Kontroversi
Hukum Suntik Mati
Pribakti B ;
Dokter lulusan FK Unair, Bertugas
di RSUD Ulin Banjarmasin
|
JAWA
POS, 15 Agustus 2014
SUNTIK
mati atau istilah kedokterannya eutanasiasecara umum dapat diartikan sebagai
tindakan kalangan kedokteran atas permintaan yang bersangkutan atau keluarga
terdekat untuk mengakhiri hidup pasien demi menghilangkan penderitaan karena
penyakitnya. Sebetulnya, itu sejak lama menjadi bahan pembicaraan yang hangat
dan sangat kontroversial.
Kasus
Ryan Tumiwa belakangan ini menjadi tersohor setelah meminta MK melegalkan
suntik mati sebagai upaya bunuh diri. Pria yang mengaku lulusan S-2
Universitas Indonesia itu berencana bunuh diri karena merasa depresi sejak
setahun terakhir karena tidak memiliki pekerjaan sehingga kesulitan
menghidupi kesehariannya yang sebatang kara. Sebelumnya (2008), kasus Ny
Agian yang diajukan suaminya, Hasan Kusuma, ke pengadilan untuk permohonan
penetapan eutanasia menarik untuk dikaji. Sebab, bukan kali pertama ada
permohonan penetapan eutanasia ke pengadilan, padahal hukum di Indonesia
memang tidak mengatur suntik mati untuk pasien yang tidak mungkin atau sulit
disembuhkan. Seperti diberitakan, Ny Agian tak sadarkan diri setelah
melahirkan melalui operasi Caesar di RSI Bogor pada 20 Agustus 2008.
Dua
kasus yang sama-sama ingin mati tapi beda penyebab itu menyisakan tanggung
jawab dan pertanyaan moral pada masyarakat. Pasalnya, eutanasia dalam arti
membantu seseorang untuk meninggal dunia lebih cepat guna membebaskan dari
penderitaan akibat penyakit menimbulkan implikasi etis di kalangan
kedokteran. Itu terjadi karena kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran
berangkat dari tujuan tidak mau membiarkan pasien meninggal dan tidak
menyisakan tempat atau peluang terjadinya kematian. Setidaknya mengamankan
manusia dari kematian yang dapat dihindarkan. Karena itu, keputusan eutanasia
dilakukan hanya untuk menghormati hak pasien untuk mati setelah mendapat
penjelasan yang cukup.
Timbul
pertanyaan, kapan upaya medis dihentikan sehingga pasien dapat meninggal
dengan tenang? Pertanyaan berikutnya, bagaimana sebenarnya pandangan kalangan
kedokteran, khususnya kalangan kedokteran di Indonesia tentang eutanasia
tersebut? Seperti diketahui, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mewakili
dokter di Indonesia sampai saat ini memang belum pernah mengemukakan pendapat
resmi tentang eutanasia. Pendapat umum yang dianut pada dasarnya sama dengan
pendapat yang tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Internasional. Dalam Kode
Etik Kedokteran Internasional hasil kongres ke-3 Organisasi Kedokteran Dunia
pada 1949 di London (kemudian beberapa kali disempurnakan, terakhir pada 1983
melalui kongres ke-35 yang diselenggarakan di Venice, Italia) disebutkan, adalah
kewajiban dokter untuk mempertahankan kehidupan manusia. Demikian halnya
dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, pada dasarnya menganut paham bahwa
hidup dan mati seseorang tidak merupakan hak manusia, melainkan hak Tuhan
Yang Maha Esa.
Hanya,
jika dipelajari secara saksama, pernyataan IDI tentang mati telah disahkan
Pengurus Besar IDI melalui SK No 335/PB/A.4/88 tanggal 5 Maret 1988, secara
tersirat dapat disimak sikap kalangan kedokteran Indonesia tentang eutanasia
tersebut. Butir 7 dari pernyataan IDI tentang mati menyebutkan, pada situasi
dan keadaan penderita belum mati, tetapi tindakan terapeutik/paliatif tidak
ada gunanya lagi sehingga bertentangan dengan tujuan ilmu kedokteran, maka
tindakan terapeutik/paliatif tersebut dapat dihentikan. Selanjutnya,
disebutkan pula, keputusan untuk menghentikan tindakan-tindakan luar biasa
untuk bantuan hidup (terapeutik/paliatif) tersebut merupakan keputusan medis.
Keputusan itu pun dibuat dokter-dokter yang berpengalaman, yang memahami
kasus secara keseluruhan dan sebaiknya setelah mengadakan konsultasi dengan
dokter spesialis yang berpengalaman. Disebutkan pula, hendaknya dalam membuat
keputusan dimaksud, dipertimbangkan keinginan pasien yang dinyatakan
sebelumnya, sikap keluarga dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan, tetapi
keluarga tidak diminta membuat keputusan membiarkan mati.
Berdasar
rumusan seperti itu, meskipun tidak eksplisit menyebut eutanasia, dapatlah
disimpulkan sebenarnya pandangan kalangan kedokteran Indonesia sama dengan
pandangan kalangan kedokteran dunia, yakni pro-eutanasia tidak langsung dan
atau eutanasia yang bersifat pasif. Namun, tidak berarti masalah seputar
eutanasia –sekalipun hanya untuk yang bersifat pasif– telah tuntas. Dengan
kata lain, masih dibutuhkan ketegasan dari penegak hukum dan rohaniwan.
Sebab, peraturan perundang-undangan yang berlaku di tanah air kita memang
belum mendukung eutanasia tersebut. Sebagai contoh, seperti termaktub pada
pasal 334 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat mengancam pelaku
eutanasia (barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri, yang dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana
penjara selama-lamanya dua belas tahun).
Hambatan
yang sama ditemukan dari sudut pandang agama Islam, jelas tidak menyetujui
eutanasia. Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Annas ra menyebutkan,
Rasulullah pernah bersabda, ”Janganlah
tiap-tiap orang dari kamu meminta mati karena kesukaran yang menimpanya.”
Konon sikap seperti itu juga dianut agama Kristen. Akhirnya pilihan keputusan
eutanasia di Indonesia masih kontroversial dan sulit diterima, seperti halnya
tindakan aborsi. Aborsi pada ”kesempatan” tertentu diizinkan untuk dijalankan
karena hanya dengan demikian si ibu tertolong jiwanya. Eutanasia dalam pengertian yang aktif, di mana memerlukan
tindakan aktif dokter untuk menghentikan pernapasan, bakal ditolak secara
hebat.
Alasan
eutanasia seperti di negara maju
jelas tak bisa diterima. Kultur kita membedakan penghormatan masyarakat pada
kehidupan dan kematian manusia. Lagi pula, bukankah sesungguhnya penyebab
kematian adalah penyakit dan bukan semata karena seorang atau dua orang
dokter? Bantuan teknologi medis pada pasien penyakit terminal tak kurang dari
memperpanjang proses kematian. Ketika bantuan teknologi dihentikan, pasien
akan meninggal. Itu bukan terjadi karena tindakan dokter. Pasien akan tetap
meninggal karena penyakitnya. Dengan demikian, kematian berlangsung secara
alamiah. Ketika dokter bertindak aktif menyuntikkan racun pembunuh dan pasien
meninggal dengan senyum tersungging, kematian tampak menjadi tidak alamiah,
direkayasa, dan sulit diterima masyarakat yang menghargai kehidupan.
Di
Indonesia masih kuat pengertian manusia sebagai makhluk sosial yang kompleks
dan tidak sekadar kumpulan sel yang membangun badan: mempunyai kepribadian,
menyadari kehidupannya, kemampuan mengingat, menentukan sikap dan mengambil
keputusan, mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat, menikmati,
mengalami kecemasan, dan sebagainya. Penghormatan masyarakat Indonesia
terhadap harakiri seperti di Jepang tidak ada dan semua kematian manusia
karena tangan manusia bukan tangan Tuhan adalah dosa besar. Apalagi kalau
cuma karena tidak dapat pekerjaan seperti kasus Ryan Tumiwa. Yang sering,
faktor ekonomi masyarakat menjadi alasan dilaksanakannya tindakan eutanasia
pasif kalangan kedokteran kita. Perawatan yang lama, ketergantungan pada alat
kedokteran, serta biaya obat yang terus-menerus memaksa pasien dan keluarga
mengupayakan jalan lain dan membawa pasien pulang.
Dilema
timbulnya eutanasia pasif di masyarakat mau tidak mau diakui menjadi
kenyataan yang pahit dan sulit dihindari di Indonesia. Namun, eutanasia pasif
bagaimanapun akan terjadi. Mengingat, keterbatasan teknologi kedokteran yang
kita miliki dan kemampuan ekonomi masyarakat yang terbatas. Sebab itulah,
menyadari bahwa dunia kedokteran di Indonesia tidak dapat menutup diri dari
kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran, pembahasan yang tuntas tentang
masalah eutanasia ini memang telah dirasakan mendesak. Mudah-mudahan dapat
terlaksana. Jika dunia meributkan eutanasia aktif, sebaiknya kita hanya
mendengar, melihat, kalau perlu ikut bicara tapi tidak tergerak untuk
melaksanakan tindakan medis yang masih menimbulkan kontroversi hukum, moral,
dan sosial pada masyarakat itu. Semoga
Anda sepakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar