Pendidikan
dan Menteri Ideal
Teuku Kemal Fasya ;
Antropolog dan Pendidik
|
KOMPAS,
13 Agustus 2014
KEMENANGAN Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pilpres 9 Juli adalah
janji penggenap perubahan yang sudah ditunggu-tunggu. Kini publik menunggu
pembentukan kabinet yang sejalan dengan hasrat perubahan dan Indonesia baru
itu. Hal yang ditunggu adalah bagaimana strategi pengembangan pendidikan dan
siapa yang tepat menjadi figur menteri pendidikan.
Saya setuju jika kementerian pendidikan tetap dalam format
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bukan format Kementerian Pendidikan
Nasional. Penting dipahami, pendidikan tak dapat dilepaskan esensinya sebagai
proses kultural. Pendidikan di banyak wacana dimaksudkan sebagai proses
homonisasi, humanisasi, dan inkulturasi.
Pendidikan sebagai homonisasi membentuk sifat manusia sebagai
Homo cogitans, makhluk yang berpikir dan mengerti perbedaannya dengan makhluk
lain. Pendidikan harus memosisikan peserta didik sebagai manusia sadar di
tengah kesemestaan ini. Pendidikan sebagai humanisasi mengajarkan peserta
didik agar peka nilai-nilai kemanusiaan. Apalah arti jadi manusia jika nilai
humanisme kering, tak terjamah etika dan politik kehidupan?
Adapun tujuan pendidikan sebagai proses inkulturasi adalah
metode paripurna dari upaya pedagogis dan kedisiplinan berpikir. Pendidikan
harus memiliki elan untuk bergerak secara dialektis, mencipta, dan terlibat
secara baik di dalam perubahan masyarakat dan kebudayaannya. Arus perubahan
dalam kebudayaan itu adalah berpikir sekaligus bekerja, mengolah, memelihara,
dan menghormati tiap renik kultural yang telah terlintas atau pantas jadi
sejarah imajiner ke depan.
Melepaskan unsur kebudayaan dalam pendidikan sama dengan
melupakan garam dan asam di kuah sayur. Muatan kebudayaan dalam pendidikan
juga panduan untuk memahami pluralisme, heterogenitas, demokrasi,
relativisme, dan anti-logosentrisme atau fundamentalisme nilai.
Meski demikian, saya setuju ide pemisahan manajemen pendidikan
ke dalam dua kementerian. Seperti sempat tercetus ketika berdialog bersama
Jokowi di kediamannya, sehari sebelum mendeklarasikan sebagai calon presiden,
13 Maret lalu, ia menginginkan pengelolaan pendidikan tinggi bisa bersaing
dan beradu keunggulan secara global dengan perguruan tinggi luar negeri.
Pilar penelitian di perguruan tinggi selama ini tidak
tereksplorasi dengan baik, diharapkan lebih cepat akselerasinya jika
bergabung di bawah Kementerian Riset dan Teknologi. Buya Maarif juga setuju
agar perguruan tinggi berada di bawah payung Kementerian Ristek, sedangkan
pendidikan dasar dan menengah berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Ahmad Syafii Maarif, ”Kabinet Jokowi”,
Kompas, 4 Agustus).
Tentu saja pemilahan itu harus dilakukan dengan perencanaan yang
baik. Sebab, meski de facto beberapa perguruan tinggi di Indonesia mulai
memiliki tingkatan international
research university atau world
class university, pilar-pilar lainnya, yaitu pendidikan-pengajaran dan
pengabdian kepada masyarakat, tidak boleh lupa.
Irisan itu harus diupayakan berjalan sinergis dan melengkapi
ketika nanti pengelolaan manajemen pendidikan tinggi berada di bawah
Kementerian Ristek. Pun harus dipertimbangkan katup kesenjangan pendidikan
tinggi antara di Jawa dan luar Jawa atau antara universitas swasta bergengsi
dan swasta yang megap-megap secara finansial, agar tidak terus menganga.
Sang pedagog
Di atas semuanya, pengelolaan pendidikan tinggi tidak boleh
keluar dari semangat integral pendidikan, yaitu memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalaupun akhirnya ia di bawah Kementerian
Ristek, asas pendidikan tinggi seperti kemanfaatan, kejujuran, kebinekaan,
tanggung jawab, dan keterjangkauan seperti termuat di dalam UU No 12/2012 jangan
diafkirkan. Bisa jadi sebagian perguruan tinggi tak kuasa menolak pengaruh
globalisasi atau neoliberalisasi, tapi harus tetap ada perguruan tinggi yang
menjaga puisi-puisi pendidikan berwawasan nasional dan lokal seperti amanat
konstitusi.
Sesuai dengan semangat pemisahan itu, meski pasti di awal akan
terasa berat karena gengsi pengelolaan perguruan tinggi yang besar, sosok
yang tepat untuk mengisi pos menteri adalah pegiat pedagogi dibandingkan
dengan seorang akademisi. Wujud aktualisasi pengembangan pendidikan di tangan
sang menteri pedagogis itu berhubungan dengan penyusunan (atau aplikasi)
kurikulum (2013?) sehingga seluruh jenjang, jalur, dan jenis pendidikan harus
mampu terbagi habis ke dalam pembelajaran tanpa tumpah tindih. Sang menteri
adalah sosok cakap membagi energi dan prioritas. Oleh karena itu, jangan
sampai politikus yang masuk. Ia harus mampu mewujudkan delapan Standar
Nasional Pendidikan yang menjadi ukuran standar pelayanan minimum di bidang
pendidikan.
Seperti amanat UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional adalah meningkatkan dimensi
spiritualitas peserta didik dan itu erat hubungannya dengan pembangunan
karakter atau kebangsaan. Tujuan itu harus terdepan dibandingkan dengan
tujuan intelegensia kognitif-rigoris.
Untuk mewujudkannya, sang menteri harus orang yang berangkat
dari dunia kependidikan sehingga tak canggung dan terlalu lama menghabiskan
waktu untuk desain agenda pembangunan secara sadar dan terencana. Di atas semua
itu, agenda tersebut jangan sampai melenceng dari semangat pendiri bangsa,
pendidikan harus jadi peluang pemerataan dan keadilan bagi semua orang. Pendidikan harus jadi momentum
inklusivisme, nasionalisme, dan komunitarianisme.
Dengan alasan itu, sosok seperti Anita Lie, Mohammad Abduhzen,
Weilin Han, atau Retno Listiyarti pantas dimajukan sebagai calon menteri.
Mereka adalah orang yang berkeringat dan mencurahkan sebagian besar hidupnya
pada proses pendidikan bangsa dan secara tegas melakukan penolakan terhadap
internasionalisasi pendidikan dasar dan menengah yang selama ini terbukti
menjebak sehingga disorientatif dan amnesia akut terhadap nasionalisme dan
sejarah bangsa. Mereka juga kerap keras mengkritik penyeragaman kecerdasan
melalui ujian nasional yang ternyata di banyak praktiknya manipulatif.
Pembaca bisa menambah nama pegiat pendidikan atau guru daerah
yang memiliki semangat luar biasa mewujudkan demokratisasi pendidikan dan
perbaikan kualitas guru sebagai calon menteri. Mereka yang berjuang dengan
keterbatasan di daerah akan lebih bernyali ketika diberi wewenang memperbaiki
pendidikan di tingkat nasional dibandingkan dengan pakar selebritas di
belakang laptop atau meja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar