Jumat, 15 Agustus 2014

Reformasi Tak Berujung di Kemenlu

                         Reformasi Tak Berujung di Kemenlu

Djoko Susilo  ;   Mantan Dubes RI untuk Switzerland dan Liechstenstein
JAWA POS, 15 Agustus 2014
                                    


AGUSTUS ini Kementerian Luar Negeri memasuki usia ke-69, hampir setua NKRI. Sebab, Kementerian Luar Negeri didirikan hanya dua hari setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Hal itu menunjukkan bahwa diplomasi menjadi salah satu kunci perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Sejak dibentuknya Kementerian Luar Negeri, para diplomat selalu didoktrin untuk melaksanakan diplomasi perjuangan NKRI.

Menyadari pentingnya Kementerian Luar Negeri dan juga untuk menjawab tantangan ke depan, pada 2005, menteri luar negeri saat itu Hassan Wirajuda melancarkan program reformasi total, baik dari segi struktur maupun dari segi substansi. Pada masa lalu, gerak diplomasi RI terasa kurang lincah karena terasa sangat sektoral dan kurang mengedepankan peran para diplomat. Kalaupun para diplomat RI akan bergerak, mereka masih terkena hambatan karena anggaran berada dalam pengelolaan bidang tata usaha (TU) perwakilan RI. Pendek kata, gerak diplomasi sangat ditentukan dari ’’kemurahan hati’’ pejabat TU yang sesungguhnya, bukan pejabat diplomatik tapi berpaspor diplomatik sebagaimana layaknya para diplomat lainnya.

Reformasi yang dilakukan Menlu Hassan Wirajuda bukan hanya menyentuh struktur perwakilan RI, melainkan juga struktur organisasi Kemenlu di Jakarta. Menlu Hassan memperkenalkan sistem lelang untuk beberapa jabatan di kantor perwakilan strategis, misalnya untuk KBRI Washington DC, Tokyo, Canberra, atau PTRI Jenewa, dan New York. Siapa pun yang memenuhi syarat bisa mengajukan diri untuk dites menduduki posisi strategis tersebut. Demikian juga, untuk masuk menjadi bagian dari korps diplomatik RI tidak dikenal lagi sistem titipan.

Menlu Hassan juga memperkenalkan acara tahunan prestisius seperti memberikan ceramah dalam forum LN Palar Lecture dengan mengundang kalangan akademis atau tokoh yang paham politik luar negeri RI. Selain itu, sejumlah acara digelar secara periodik, misalnya foreign policy breakfast dengan kalangan media, politisi, dan tokoh masyarakat untuk menjelaskan posisi pemerintah RI mengenai sejumlah masalah internasional dan sekaligus meminta masukan dari para tokoh tersebut.

Sayangnya, semua pencapaian positif pimpinan Kemenlu di bawah Hassan Wirajuda itu tidak berlanjut di bawah Menlu Marty Natalegawa. Mestinya, sebagai generasi muda, Marty lebih progresif dan lebih punya pandangan untuk memajukan Kemenlu. Bahkan, seolah-olah Menlu Marty Natalegawa tidak berminat memperbaiki organisasi Kemenlu dan perwakilan RI. Yang lebih terasa bagi masyarakat selama hampir lima tahun ialah tidak ada interaksi sama sekali antara Kemenlu dan masyarakat seperti acara foreign policy breakfast atau semacamnya. Lebih buruk lagi, meskipun jumlah perwakilan RI ditambah, justru anggarannya dipangkas.

Kontra Konstitusi
                                               
Kesalahan Marty Natalegawa sebagai Menlu bukan hanya membiarkan proses reformasi di Kemenlu tidak berujung, tetapi juga meneruskan kebijaksanaan melawan konstitusi terkait dengan pengangkatan dan pemberhentian masa tugas Dubes RI. Proses yang terjadi selama ini, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pasal 13 ayat 1 UUD 1945 bahwa pengangkatan calon duta besar memerlukan pertimbangan DPR RI. Setelah proses fit and proper test selesai, para calon Dubes yang sudah mendapat pertimbangan DPR dipersiapkan untuk pelantikan dan keberangkatannya menuju pos masing-masing dengan SK presiden RI.

Hingga proses keberangkatan, semua lancar dan benar sesuai dengan ketentuan. Namun, Kementerian Luar Negeri melalui sekretaris jenderal selalu melakukan kesalahan fatal dengan melanggar ketentuan UUD 1945 ketika memproses pengakhiran masa tugas duta besar RI.

Kesalahan fatal itu berupa penarikan duta besar petahana dari negara pos akreditasinya tanpa menunggu keputusan presiden yang mengakhiri masa tugas para duta besar tersebut. Praktik yang terjadi selama ini bahwa seorang duta besar yang diangkat dengan keputusan presiden (keppres) pada praktiknya bisa ditarik sewenang-wenang hanya melalui sebuah kawat sekretaris jenderal Kemenlu.

Konsekuensi dari kawat Sekjen tentang pengakhiran masa tugas seorang duta besar itu sangat serius dan secara fundamental melanggar UUD 1945. Namun, hingga kini, hal tersebut dibiarkan karena mayoritas duta besar adalah diplomat karir yang merasa sebagai bawahan Sekjen atau Menlu. Meski banyak duta besar mengakui bahwa praktik yang selama ini melanggar UUD 1945 dan UU Hubungan Luar Negeri, tidak ada di antara mereka yang berani melawan ’’kawat Sekjen’’. Akibat dari pemulangan duta besar yang melanggar konstitusi itu, sering terjadi kekosongan pos Dubes bertahun-tahun di suatu negara. Prancis pernah kosong dua tahun, Belanda setahun lebih, Romania dan Filipina hampir tiga tahun, dan masih banyak negara lain yang kosong tanpa duta besar.

Menurut pasal 13 ayat 1 UUD 1945, UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, dan Keppres 108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan RI di Luar Negeri, khususnya pasal 13 tentang kewenangan presiden RI selaku kepala negara untuk mengangkat dan memberhentikan duta besar RI, merupakan kewenangan yang tetap melekat pada diri pribadi presiden selaku kepala negara dan tidak didelegasikan.

Praktik pengakhiran masa tugas duta besar yang selama ini terjadi bahwa duta besar ditarik pulang tanpa adanya keputusan presiden jelas melanggar konstitusi dan peraturan perundangan. Sekjen Kemenlu telah melampaui kewenangan karena berani mengambil alih wewenang presiden. Memang, resminya ’’kawat Sekjen’’ yang bermasalah itu tidak mengakhiri jabatan Dubes. Tetapi, dalam praktik, ’’kawat Sekjen’’ itu menghentikan semua fasilitas dan tugas yang melekat pada jabatan duta besar. ’’Kawat Sekjen’’ itu berisi perintah agar Dubes petahana segera meninggalkan pos negara akreditasi, semua fasilitas, dan gaji dihentikan hingga bulan tertentu tanpa harus menunggu keputusan presiden.

Oleh karena itu, sudah waktunya Marty Natalegawa dan jajarannya menyadari kesalahan itu dan segera melakukan perbaikan. Kiranya presiden terpilih Joko Widodo perlu melakukan ’’revolusi mental’’ di jajaran Kemenlu agar pimpinan maupun para diplomatnya kembali setia menjalankan konstitusi UUD 1945 dengan sebaik-baiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar