Minggu, 24 Agustus 2014

Iskandar

                                                                  Iskandar

Goenawan Mohamad  ;   Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
TEMPO.CO, 25 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Revolusi selalu berkecamuk sebelum jam malam. Dengan gelora hati. Setelah revolusi selesai, tak ada lagi yang berkecamuk. Tak ada lagi gelora hati. Perjuangan, termasuk dengan kekerasan, berhasil, dan berakhir, lalu berdirilah sebuah tata dan kedaulatan: sebuah bangunan yang dingin dengan garis-garis lempang.

Saya ingat film Lewat Jam Malam yang skenarionya ditulis Asrul Sani dan diproduksi hanya beberapa tahun setelah perang kemerdekaan: Iskandar, seorang bekas gerilyawan, jadi seorang asing, ketika ia masuk ke kehidupan normal setelah perjuangan selesai dan Republik mulai bekerja sebagai sebuah pemerintahan.

Iskandar dipekerjakan di kantor gubernuran. Ia tak betah. Ia kecewa. Tak ada lagi gairah. Yang ia saksikan sebagai hidup yang tertata itu adalah kepalsuan-satu hal yang tak dialaminya selama angkat senjata di hutan-hutan, ketika ia menyiapkan hidupnya dan matinya untuk Tanah Air. Cerita berakhir ketika Iskandar, yang resah dan risau dalam keadaan pasca-perjuangan itu, tewas ditembak mati polisi militer. Ia melarikan diri pada saat jam malam diberlakukan di kota itu.

Demikianlah sang bekas gerilyawan bertabrakan dengan kedaulatan. Kedaulatan itulah yang menetapkan jam malam dan menyiapkan polisi militer. Kedaulatan itulah yang menyatakan diri mau menjaga agar tata sosial tak terganggu-meskipun dengan demikian para pencoleng ikut terlindungi.

Iskandar tak sendirian. Di negeri lain, di masa lain, Hannah Arendt menulis buku tentang revolusi. Dalam On Revolution ia uraikan sebuah keadaan ketika-seperti yang dialami para relawan dalam pemilihan presiden 2014-ada pengalaman kolektif tentang kekuasaan. Di saat itu, politik hidup. Tapi kemudian perjuangan "selesai", dan satu sistem kekuasaan yang dianggap mewakili mereka yang berjuang pun ditegakkan. Kedaulatan hadir sebagai sebuah keniscayaan: sesuatu yang menjaga dan mengelola apa yang dianggap sebagai kelanjutan harapan perjuangan.

Tapi bersama itu, politik mati-atau ditidurkan. Pengalaman kekuasaan tak lagi kolektif, tapi berkisar di sebuah lapisan yang terbatas. Dalam Revolusi Rusia, lapisan itu para anggota Partai Komunis, yang kemudian jadi nomenklatura. Dalam Revolusi Indonesia-juga dalam setiap perubahan besar sejak 1945, 1965, 1998-politik diambil alih partai, militer, dan di sana-sini birokrasi.

Yang terjadi bukan hanya politik ditidurkan dan sebuah kepalsuan yang seperti dirasakan Iskandar menyeruak, tapi juga sebuah kekerasan disembunyikan di balik semua itu. Film Lewat Jam Malam tanpa banyak kata-kata memperlihatkannya: pasukan polisi militer dan bedil mereka itu, atas nama tata tertib yang lempang dan dingin, membunuh seseorang yang belum tentu bersalah.

Kekerasan memang terjadi dan dilakukan ketika Republik hendak dilahirkan. Iskandar dan kawan-kawannya tak segan-segan membunuh tanpa menelaah adakah si korban pantas dilenyapkan. Tapi kekerasan juga terus ketika hukum dibangun. Kedaulatan mau tak mau harus ada dan bekerja.

Kedaulatan itu, tempat "negara" mendasarkan dirinya, tiap kali bisa represif, tiap kali bisa mengasingkan mereka yang tak merasa lagi bisa berbagi dengannya. Juga tiap kali punya dalih, terkadang dengan janji tentang keadilan. Tapi sejarah berkali-kali menunjukkan bahwa janji semacam itu, atau klaim ke arah itu, melahirkan sebuah ketakaburan dan pemberhalaan. Keadilan atau Ratu Adil-meskipun mengimbau terus-menerus sehari-hari-tak pernah mewujud penuh di bumi.

Itu sebabnya politik yang ditidurkan tiap kali akan terjaga-politik dalam arti gelora orang banyak, di luar nomenklatura, ketika bergerak secara kolektif pengalaman berkuasa. Jika kemudian terjadi perubahan yang dahsyat itulah kekerasan sebagai awal kisah sebuah kedaulatan yang gagal.

Walter Benjamin pernah menulis tentang kekerasan dan ia berbicara tentang "kekerasan ilahi" yang "murni", die gÃttliche reine Gewalt. Sebagaimana saya memahaminya, itu adalah kekerasan yang murni karena tak tercemar dan murni karena tak bisa ditawar. Itu adalah sebuah guncangan terhadap kedaulatan yang dengan kekerasannya sendiri membuat hukum seakan-akan tak akan lapuk.

Bagi Benjamin, kedaulatan yang terbaik justru kedaulatan yang lapuk. "Kekerasan ilahi" menegaskan itu. Akan ketahuan bahwa kedaulatan selalu bersifat sementara dan tak bisa menguasai semuanya. Dengan demikian rakyat yang di bawah itu bisa menegaskan bahwa politik tak bisa mereka lepaskan. Kalaupun tiap kali perjuangan bersama berakhir dengan kekecewaan, dan kedaulatan menabrak, mereka tetap tahu batas orang-orang yang berkuasa. Juga mereka tetap tahu daya sangkal mereka. Dalam politik, mereka tak sendiri.

Bila Iskandar mati sendirian, ia sebenarnya gejala ketika politik disingkirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar