Nasionalisme
di Laut Tiongkok Selatan
A Dahana ;
Guru Besar Sinologi Universitas Binus dan UI; Peneliti di
Lembaga Kerja Sama Ekonomi, Sosial, dan Budaya Indonesia-China (LIC)
|
KOMPAS,
04 Agustus 2014
PADA awalnya, isu Laut Tiongkok Selatan bagaikan daging beku di
lemari es.
Indonesia berpendapat, soal wilayah yang disengketakan itu bukan
urusannya. Padahal, ada empat anggota ASEAN (Brunei, Filipina, Malaysia, dan
Vietnam) terlibat dalam klaim tumpang tindih atas wilayah yang konon kaya
dengan sumber daya alam itu. Namun, ketika dalam debat capres lalu masalah
itu mencuat, publik Indonesia seakan terbangun dan soal Laut Tiongkok Selatan
(LTS) menjadi salah satu daya tarik untuk dibicarakan.
Menurut diktum teori ilmu hubungan internasional yang kini sudah
dianggap kuno, politik luar negeri suatu negara tak lain dari pencerminan
politik domestiknya. Teori ini kini sudah lebih njelimet lantaran di dalamnya
perlu diperhitungkan ideologi, siapa yang jadi pemimpin, berbagai pusat
kekuasaan di negeri itu, suara publik, dan lain-lain. Namun, melihat sepak
terjang Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam menangani soal klaim tumpang
tindih di LTS dengan empat negara ASEAN dan Taiwan, tampaknya teori
tradisional di atas banyak benarnya juga.
Nasionalisme sejarah
Ekonomi Tiongkok masih nomor dua, di bawah AS. Namun, banyak
yang memperkirakan, sebelum pertengahan abad ini, perekonomian Tiongkok
bakal melewati AS. Agar laju perekonomian bisa terus maju,
salah satu keperluan utamanya adalah energi. Konon, di LTS itulah energi
berupa gas dan minyak bumi melimpah. Karena itu, dengan bersenjatakan faktor
sejarah—bahwa wilayah-wilayah yang diklaim sekarang sudah di bawah yurisdiksi
Dinasti Qing, 1644-1911, RRT mendeklarasikan wilayah itu sebagai ”punya gue”.
Namun, barangkali yang tak kurang menariknya adalah faktor
nasionalisme juga memegang peran penting dalam sengketa ini. Kata para
sejarawan Tiongkok, nasionalisme Tiongkok adalah barang yang sudah lama ada.
Mereka menarik sumber nasionalisme
sampai ke sang Kaisar Kuning, pemimpin yang dalam mitologi dipercaya hidup
lebih dari 2500 tahun sebelum Masehi (SM). Kaisar Kuning itu diyakini sebagai
leluhur dari masyarakat yang berada di sebuah wilayah yang belakangan
dipersatukan oleh Qin Shi Huang Di, kaisar dari Dinasti Qin yang memerintah sekitar 221-207 SM.
Qin Shi Huang ini pula yang menyatukan tembok yang dibangun di
bagian utara Beijing, yang berfungsi memisahkan masyarakat di wilayah dalam
Tiongkok dengan orang-orang yang dianggap suku barbar yang hidup di luar
tembok. Itulah Chang Cheng atau Tembok Besar.
Para sejarawan umumnya berpendapat, walaupun Dinasti Qin hanya
berusia ”seumur jagung” dalam ukuran sejarah (15 tahun), pengaruhnya bergema
selama ratusan tahun kemudian. Namun, semasa Dinasti Yuan (1279-1368) dan
Qing (1644-1911), dua pemerintahan manusia dari luar Tembok Besar berkuasa,
nasionalisme seakan terlupakan.
Ia baru muncul kembali menjelang akhir abad ke-19, ketika Sun
Yat Sen menggali kembali dan memperkenalkan Tiga Asas Kerakyatan (San Min Zhuyi) di mana
nasionalisme jadi salah satu faktor yang tak bisa dipisahkan dari konsep itu.
Ideologi itu berkibar lebih kurang 38 tahun sampai akhirnya lenyap kembali
dari daratan Tiongkok dengan hengkangnya kaum nasionalis (Kuomintang) ke
Taiwan. Republik Tiongkok (Zhonghua Minguo) di Taiwan kini menjadi penerus
wawasan nasionalisme seperti yang diperkenalkan Sun Yat Sen.
Dengan adanya cengkeraman kekuasaan Partai Komunis Tiongkok
(PKT) sejak 1949 di daratan Tiongkok, nasionalisme sekali lagi terkubur. Mao
Zedong, sang penguasa selama sekitar 27 tahun (1949-1976), sangat terobsesi
dengan ide untuk menciptakan masyarakat sosialis/komunis. Untuk itu, ia
mengibarkan bendera ”politik sebagai panglima” dan untuk itu pula ia tak segan-segan, sejak pertengahan 1950-an,
melancarkan berbagai kampanye politik. Mulai dari Gerakan Seratus Bunga
(1955), Lompatan Jauh ke Depan (1857-1960), hingga mencapai puncaknya dengan
Revolusi Kebudayaan (1966-1976).
Menurut perkiraan, jumlah korban yang ditelan oleh Gerakan
Lompatan Jauh tak kurang dari 30 juta jiwa. Revolusi Kebudayaan yang
berlangsung selama 10 tahun tentu menelan korban jiwa yang lebih dari itu.
Rangkaian kampanye baru berakhir setelah Mao meninggal pada September 1976.
Sebagai akibat dari rentetan kampanye politik yang berlangsung
selama hampir 30 tahun itu, sebagian besar anggota masyarakat Tiongkok sudah
muak dan lelah dengan politik. Karena itu, ketika menjelang akhir 1970-an,
Deng Xiaoping melakukan banting setir
dari konsep ”politik sebagai panglima” Mao ke ”ekonomi sebagai panglima”,
mayoritas rakyat Tiongkok menyambutnya dengan antusias.
Nasionalisme-sosialisme
Namun, dengan diperkenalkannya ”sosialisme dengan karakteristik
Tiongkok” dan ”ekonomi pasar dengan karakteristik Tiongkok”, timbullah
masalah cukup serius. Sistem baru ini mengizinkan semua orang untuk terjun ke
pengejaran materi yang sering kali berlebihan. Akibatnya, ideologi (baca:
Marxisme, Leninisme, dan Pikiran Mao) telah terpinggirkan. Bahkan, ada pemeo
yang mengatakan, sekarang ini tak ada lagi seorang pun di Tiongkok yang
percaya akan sosialisme/komunisme. PKT sebagai pemegang monopoli kekuasaan di
daratan Tiongkok menggunakan sosialisme/komunisme hanya sebagai lambang.
Cara paling ampuh untuk keluar dari krisis ideologi ini dengan
membangkitkan kembali nasionalisme, ideologi yang seolah tertidur selama
setengah abad. Sejak awal 1980-an, propaganda partai untuk konsumsi massa dan
sistem pendidikan untuk anak muda dipenuhi oleh semangat nasionalisme.
Bahwa rakyat Tiongkok adalah pencinta tanah air dan bahwa ia
bangsa besar, malahan dijejalkan pula memori kolektif bahwa di masa lalu,
Tiongkok mengalami penghinaan dari kekuatan asing, khususnya Barat dan
Jepang. Dosis nasionalisme itu makin ditingkatkan setelah peristiwa
pembantaian di Tiananmen, pada Juni 1989. Itulah saat ketika tentara
menggilas aksi demo mahasiswa dan publik.
Suntikan serum nasionalisme ini secara teoritis mudah dilakukan
karena secara tradisional, orang Tionghoa dikenal dengan sikap chauvinisme
kulturalnya. Mereka mengklaim tanah tumpah darah mereka sebagai ”pusat
dunia”, sesuai dengan namanya: Zhongguo. Puncak kebanggaan sebagai bangsa
besar itu tergambar ketika mereka merayakan sukses menyelenggarakan Olimpiade
2008, saat para atletnya merebut medali paling banyak.
Tentang sikap galak di LTS, itu bersumber pada faktor dalam
negeri juga. Pertama, ekonomi, dan kedua, nasionalisme. Faktor kedua inilah yang bisa disebut
sebagai konsumsi domestik. Sikap ogah berunding dalam masalah tumpang tindih
klaim kedaulatan wilayah itu disampaikan Presiden Xi Jinping beberapa waktu
lalu di Beijing, ketika menyambut kunjungan Presiden Myanmar Thein Sein dan
Wapres India Hamid Ansari. Kata Xi dengan tandas, ”integritas teritorial tak bisa dikompromikan.”
Namun, jurus nasionalisme dalam berperkara melawan kekuatan
asing berisiko besar karena bisa berkembang jadi xenophobia. Dampaknya, jika
publik melihat pemerintah Xi lemah di hadapan kekuatan asing, ia akan menghadapi
kemurkaan populer. Demo besar, seperti yang terjadi selama musim semi 1989 di
Beijing dan kota-kota besar lain, bisa terjadi lagi. Sebaliknya, jika sikap Tiongkok tetap kaku, dia
berhadapan dengan sikap tak bersahabat dari negara-negara tetangga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar