR), kredit usaha tani (KUT). Kita yakin bahwa marketing kredit demikian hanya ditujukan kepada mereka yang sudah mapan usaha mandirinya.

Penyediaan kredit demikian pada umumnya tidak akan banyak membiayai usaha-usaha bisnis baru ”start up business” yang diusulkan oleh mereka yang membutuhkan kredit. Sebagai akibat sebenarnya mereka yang ingin berwirausaha baru ini menghadapi banyak kendala. Selain kendala keterampilan, kendala pembiayaan dan karakter juga sangat memegang peranan penting.

Ketiga aspek itu yang ditemukan kenapa wirausahawan misalnya dari Minang mampu tampil karena ketiga aspek itu dapat diatasi oleh mereka yang sukses di kemudian hari (Elfindri, Wiko Saputra, dan Desri Ayunda 2008, Minang Entrepreunership, Baduose Media) Oleh karena itu, tantangan terbesar kabinet perekonomian ke depan adalah bagaimana melahirkan wirausahawan baru.

Fokus pada tiga hal; pengembangan keterampilan, akses modal, dan membangun karakter diperkirakan akan dapat bermanfaat untuk mempercepat tumbuhnya bisnis-bisnis baru oleh wirausahawan muda.

Dengan kata lain dapat diyakini bahwa sebuah perekonomian akan baik di kemudian hari ketika para warganya dapat didorong untuk selalu mampu melalui penahapan awal, sampai penahapan pematangan dalam melakukan usaha-usaha yang sifatnya spesifik, unik, dan dapat tampil mengambil posisi sebagai wirausaha kuat di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar