Korupsi
“Berjubah” Legislasi
Reza Syawawi ;
Peneliti Transparency International Indonesia
|
KOMPAS,
04 Agustus 2014
SEHARI sebelum Pilpres 2014, pada Selasa, 8 Juli, DPR membuat keputusan
mengejutkan. Rapat Paripurna DPR mengesahkan revisi UU No 27/2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Beberapa substansinya cenderung memperlihatkan
resistensi DPR atas penegakan hukum.
Pengesahan yang terkesan dipaksakan itu akhirnya membuat beberapa
fraksi keluar dari sidang: PDI-P, PKB, dan Hanura. Penolakan substansi atas
rancangan revisi itu seharusnya tak hanya yang terkait pengisian jabatan
ketua DPR, tetapi juga harus dilihat dalam konteks pemberantasan korupsi di
DPR.
Salah satu isu krusial yang di- amini mayoritas anggota DPR
terkait izin pemeriksaan anggota DPR dalam proses penegakan hukum.
Berdasarkan naskah revisi UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) itu,
muncul nama alat kelengkapan baru DPR: Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Alat
kelengkapan ini tidak baru. Sebelumnya Badan Kehormatan (BK).
MKD sama fungsinya dengan BK: menjaga serta menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat
(Pasal 119 Ayat 2). Namun, dari kewenangannya, MKD malah jadi alat yang
mempersulit penegakan hukum. Pasal 245 Ayat 1 menyebutkan pemanggilan dan
permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana harus dapat persetujuan tertulis dari MKD. Dari sisi
hukum, rezim izin pemeriksaan pejabat negara sebetulnya pernah dibatalkan
Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada 2001, sebuah putusan MK yang membatalkan izin pemeriksaan
kepala daerah oleh presiden harusnya menjadi preseden dalam perumusan produk
legislasi di DPR. Secara substansi, apa yang dirumuskan kembali DPR dalam UU
MD3 memiliki kesamaan norma dengan apa yang telah dibatalkan MK.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK sangat jelas menerangkan bahwa
izin pemeriksaan terhadap pejabat negara bertentangan dengan Pasal 27 Ayat 1
UUD 1945, ”Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”. Rumusan ini koheren dengan prinsip menjamin sistem peradilan di
Indonesia yang seharusnya bebas dari intervensi (Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945).
MK menilai pejabat negara dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya memang berbeda dari
warga negara lain yang bukan pejabat negara, tetapi pejabat negara juga
adalah warga negara. Sebagai subyek hukum, terlepas dari jabatannya, kepala
daerah pun harus diperlakukan sama di hadapan hukum.
MK juga berpandangan bahwa persetujuan tertulis pada tahap
penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat negara mana pun tak memiliki
rasionalitas hukum yang cukup dan akan memperlakukan warga negara secara
berbeda di hadapan hukum. Perlakuan menjaga harkat dan martabat pejabat
negara (hak imunitas) dan lembaga negara seyogianya tak boleh bertentangan
dengan prinsip negara hukum dan asas peradilan pidana. Apalagi, sampai
berakibat pada terhambatnya proses hukum.
Proteksi hukum
Munculnya rezim izin pemeriksaan dalam revisi UU MD3 layak
dicurigai sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan legislasi yang dimiliki
DPR untuk menciptakan proteksi hukum bagi anggota DPR. Kecurigaan ini
beralasan ketika begitu banyak anggota DPR yang bermasalah hukum, termasuk
dalam tindak pidana korupsi. Bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), izin
pemeriksaan memang tak jadi soal sebab KPK memiliki hukum acara sendiri dan tidak
tunduk pada aturan ini. Namun, ini akan menyulitkan penegak hukum lain,
seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Ini menunjukkan ketakkonsistenan DPR
mendorong kinerja penegakan hukum di luar KPK. Di satu sisi DPR menghendaki
perbaikan di Kepolisian dan Kejaksaan, di sisi lain justru menghadirkan
regulasi penghambat dan pemersulit penegakan hukum.
Pengesahan UU ini sangat layak dikategorikan sebagai bentuk
pembangkangan hukum oleh institusi DPR. Menurut UU No 12/2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi UU wajib hukumnya
mengakomodasi dan menindaklanjuti apa yang telah diputuskan MK. Ketika rezim
izin pemeriksaan telah dibatalkan MK, setiap keputusan untuk mengaturnya
kembali dalam sistem hukum adalah bentuk pembangkangan.
Harus ada upaya review
atas aturan mengenai izin pemeriksaan itu: DPR merevisinya atau masyarakat
mengajukan uji materi atas UU itu ke MK. Politik legislasi DPR di akhir
periode ini harus tetap dikawal. Jangan digunakan untuk keuntungan kelompok
tertentu, apalagi menciptakan kebal hukum bagi DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar