Kabinet
Impian
Syamsuddin Haris ;
Profesor Riset Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
13 Agustus 2014
SALAH
satu tantangan terberat Joko Widodo-Jusuf Kalla seusai terpilih sebagai
presiden dan wakil presiden RI 2014-2019 adalah menyusun tim kabinet impian.
Apa saja problematiknya?
Kabinet impian adalah formasi
kabinet yang tidak hanya diisi oleh sebagian besar kalangan profesional yang
bersih dan berintegritas, tetapi juga suatu kabinet yang ramping dari segi
ukuran, serta mampu bekerja cepat dalam tim untuk mewujudkan visi-misi dan
program politik Jokowi-JK.
Format kabinet seperti inilah yang
didambakan publik dan pasar. Soalnya, visi-misi dan program politik Jokowi-JK
yang cukup komprehensif itu berpotensi menjadi dokumen tertulis yang tak
berguna apabila tidak ada tim kabinet impian yang bisa mengimplementasikannya
sebagai kebijakan dalam kehidupan nyata.
Pertanyaannya, mampukah Jokowi
menyusun sebuah tim kabinet impian? Persoalannya, jauh-jauh hari sebelum
terpilih sebagai presiden, Jokowi sudah menjanjikan pembentukan suatu kabinet
profesional yang efektif sesuai dengan kebutuhan skema sistem demokrasi
presidensial. Selain itu, sejak awal Jokowi juga menjanjikan suatu kerja sama
antar-partai yang sering disebut sebagai ”koalisi tanpa syarat”. Mungkinkah
semua itu bisa diwujudkan ketika pragmatisme politik semakin menumpulkan akal
sehat sehingga seolah-olah adagium ”tidak ada makan siang gratis dalam
politik” benar adanya dan berbagai ideal tentang politik beretika harus
dikuburkan.
Tiga pihak ”berjasa”
Harus diakui, tidak mudah bagi
Jokowi mewujudkan kabinet impian tersebut. Paling kurang ada tiga pihak yang
merasa turut ”berjasa” dalam memenangkan pasangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014
yang lalu. Pertama, kubu internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P), basis politik Jokowi yang telah mengusungnya sebagai calon presiden.
Figur terpenting yang harus
dihadapi oleh Jokowi adalah sang Ibu, Megawati Soekarnoputri, ketua umum
sekaligus tokoh sentral PDI-P, serta Puan Maharani, putri Megawati, dan
almarhum Taufik Kiemas. Suka atau tidak, Jokowi tentu saja harus mendengar
aspirasi keduanya tentang personalia kabinet.
Kedua, kubu parpol koalisi
pendukung Jokowi-JK, yakni Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), serta Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Surya Paloh, Wiranto, dan Sutiyoso,
masing-masing sebagai ketua umum Nasdem, Hanura, dan PKPI, mungkin bisa
”mengalah” dalam urusan bagi-bagi kekuasaan kabinet Jokowi.
Namun,
kader-kader partai yang lebih muda, termasuk Ketua Umum PKB Muhaimin
Iskandar, tentu berharap memperoleh balas jasa politik yang pantas setelah
turut memenangkan Jokowi-JK.
Ketiga, kubu para relawan
nonpartai yang juga turut ”berkeringat” memenangkan Jokowi-JK. Problem dalam
menghadapi kubu para relawan ini tidak hanya bersumber pada ”ketelanjuran”
Jokowi mengundang partisipasi relawan dalam penyusunan kabinet, tetapi juga karena
amat beragamnya unsur relawan pendukung Jokowi-JK. Selain itu, melalui situs
www.jokowicenter.com, relawan pendukung Jokowi-JK mengundang publik turut
serta memberikan nama atau mengkritisi nama calon anggota kabinet.
Situs sama bahkan menggelar jajak
pendapat terkait dengan sejumlah nama calon anggota kabinet yang disodorkan
untuk setiap pos kementerian. Inisiatif semacam ini mungkin saja positif,
tetapi sesungguhnya penuh ironi karena bagaimanapun mencari calon menteri
profesional, bersih, dan berintegritas tak sama dengan kontes mencari sosok
”idola”, seperti bidang lain yang marak akhir-akhir ini.
Kantor transisi
Bisa diduga tekanan politik
terbesar yang akan dihadapi Jokowi justru berasal dari internal PDI-P
sendiri. Persoalannya, Jokowi bukan hanya tidak duduk dalam struktur
kepemimpinan partai di tingkat pusat, tetapi juga karena pencapresannya
dimungkinkan berkat ”keikhlasan” dan ”kebaikan” Megawati yang memperoleh
mandat Kongres III PDI-P di Bali (2010) untuk menetapkan capres Pemilu 2014.
Cara pandang terakhir melekat kuat di lingkungan para loyalis Megawati
sehingga bagi mereka, sebagai ”petugas partai”, Jokowi pertama-tama harus
mendengar nama para calon menteri yang disodorkan mantan Presiden RI kelima
tersebut.
Antara lain untuk menghindari berbagai
tekanan politik itu, Jokowi merasa perlu membangun ”Kantor Transisi”, sebuah
kantor kerja yang disiapkan untuk memfasilitasi dan mengantisipasi berbagai
soal krusial terkait dengan transisi kekuasaan dari presiden lama ke presiden
terpilih. Soal-soal krusial itu di antaranya format kabinet dan sistem
pendukung kantor kepresidenan. Seusai terpilih sebagai presiden, Jokowi
tampaknya enggan berhadapan langsung dengan pimpinan parpol pendukung
membicarakan personalia kabinetnya. Jika dugaan ini benar, melalui Kantor
Transisi yang dipimpin Rini Mariani Soemarno ini, Jokowi berusaha konsisten
dengan komitmen awal membentuk kabinet kerja tanpa pretensi balas jasa
politik atau bagi-bagi kekuasaan.
Jadi, meski ada sejumlah pihak
yang merasa berjasa mengantar Jokowi-JK meniti tangga kekuasaan, mereka
barangkali harus siap gigit jari karena Jokowi akan berpegang otoritas
konstitusionalnya sebagai presiden terpilih. Jika benar demikian, langkah
berani ini patut kita dukung agar pemerintahan mendatang tak terperangkap
politik transaksional.
Lembaga kepresidenan
Di luar kebutuhan membentuk
kabinet kerja yang profesional, agenda lain yang tak kalah penting dan perlu
dipikirkan Jokowi-JK adalah menata ulang sekaligus memperkuat kantor
kepresidenan, termasuk memperkuat dan memfungsikan lembaga Dewan Pertimbangan
Presiden (Wantimpres) serta sistem pendukung lainnya. Sudah menjadi rahasia
umum, saat ini unsur staf pendukung pada kantor wakil presiden jauh lebih
kuat dan banyak jumlahnya dibandingkan kantor presiden di lingkungan Istana
Negara. Kondisi yang agak aneh ini sudah berlangsung sejak Abdurrahman Wahid
menjadi Presiden dan Megawati menjadi Wapres.
Dewasa ini, di luar jajaran
menteri kabinet, presiden sebagai kepala eksekutif yang bersifat tunggal
dibantu oleh beberapa lembaga atau unit, yakni Wantimpres, Sekretaris
Kabinet, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
(UKP4), serta lembaga ”staf khusus presiden” untuk bidang-bidang tertentu.
Sejauh ini belum ada regulasi baku setingkat UU terkait dengan pembagian dan
hubungan kerja di antara lembaga-lembaga tersebut, kecuali mungkin Sekretaris
Kabinet, yang sesuai dengan namanya, mengatur rapat kabinet dan agenda
presiden. Ke depan, berbagai unsur dari sistem pendukung
kantor kepresidenan ini, termasuk unsur staf pada kantor wapres, perlu
di tata ulang sehingga benar-benar merefleksikan kinerja sistem presidensial
yang sinergis dan efektif.
Terkait dengan Wantimpres,
misalnya, sudah waktunya lebih difungsikan sebagai lembaga think-tank presiden dalam
mempertimbangkan berbagai isu dan kebijakan strategis. Karena itu, Wantimpres
semestinya tidak sekadar jadi kantor penampungan bagi para pensiunan
pejabat negara, seperti berlangsung selama 10 tahun pemerintahan
Presiden SBY. Wantimpres juga perlu diisi para ahli atau profesional yang
masih cukup produktif di bidangnya. Kita percaya, semua kehendak perubahan
bisa diwujudkan asalkan ada kemauan politik, niat, dan komitmen untuk
mempersembahkan yang terbaik bagi Ibu Pertiwi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar