Reformasi
Tak Berujung di Kemenlu
Djoko Susilo ;
Mantan Dubes RI untuk
Switzerland dan Liechstenstein
|
JAWA
POS, 15 Agustus 2014
AGUSTUS
ini Kementerian Luar Negeri memasuki usia ke-69, hampir setua NKRI. Sebab,
Kementerian Luar Negeri didirikan hanya dua hari setelah proklamasi
kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Hal itu menunjukkan bahwa diplomasi
menjadi salah satu kunci perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Sejak
dibentuknya Kementerian Luar Negeri, para diplomat selalu didoktrin untuk
melaksanakan diplomasi perjuangan NKRI.
Menyadari
pentingnya Kementerian Luar Negeri dan juga untuk menjawab tantangan ke
depan, pada 2005, menteri luar negeri saat itu Hassan Wirajuda melancarkan
program reformasi total, baik dari segi struktur maupun dari segi substansi.
Pada masa lalu, gerak diplomasi RI terasa kurang lincah karena terasa sangat
sektoral dan kurang mengedepankan peran para diplomat. Kalaupun para diplomat
RI akan bergerak, mereka masih terkena hambatan karena anggaran berada dalam
pengelolaan bidang tata usaha (TU) perwakilan RI. Pendek kata, gerak
diplomasi sangat ditentukan dari ’’kemurahan hati’’ pejabat TU yang
sesungguhnya, bukan pejabat diplomatik tapi berpaspor diplomatik sebagaimana
layaknya para diplomat lainnya.
Reformasi
yang dilakukan Menlu Hassan Wirajuda bukan hanya menyentuh struktur
perwakilan RI, melainkan juga struktur organisasi Kemenlu di Jakarta. Menlu
Hassan memperkenalkan sistem lelang untuk beberapa jabatan di kantor
perwakilan strategis, misalnya untuk KBRI Washington DC, Tokyo, Canberra,
atau PTRI Jenewa, dan New York. Siapa pun yang memenuhi syarat bisa
mengajukan diri untuk dites menduduki posisi strategis tersebut. Demikian
juga, untuk masuk menjadi bagian dari korps diplomatik RI tidak dikenal lagi
sistem titipan.
Menlu
Hassan juga memperkenalkan acara tahunan prestisius seperti memberikan
ceramah dalam forum LN Palar Lecture
dengan mengundang kalangan akademis atau tokoh yang paham politik luar negeri
RI. Selain itu, sejumlah acara digelar secara periodik, misalnya foreign policy breakfast dengan
kalangan media, politisi, dan tokoh masyarakat untuk menjelaskan posisi
pemerintah RI mengenai sejumlah masalah internasional dan sekaligus meminta
masukan dari para tokoh tersebut.
Sayangnya,
semua pencapaian positif pimpinan Kemenlu di bawah Hassan Wirajuda itu tidak
berlanjut di bawah Menlu Marty Natalegawa. Mestinya, sebagai generasi muda,
Marty lebih progresif dan lebih punya pandangan untuk memajukan Kemenlu.
Bahkan, seolah-olah Menlu Marty Natalegawa tidak berminat memperbaiki
organisasi Kemenlu dan perwakilan RI. Yang lebih terasa bagi masyarakat
selama hampir lima tahun ialah tidak ada interaksi sama sekali antara Kemenlu
dan masyarakat seperti acara foreign
policy breakfast atau semacamnya. Lebih buruk lagi, meskipun jumlah
perwakilan RI ditambah, justru anggarannya dipangkas.
Kontra Konstitusi
Kesalahan
Marty Natalegawa sebagai Menlu bukan hanya membiarkan proses reformasi di
Kemenlu tidak berujung, tetapi juga meneruskan kebijaksanaan melawan
konstitusi terkait dengan pengangkatan dan pemberhentian masa tugas Dubes RI.
Proses yang terjadi selama ini, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pasal 13
ayat 1 UUD 1945 bahwa pengangkatan calon duta besar memerlukan pertimbangan
DPR RI. Setelah proses fit and proper
test selesai, para calon Dubes yang sudah mendapat pertimbangan DPR
dipersiapkan untuk pelantikan dan keberangkatannya menuju pos masing-masing
dengan SK presiden RI.
Hingga
proses keberangkatan, semua lancar dan benar sesuai dengan ketentuan. Namun,
Kementerian Luar Negeri melalui sekretaris jenderal selalu melakukan
kesalahan fatal dengan melanggar ketentuan UUD 1945 ketika memproses
pengakhiran masa tugas duta besar RI.
Kesalahan
fatal itu berupa penarikan duta besar petahana dari negara pos akreditasinya
tanpa menunggu keputusan presiden yang mengakhiri masa tugas para duta besar
tersebut. Praktik yang terjadi selama ini bahwa seorang duta besar yang
diangkat dengan keputusan presiden (keppres) pada praktiknya bisa ditarik
sewenang-wenang hanya melalui sebuah kawat sekretaris jenderal Kemenlu.
Konsekuensi
dari kawat Sekjen tentang pengakhiran masa tugas seorang duta besar itu
sangat serius dan secara fundamental melanggar UUD 1945. Namun, hingga kini,
hal tersebut dibiarkan karena mayoritas duta besar adalah diplomat karir yang
merasa sebagai bawahan Sekjen atau Menlu. Meski banyak duta besar mengakui
bahwa praktik yang selama ini melanggar UUD 1945 dan UU Hubungan Luar Negeri,
tidak ada di antara mereka yang berani melawan ’’kawat Sekjen’’. Akibat dari
pemulangan duta besar yang melanggar konstitusi itu, sering terjadi
kekosongan pos Dubes bertahun-tahun di suatu negara. Prancis pernah kosong
dua tahun, Belanda setahun lebih, Romania dan Filipina hampir tiga tahun, dan
masih banyak negara lain yang kosong tanpa duta besar.
Menurut
pasal 13 ayat 1 UUD 1945, UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,
dan Keppres 108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan RI di Luar Negeri, khususnya
pasal 13 tentang kewenangan presiden RI selaku kepala negara untuk mengangkat
dan memberhentikan duta besar RI, merupakan kewenangan yang tetap melekat
pada diri pribadi presiden selaku kepala negara dan tidak didelegasikan.
Praktik
pengakhiran masa tugas duta besar yang selama ini terjadi bahwa duta besar
ditarik pulang tanpa adanya keputusan presiden jelas melanggar konstitusi dan
peraturan perundangan. Sekjen Kemenlu telah melampaui kewenangan karena
berani mengambil alih wewenang presiden. Memang, resminya ’’kawat Sekjen’’
yang bermasalah itu tidak mengakhiri jabatan Dubes. Tetapi, dalam praktik,
’’kawat Sekjen’’ itu menghentikan semua fasilitas dan tugas yang melekat pada
jabatan duta besar. ’’Kawat Sekjen’’ itu berisi perintah agar Dubes petahana
segera meninggalkan pos negara akreditasi, semua fasilitas, dan gaji
dihentikan hingga bulan tertentu tanpa harus menunggu keputusan presiden.
Oleh
karena itu, sudah waktunya Marty Natalegawa dan jajarannya menyadari
kesalahan itu dan segera melakukan perbaikan. Kiranya presiden terpilih Joko
Widodo perlu melakukan ’’revolusi mental’’ di jajaran Kemenlu agar pimpinan
maupun para diplomatnya kembali setia menjalankan konstitusi UUD 1945 dengan
sebaik-baiknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar