Sabtu, 23 Agustus 2014

Mendobrak Kebiasaan, Meraih Mimpi

                      Mendobrak Kebiasaan, Meraih Mimpi

Amanda Putri Nugrahanti  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 22 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

DI ruang seluas 2,5 meter x 3 meter di Canden, Kota Salatiga, Jawa Tengah, kakak beradik Arfi’an Fuadi (28) dan M Arie Kurniawan (23) beserta timnya mendesain ”jet engine bracket”, salah satu komponen pengangkat mesin pesawat. Desain ini keluar sebagai juara pertama dalam kompetisi desain tiga dimensi yang diadakan General Electric dan GrabCAD. Mereka mengalahkan kompetitor yang bertitel doktor dan lulusan universitas terkemuka dunia.
Ini adalah kali pertama dua putra dari pasangan Akhmad Sya’roni dan Arumi ini mengikuti lomba, tetapi tanpa diduga mereka keluar sebagai juara pertama. Mereka mengalahkan para peserta dari 56 negara dengan total 700 desain.

Arfi’an dan Arie dapat membuat desain yang jauh lebih ringan 84 persen, dari 2 kilogram pada komponen asli menjadi hanya 327 gram.

Namun, semua itu mereka raih bukan secara instan. Semuanya melalui perjuangan panjang mereka bergelut di dunia design engineering. Bertahun-tahun sebelum mengikuti lomba, mereka sudah dipercaya banyak perusahaan asing untuk mendesain berbagai produk. Salah satu desain yang mereka buat adalah pesawat ringan (ultralight aircraft) untuk sebuah perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat (AS).

Semua bermula ketika Arfi’an lulus dari SMK Negeri 7 Semarang tahun 2005 dan mencoba berwirausaha. Banyak hal dia lakukan demi memenuhi kebutuhan hidup, mulai dari berjualan susu segar keliling Kota Semarang, menjaga tambal ban, menjaga bengkel, hingga menjadi tukang cetak foto. Hingga tahun 2009, dia bekerja di Kantor Pos sebagai penjaga malam.

”Walaupun saat itu hanya menjadi penjaga malam, saya punya mimpi yang besar. Saya tak mau hidup begini-begini saja. Saya ingin berbuat sesuatu yang bisa mengubah hidup saya dan keluarga,” kata Arfi’an.

Gaji pertamanya di Kantor Pos digunakan untuk membeli komputer bekas senilai Rp 1,5 juta. Itu pun masih ditambah dari tabungan ayahnya dan kebaikan hati kerabatnya yang memberi hard disk bekas. Memiliki komputer saat itu adalah kemewahan baginya. Sebelumnya, Arfi’an belajar menggunakan komputer dengan meminjam komputer milik sepupunya.

Karena kerjanya bagus, dia mulai dipercaya menjadi petugas di loket pengiriman. Sambil bekerja, Arfi’an, yang menyenangi dunia desain sejak kecil, mencoba-coba mengakses situs freelance. Ada banyak proyek yang ditawarkan di situs tersebut. Dia mulai memberanikan diri menggarap proyek yang ditawarkan.

Fokus pada proyek

Seiring waktu, pekerjaan pun semakin banyak berdatangan. Arfi’an memberanikan diri untuk fokus pada pekerjaan barunya di dunia desain dan memutuskan keluar dari Kantor Pos.

Hampir semua proyek yang ditawarkan dia sanggupi. Mulai dari mendesain gantungan kunci, kaus tangan, anting-anting, sasis mobil, engine bracket, hingga pesawat ringan. Hingga kini, setidaknya 150 proyek sudah dia kerjakan bersama adiknya.

Arie, si adik, yang lulus dari SMK Negeri 2 Salatiga, juga tertarik mengikuti jejak kakaknya. Mereka mendirikan DTECH-ENGINEERING, usaha jasa desain dan engineering. Karena banyaknya proyek yang harus digarap, mereka lalu mempekerjakan dua orang untuk membantu proses riset dan desain.

Apa yang mereka alami tak selalu mulus. Tahun 2012, Arfi’an dan Arie ditipu seorang pemberi proyek dari AS. Proyek mereka diterima, tetapi pembayaran tidak juga dilakukan.

Meski demikian, hal itu tidak menyurutkan langkah mereka. Tahun 2013, Arfi’an bekerja sama dengan warga AS menggarap proyek Coco Pen, pulpen eksklusif yang dibuat dari aluminium solid dan batok kelapa. Produksinya dilakukan di Salatiga.

Mereka menjual produk tersebut di www.kickstarter.com dalam jumlah terbatas. Target mereka hanya memproduksi 500 Coco Pen dan kini sekitar 300 Coco Pen sudah terjual ke seluruh penjuru dunia dengan harga 79-99 dollar AS per unit.

Selain itu, mereka juga membuat Puter Pen, pulpen dari titanium yang dibuka dengan cara diputar. Berbeda dengan Coco Pen, penutup Puter Pen tak akan dapat terlepas dari badannya. Keduanya merupakan produk kerajinan tangan dan eksklusif yang dibuat oleh dua tenaga kerja mereka.

Membangun rumah

Hasil kerja keras mereka sudah dirasakan dampaknya. Mereka bisa membangun rumah untuk orangtua yang sebelumnya berdinding kayu dan atapnya bocor. Mereka juga membeli mobil dan lahan untuk membangun kantor DTECH-ENGINEERING serta tempat untuk membuat Coco Pen, Puter Pen, dan produk lainnya.

”Awalnya, kami melakukan ini semua untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi kini uang bukan lagi yang utama. Saya tertantang mempelajari hal baru, membuat hal baru, dan mendapat informasi baru. Betapa banyak peluang dan kesempatan di pasar global yang bisa kita raih kalau mau berusaha,” kata Arfi’an.

Dia mencontohkan saat sebuah perusahaan besar memintanya menggarap proyek. Mereka dapat mempelajari strategi perusahaan tersebut, bagaimana standar kualitas mereka, bagaimana kontrol mereka terhadap produknya, termasuk bagaimana mereka memandang konsumen.
”Kami belajar banyak sekali dari mereka. Perusahaan-perusahaan besar itu memiliki bagian riset dan pengembangan sendiri. Namun, mereka kadang ingin mendapat opini kedua dari pihak lain yang tidak terbelenggu rutinitas dan biasanya justru bisa menghasilkan sesuatu yang baru,” ujar Arfi’an.

Melalui apa yang mereka lakukan, mereka ingin membuka mata anak muda untuk mau berbuat sesuatu di luar kebiasaan. Kita bekerja tak harus di kantor dan mendapat gaji bulanan layaknya pegawai. Asalkan memiliki kemauan dan bekerja keras, mereka percaya apa pun dapat diraih.

”Modal kami awalnya hanya keras kepala, mau belajar, dan anti mainstream,” kata Arie. Oleh karena itu, sejak tahun lalu, mereka membuka kelas gratis bagi siapa pun yang ingin belajar mengenai design engineering atau mengenai pasar global. Anak muda pun berdatangan ke rumah mereka.

Dari setiap proyek yang mereka garap, hanya satu proyek yang dibuat untuk perusahaan lokal. Arie mengatakan, perusahaan di Indonesia masih belum bisa menerima latar belakang mereka yang lulusan SMK, bukan perguruan tinggi.

Kini, uang tidak lagi menjadi masalah, tetapi mereka tetap ingin kuliah. Sekarang masalahnya justru waktu mereka yang habis untuk menggarap pesanan.

”Tidak apa-apa, mungkin jalan kami memang harus seperti ini. Oleh karena pasar lokal belum dapat menerima, kami harus go global. Setelah itu, kami percaya, pasar Indonesia akan mengikuti,” ujar Arfi’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar