Sabtu, 23 Agustus 2014

Senyawa ABG, Otonomi

                                           Senyawa ABG, Otonomi

Irfan Ridwan Maksum  ;   Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI; Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
KOMPAS, 22 Agustus 2014

                                                                                                                                   

SALAH satu variabel penentu kualitas ekonomi lokal adalah sinergi antara perguruan tinggi (universitas/A), dunia bisnis (B) dan pemerintah daerah (G) yang membentuk apa yang dinamakan triple-helix (Henry Etzkowitz: 2008). Fakta di daerah-daerah, terdapat universitas besar di Indonesia, permasalahan sosial justru besar belum mengacu standar internasional.

Senyawa ABG di atas belum efektif di Indonesia. Perlu keseriusan semua pihak agar pembangunan lokal dapat efektif yang pada akhirnya diharapkan berkonstribusi pada pembangunan nasional.

”Triple helix”

Dalam konteks negara bangsa, hubungan antardunia akademik, bisnis dan pemerintah, di tingkat lokal juga ditentukan oleh bagaimana triple-helix nasional dikembangkan. Umumnya triple-helixnasional yang belum tumbuh menimbulkan kesulitan pula di tingkat lokal. Ketiga pemain di tingkat lokal akan sama-sama mengacu pada apa yang terjadi di tingkat nasional.

Faktanya ditandai oleh hubungan dua pihak (bilateral) yang masih kuat: industri-pemerintah, industri-universitas, dan universitas-pemerintah tanpa koneksitas di antara ketiganya yang amat sulit menjadi basis kebijakan inovasi bersama. Di tingkat lokal pun demikian, faktanya masih kuat hubungan bilateral tadi.

Mengapa di Kota Bandung persoalan kemacetan bukannya berkurang bahkan semakin menjadi-jadi, masalah sampah semakin menumpuk, tata ruang semakin semrawut?

Di tingkat nasional pertanda triple-helix belum kuat tampak sekali terlihat. Inovasi dengan dasar ilmu pengetahuan masih sangat lemah. Kebijakan didorong oleh wisdom pengambil keputusan semata, bahkan kepentingan sesaat lebih banyak muncul. Akibatnya, daerah pun tidak merasa perlu untuk mendorong tiga elemen tersebut bergandengan kuat.

Namun, secara teori, dengan leadership yang kuat, ternyata mampu mendorong triple-helix terjadi. Prasyarat dari munculnya triple-helix adalah masyarakat madani dan organisasi non-profit yang menjembatani ketiga pihak.

Mengubah hubungan bilateral menjadi trilateral terutama adalah dengan mendekatkan ketiga elemen sehingga saling beririsan. Irisan tersebut diisi oleh mereka para agen pengubah dari kelompok masyarakat madani (Etzkowits: 2008).
Itulah mengapa di sejumlah negara maju, triple-helix lokal umumnya terjadi di daerah perkotaan yang telah tumbuh masyarakat madani sehingga pakar perkotaan mengangkat istilah ”learn- ing-region” untuk menggambarkan triple-helix di daerah bercirikan urban (Rutten dan Boekema: 2007).

Membangun kekuatan

Secara nasional, desentralisasi memberi ruang besar dalam pengambilan keputusan bagi daerah. Di daerah, pengambilan keputusan politik berada di tangan DPRD dan kepala daerah. Kepala daerah menjalankan pemerintahan daerah.

Ruang yang memadai ini sering kali faktanya diikat sana-sini oleh kebijakan pusat sehingga makin sempit. Namun, di tengah kesempitan tersebut UU tetap menjamin adanya otonomi meskipun gradasinya menurun. Ruang yang terbatas tersebut merupakan kesempatan mendorong triple-helixlokal muncul untuk kepentingan inovasi berbasis pengetahuan.

Ada beberapa rekomendasi kepada pemda untuk membangun senyawa-ABG lokal. Pertama, mendorong kemampuan entrepreneurship lokal dalam menggali potensi ekonomi dengan menggandeng universitas.

Kedua, mengembangkan jaringan dengan industri untuk menyiapkan laboratorium usaha di universitas-universitas lokal yang ada. Ketiga, memberi insentif kepada berbagai pihak untuk bekerja sama dalam pengembangan jaringan universitas lokal dan industri.

Keempat, mengembangkan kerja sama modal ventura agar mampu mendorong ekonomi lokal. Kelima, mengembangkan basis pengetahuan-komprehensif. Keenam, membangun entitas akademik di tengah-tengah dunia industri.
Inti dari keenam langkah itu adalah membangun atmosfer pengetahuan, atmosfer konsensus di antara tiga elemen, dan mengembangkan atmosfer inovasi.
Atmosfer pertama dilakukan dengan memfokuskan kerja sama antar-aktor untuk memperbaiki kondisi lokal dalam inovasi dengan berkonsentrasi pada penelitian dan pengembangan yang terkait.

Atmosfer kedua dibangun forum lintas tiga elemen dalam melakukan sharing ide dan strategi secara timbal-balik, intensif, dan terus-menerus.

Atmosfer ketiga, berupaya mewujudkan tujuan-tujuan yang diinginkan dari adanya ide dan strategi yang disepakati bersama dan selalu dimonitor perkembangan, keluaran, dan dampaknya.

Perjalanan untuk mewujudkan langkah-langkah tersebut memang diakui membutuhkan leadershipyang kuat. Di tingkat nasional, hasil pilpres yang akan dilantik Oktober nanti adalah pemimpin kuat, dan juga di masing-masing daerah harus didapati orang-orang yang serius.

Pada akhirnya, bangsa Indonesia kembali berharap pada mekanisme pilkada untuk memperbaiki kondisi pembangunan daerah dan nasional.

Pilkada harus ditujukan untuk menghasilkan pemimpin berjiwa triple-helix. Pemimpin yang mengerti dunia usaha dan berbasis pengetahuan.

Pilkada langsung yang mengandalkan pilihan publik kini terdistorsi oleh politik uang sehingga menghasilkan pemimpin yang greedy dan tidak membangun daerah.

Namun, pilkada tidak langsung pun berpotensi sama jika tidak diperbaiki. Alangkah baiknya, meskipun sedikit merepotkan proses pemilihannya, adalah pilkada tidak langsung tetapi harus ditambahkan proses lanjutan dengan berorientasi pada merit-system. Orientasi ini untuk mendorong kompetensi dan profesionalitas.
Untuk itu, masih ada tes lanjutan setelah melalui proses pilkada secara politik, yakni pilkada secaramerit. Hal ini lebih dapat diyakini mampu mendapatkan pemimpin tripel-helix dalam mendorong kekuatan ekonomi lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar