Iskandar
Goenawan Mohamad ;
Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
25 Agustus 2014
Revolusi selalu berkecamuk
sebelum jam malam. Dengan gelora hati. Setelah revolusi selesai, tak ada lagi
yang berkecamuk. Tak ada lagi gelora hati. Perjuangan, termasuk dengan
kekerasan, berhasil, dan berakhir, lalu berdirilah sebuah tata dan
kedaulatan: sebuah bangunan yang dingin dengan garis-garis lempang.
Saya ingat film Lewat Jam Malam yang skenarionya
ditulis Asrul Sani dan diproduksi hanya beberapa tahun setelah perang
kemerdekaan: Iskandar, seorang bekas gerilyawan, jadi seorang asing, ketika
ia masuk ke kehidupan normal setelah perjuangan selesai dan Republik mulai
bekerja sebagai sebuah pemerintahan.
Iskandar dipekerjakan di
kantor gubernuran. Ia tak betah. Ia kecewa. Tak ada lagi gairah. Yang ia
saksikan sebagai hidup yang tertata itu adalah kepalsuan-satu hal yang tak
dialaminya selama angkat senjata di hutan-hutan, ketika ia menyiapkan
hidupnya dan matinya untuk Tanah Air. Cerita berakhir ketika Iskandar, yang
resah dan risau dalam keadaan pasca-perjuangan itu, tewas ditembak mati
polisi militer. Ia melarikan diri pada saat jam malam diberlakukan di kota
itu.
Demikianlah sang bekas
gerilyawan bertabrakan dengan kedaulatan. Kedaulatan itulah yang menetapkan
jam malam dan menyiapkan polisi militer. Kedaulatan itulah yang menyatakan
diri mau menjaga agar tata sosial tak terganggu-meskipun dengan demikian para
pencoleng ikut terlindungi.
Iskandar tak sendirian. Di
negeri lain, di masa lain, Hannah Arendt menulis buku tentang revolusi. Dalam
On Revolution ia uraikan sebuah keadaan ketika-seperti yang dialami para
relawan dalam pemilihan presiden 2014-ada pengalaman kolektif tentang
kekuasaan. Di saat itu, politik hidup. Tapi kemudian perjuangan
"selesai", dan satu sistem kekuasaan yang dianggap mewakili mereka
yang berjuang pun ditegakkan. Kedaulatan hadir sebagai sebuah keniscayaan:
sesuatu yang menjaga dan mengelola apa yang dianggap sebagai kelanjutan
harapan perjuangan.
Tapi bersama itu, politik
mati-atau ditidurkan. Pengalaman kekuasaan tak lagi kolektif, tapi berkisar
di sebuah lapisan yang terbatas. Dalam Revolusi Rusia, lapisan itu para
anggota Partai Komunis, yang kemudian jadi nomenklatura. Dalam Revolusi
Indonesia-juga dalam setiap perubahan besar sejak 1945, 1965, 1998-politik
diambil alih partai, militer, dan di sana-sini birokrasi.
Yang terjadi bukan hanya
politik ditidurkan dan sebuah kepalsuan yang seperti dirasakan Iskandar
menyeruak, tapi juga sebuah kekerasan disembunyikan di balik semua itu. Film
Lewat Jam Malam tanpa banyak kata-kata memperlihatkannya: pasukan polisi
militer dan bedil mereka itu, atas nama tata tertib yang lempang dan dingin,
membunuh seseorang yang belum tentu bersalah.
Kekerasan memang terjadi
dan dilakukan ketika Republik hendak dilahirkan. Iskandar dan kawan-kawannya
tak segan-segan membunuh tanpa menelaah adakah si korban pantas dilenyapkan.
Tapi kekerasan juga terus ketika hukum dibangun. Kedaulatan mau tak mau harus
ada dan bekerja.
Kedaulatan itu, tempat
"negara" mendasarkan dirinya, tiap kali bisa represif, tiap kali
bisa mengasingkan mereka yang tak merasa lagi bisa berbagi dengannya. Juga
tiap kali punya dalih, terkadang dengan janji tentang keadilan. Tapi sejarah
berkali-kali menunjukkan bahwa janji semacam itu, atau klaim ke arah itu,
melahirkan sebuah ketakaburan dan pemberhalaan. Keadilan atau Ratu
Adil-meskipun mengimbau terus-menerus sehari-hari-tak pernah mewujud penuh di
bumi.
Itu sebabnya politik yang
ditidurkan tiap kali akan terjaga-politik dalam arti gelora orang banyak, di
luar nomenklatura, ketika bergerak secara kolektif pengalaman berkuasa. Jika
kemudian terjadi perubahan yang dahsyat itulah kekerasan sebagai awal kisah
sebuah kedaulatan yang gagal.
Walter Benjamin pernah
menulis tentang kekerasan dan ia berbicara tentang "kekerasan
ilahi" yang "murni", die
gÃttliche reine Gewalt. Sebagaimana saya memahaminya, itu adalah
kekerasan yang murni karena tak tercemar dan murni karena tak bisa ditawar.
Itu adalah sebuah guncangan terhadap kedaulatan yang dengan kekerasannya
sendiri membuat hukum seakan-akan tak akan lapuk.
Bagi Benjamin, kedaulatan
yang terbaik justru kedaulatan yang lapuk. "Kekerasan ilahi"
menegaskan itu. Akan ketahuan bahwa kedaulatan selalu bersifat sementara dan
tak bisa menguasai semuanya. Dengan demikian rakyat yang di bawah itu bisa
menegaskan bahwa politik tak bisa mereka lepaskan. Kalaupun tiap kali
perjuangan bersama berakhir dengan kekecewaan, dan kedaulatan menabrak,
mereka tetap tahu batas orang-orang yang berkuasa. Juga mereka tetap tahu
daya sangkal mereka. Dalam politik, mereka tak sendiri.
Bila Iskandar mati
sendirian, ia sebenarnya gejala ketika politik disingkirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar