Krisis
Keadaban
Abdul Wahid ;
Penulis sedang
menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum Unversitas 17 Agustus Surabaya,
Pengajar Program Pascasarjana Unisma Malang
|
KORAN
JAKARTA, 13 Agustus 2014
Ketika muncul perilaku biadab, kekerasan, atau radikal karena
tidak menerima kekalahan dalam pergulatan politik legal ini menggambarkan
bukan budaya Indonesia. Ada kekhawatiran ini menggambarkan istilah sangat
kuno dari Thomas Hobbes, homo homini lupus (manusia serigala bagi sesama).
Semoga bukan begitu budaya masyarakat Indonesia.
Pasca-pengumuman KPU terkait Pilpres 2014 yang memenangkan
pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, banyak unjuk kekerasan dalam melancarkan
protes. Kasus di Surabaya belum lama ini menjadi contohnya. Saat Mahkamah
Konstitusi menggelar sidang sehubungan dengan gugatan pasangan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa, KPU Jatim diserang massa yang mengakibatkan bentrokan.
Dari sini muncul pertanyaan, inikah wajah manusia Indonesia yang
way of life-nya mengedepankan prinsip ketuhanan dan kemanusiaan adil dan
beradab? Masih jadi supremasikah keadaban dan kedamaian? Perilaku radikalisme
memperlihatkan krisis keadaban, miskin komitmen kemanusiaan, tidak humanis,
dan menjauh dari persaudaraan kemasyarakatan.
Manusia beragama (bertuhan) pastilah akan mengemas perilakunya
dengan sifat-sifat Tuhan, mengasihi dan menyayangi sesama. Begitu pun jika
seseorang merasa hidup dalam bangunan masyaralat berkeadaban dan
berkemanusiaan, tentulah perbuatannya selalu mengedepankan prinsip humanitas
tanpa disekat faksi-faksi sosial, edukasi, ekonomi, politik, ras, ideologi,
dan agama.
Konstruksi hidup sesudah Pilpres 2014 sedang diwarnai
pertarungan yang berporos demi status sosial politik atau harga diri maupun
kelompok. Tiap elemen politik yang kalah dan tidak menerima merasa
terposisikan lewat sistem dan pola tidak adil. Padahal yang diikutinya adalah
ranah pergulatan politik normal.
Menjamurnya kekerasan kelompok merupakan isyarat kemenangan kekerasan
dan kekalahan peradaban yang memihak nilai-nilai kemanusiaan, persaudaraan,
dan pembaruan. Ini potret masyarakat yang memuja atau “memberhalakan”
kepentingan diri dan kroni, sementara kepentingan bangsa dikorbankan.
Keselamatan, kedamaian, dan kesejatian pembaruan hidup yang
dicita-citakan setelah pilpres menjadi “barang mewah” karena perilaku manusia
yang mengedepankan watak serigala.
Kondisi masyarakat seperti itulah yang pernah diingatkan Maurice
Clavel (filosof Prancis) bahwa “ide besar tentang Tuhan telah lama
tertindas.” Kritik ini juga disampaikan Syafii Maarif (1995), dalam
perjalanan kehidupan yang diwarnai pengejaran materialistik dan kekuasaan,
rasa tanggung jawab terhadap Tuhan sudah semakin surut, redup, dan kehilangan
momentum. “Ketertindasan Tuhan dan kemanusiaan” dapat terbaca dari makin
banyaknya kemenangan ketidakadaban.
Penyakit masyarakat yang menggambarkan kemenangan homo homini
lupus ini harus disembuhkan oleh manusia yang masih punya komitmen untuk
membangun peradaban yang berbasiskan pada nilai-nilai ketuhanan dan
kemanusiaan. Nilai-nilai transenden dan esoteris ini bisa disejarahkan dengan
penyebaran ajaran cinta berbasis humanitas seperti tradisi rekonsiliasi.
Manusia harus hidup dalam inklusivitas.
Komunitas politik harus menjadi penjaga moral, bukan penghalal
segala macam cara demi keuntungan kelompok. Mereka harus peduli dan punya
responsibilitas tinggi untuk selalu mengedepankan prinsip cinta universalitas
di tengah masyarakat. Dengan begitu, tetap ada kekuatan pengimbang yang
membeningkan di tengah kecenderungan-kecenderungan praktik animalistik.
Elemen bangsa, khususnya komunitas elite politik, harus aktif
mendorong dan menabur komitmen advokasi sosial, kebangsaan, dan kemanusiaan
terutama yang berbeda aliran politik.
Sudah waktunya meninggalkan kecenderungan ego pada diri dan
kerabat politik. Gantilah dengan watak-watak adiluhung yang mengunggulkan
komitmen kemanusiaan, kebahagiaan, dan kebersamaan. Komitmen mendekonstruksi
ketidakberdayaan sesama harus dikobarkan dengan mengalahkan kecenderungan
mengutamakan egoisme diri dan sektoral.
Kalau biasanya rakyat rentan dan gampang terjerumus menuhankan
diri sendiri dan kelompok, sekarang saatnya kita mengalahkan diri dan kroni
demi kemanusiaan dan kebangsaan. Kita tidak selayaknya mengikuti emosi dan
arogansi hanya demi merebut kepentingan politik yang secara empirik sudah
tidak mungkin menjadi hak kita. Ini secara legal dan kepatutan, mustahil
menjadi milik kita. Manusia harus berlomba saling mencintai atau memberi kehidupan
harmoni, damai, dan mewujudkan rekonsliasi.
Manusia itu pencinta kedamaian. Hidupnya diabdikan untuk jadi
penabur kebajikan, tidak menjadi arsitek lahirnya homo homini lupus. Dia
menempatkan yang dicintai dalam koridor kepatutan. Kepentingan persaudaraan
kemanusiaan dijadikan sebagai parameter istimewa yang tidak boleh dikalahkan
kecenderungan barbarian.
Bangunan persaudaraan kemanusiaan merupakan kesejatian hidup
bermasyarakat dan berbangsa. Keberimanan seseorang atau kelompok ditentukan
lewat kemampuannya menyelami dan menjaga lautan kepentingan universal
sesamanya. Jika dinding pembatas sudah tidak lagi menghalangi etos juangnya,
barulah statusnya layak dan terhormat disandingkan di sisi Tuhan.
Status formalitas keagamaan memang bisa melekat pada diri setiap
orang, namun identitas penjaga harkat kemanusiaan universal tidak akan pernah
bisa diraihnya, jika aktivitas politik yang dijalani tetap melanjutkan
atmosfer barbarian atau mengemas republic
of horror. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar