Selasa, 05 Agustus 2014

Nasionalisme di Laut Tiongkok Selatan

                     Nasionalisme di Laut Tiongkok Selatan

A Dahana  ;   Guru Besar Sinologi Universitas Binus dan UI; Peneliti di Lembaga Kerja Sama Ekonomi, Sosial, dan Budaya Indonesia-China (LIC)
KOMPAS, 04 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

PADA awalnya, isu Laut Tiongkok Selatan bagaikan daging beku di lemari es.
Indonesia berpendapat, soal wilayah yang disengketakan itu bukan urusannya. Padahal, ada empat anggota ASEAN (Brunei, Filipina, Malaysia, dan Vietnam) terlibat dalam klaim tumpang tindih atas wilayah yang konon kaya dengan sumber daya alam itu. Namun, ketika dalam debat capres lalu masalah itu mencuat, publik Indonesia seakan terbangun dan soal Laut Tiongkok Selatan (LTS) menjadi salah satu daya tarik untuk dibicarakan.

Menurut diktum teori ilmu hubungan internasional yang kini sudah dianggap kuno, politik luar negeri suatu negara tak lain dari pencerminan politik domestiknya. Teori ini kini sudah lebih njelimet lantaran di dalamnya perlu diperhitungkan ideologi, siapa yang jadi pemimpin, berbagai pusat kekuasaan di negeri itu, suara publik, dan lain-lain. Namun, melihat sepak terjang Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam menangani soal klaim tumpang tindih di LTS dengan empat negara ASEAN dan Taiwan, tampaknya teori tradisional di atas banyak benarnya juga.

Nasionalisme sejarah

Ekonomi Tiongkok masih nomor dua, di bawah AS. Namun, banyak yang memperkirakan, sebelum pertengahan abad ini, perekonomian Tiongkok bakal  melewati AS.  Agar laju perekonomian bisa terus maju, salah satu keperluan utamanya adalah energi. Konon, di LTS itulah energi berupa gas dan minyak bumi melimpah. Karena itu, dengan bersenjatakan faktor sejarah—bahwa wilayah-wilayah yang diklaim sekarang sudah di bawah yurisdiksi Dinasti Qing, 1644-1911, RRT mendeklarasikan wilayah itu sebagai ”punya gue”.

Namun, barangkali yang tak kurang menariknya adalah faktor nasionalisme juga memegang peran penting dalam sengketa ini. Kata para sejarawan Tiongkok, nasionalisme Tiongkok adalah barang yang sudah lama ada. Mereka menarik sumber  nasionalisme sampai ke sang Kaisar Kuning, pemimpin yang dalam mitologi dipercaya hidup lebih dari 2500 tahun sebelum Masehi (SM). Kaisar Kuning itu diyakini sebagai leluhur dari masyarakat yang berada di sebuah wilayah yang belakangan dipersatukan oleh Qin Shi Huang Di, kaisar dari Dinasti Qin  yang memerintah sekitar 221-207 SM.

Qin Shi Huang ini pula yang menyatukan tembok yang dibangun di bagian utara Beijing, yang berfungsi memisahkan masyarakat di wilayah dalam Tiongkok dengan orang-orang yang dianggap suku barbar yang hidup di luar tembok. Itulah Chang Cheng atau Tembok Besar.

Para sejarawan umumnya berpendapat, walaupun Dinasti Qin hanya berusia ”seumur jagung” dalam ukuran sejarah (15 tahun), pengaruhnya bergema selama ratusan tahun kemudian. Namun, semasa Dinasti Yuan (1279-1368) dan Qing (1644-1911), dua pemerintahan manusia dari luar Tembok Besar berkuasa, nasionalisme seakan terlupakan.

Ia baru muncul kembali menjelang akhir abad ke-19, ketika Sun Yat Sen menggali kembali dan memperkenalkan Tiga Asas  Kerakyatan (San Min Zhuyi) di mana nasionalisme jadi salah satu faktor yang tak bisa dipisahkan dari konsep itu. Ideologi itu berkibar lebih kurang 38 tahun sampai akhirnya lenyap kembali dari daratan Tiongkok dengan hengkangnya kaum nasionalis (Kuomintang) ke Taiwan. Republik Tiongkok (Zhonghua Minguo) di Taiwan kini menjadi penerus wawasan nasionalisme seperti yang diperkenalkan Sun Yat Sen.

Dengan adanya cengkeraman kekuasaan Partai Komunis Tiongkok (PKT) sejak 1949 di daratan Tiongkok, nasionalisme sekali lagi terkubur. Mao Zedong, sang penguasa selama sekitar 27 tahun (1949-1976), sangat terobsesi dengan ide untuk menciptakan masyarakat sosialis/komunis. Untuk itu, ia mengibarkan bendera ”politik sebagai panglima” dan untuk itu pula ia  tak segan-segan, sejak pertengahan 1950-an, melancarkan berbagai kampanye politik. Mulai dari Gerakan Seratus Bunga (1955), Lompatan Jauh ke Depan (1857-1960), hingga mencapai puncaknya dengan Revolusi Kebudayaan (1966-1976).

Menurut perkiraan, jumlah korban yang ditelan oleh Gerakan Lompatan Jauh tak kurang dari 30 juta jiwa. Revolusi Kebudayaan yang berlangsung selama 10 tahun tentu menelan korban jiwa yang lebih dari itu. Rangkaian kampanye baru berakhir setelah Mao meninggal pada September 1976.

Sebagai akibat dari rentetan kampanye politik yang berlangsung selama hampir 30 tahun itu, sebagian besar anggota masyarakat Tiongkok sudah muak dan lelah dengan politik. Karena itu, ketika menjelang akhir 1970-an, Deng Xiaoping  melakukan banting setir dari konsep ”politik sebagai panglima” Mao ke ”ekonomi sebagai panglima”, mayoritas rakyat Tiongkok menyambutnya dengan antusias.

Nasionalisme-sosialisme

Namun, dengan diperkenalkannya ”sosialisme dengan karakteristik Tiongkok” dan ”ekonomi pasar dengan karakteristik Tiongkok”, timbullah masalah cukup serius. Sistem baru ini mengizinkan semua orang untuk terjun ke pengejaran materi yang sering kali berlebihan. Akibatnya, ideologi (baca: Marxisme, Leninisme, dan Pikiran Mao) telah terpinggirkan. Bahkan, ada pemeo yang mengatakan, sekarang ini tak ada lagi seorang pun di Tiongkok yang percaya akan sosialisme/komunisme. PKT sebagai pemegang monopoli kekuasaan di daratan Tiongkok menggunakan sosialisme/komunisme hanya sebagai lambang.

Cara paling ampuh untuk keluar dari krisis ideologi ini dengan membangkitkan kembali nasionalisme, ideologi yang seolah tertidur selama setengah abad. Sejak awal 1980-an, propaganda partai untuk konsumsi massa dan sistem pendidikan untuk anak muda dipenuhi oleh semangat nasionalisme.

Bahwa rakyat Tiongkok adalah pencinta tanah air dan bahwa ia bangsa besar, malahan dijejalkan pula memori kolektif bahwa di masa lalu, Tiongkok mengalami penghinaan dari kekuatan asing, khususnya Barat dan Jepang. Dosis nasionalisme itu makin ditingkatkan setelah peristiwa pembantaian di Tiananmen, pada Juni 1989. Itulah saat ketika tentara menggilas aksi demo mahasiswa dan publik.

Suntikan serum nasionalisme ini secara teoritis mudah dilakukan karena secara tradisional, orang Tionghoa dikenal dengan sikap chauvinisme kulturalnya. Mereka mengklaim tanah tumpah darah mereka sebagai ”pusat dunia”, sesuai dengan namanya: Zhongguo. Puncak kebanggaan sebagai bangsa besar itu tergambar ketika mereka merayakan sukses menyelenggarakan Olimpiade 2008, saat para atletnya merebut medali paling banyak.

Tentang sikap galak di LTS, itu bersumber pada faktor dalam negeri juga. Pertama, ekonomi, dan kedua, nasionalisme.  Faktor kedua inilah yang bisa disebut sebagai konsumsi domestik. Sikap ogah berunding dalam masalah tumpang tindih klaim kedaulatan wilayah itu disampaikan Presiden Xi Jinping beberapa waktu lalu di Beijing, ketika menyambut kunjungan Presiden Myanmar Thein Sein dan Wapres India Hamid Ansari. Kata Xi dengan tandas, ”integritas teritorial tak bisa dikompromikan.”

Namun, jurus nasionalisme dalam berperkara melawan kekuatan asing berisiko besar karena bisa berkembang jadi xenophobia. Dampaknya, jika publik melihat pemerintah Xi lemah di hadapan kekuatan asing, ia akan menghadapi kemurkaan populer. Demo besar, seperti yang terjadi selama musim semi 1989 di Beijing dan kota-kota besar lain, bisa terjadi lagi. Sebaliknya,  jika sikap Tiongkok tetap kaku, dia berhadapan dengan sikap tak bersahabat dari negara-negara tetangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar