Fenomena
“Drone Journalism”
Ignatius Haryanto ;
Peneliti di Lembaga Studi
Pers dan Pembangunan
|
KOMPAS,
14 Agustus 2014
DALAM
khazanah dunia jurnalistik saat ini dikenal istilah baru, drone journalism.
Dalam
salah satu artikel dalam rubrik ”Klinik Fotografi”, fotografer Kompas, Arbain
Rambey, pernah mengulas mengenal hal ini (”Memahami
Drone Photography/ Drone Journalism”, Kompas, 15 Juli 2014). Arbain Rambey
dalam tulisan tersebut memaparkan, ”Salah
satu sudut pemotretan yang baik untuk memberi gambaran pada sebuah realita
yang luas adalah sudut pemotretan dari atas (bird’s eye view). Sudut
pemotretan tipe ini jelas butuh posisi khusus, dan sering butuh pula alat
khusus.”
Alat
khusus ini secara umum disebut sebagai drone (pesawat tanpa awak), demikian
ditulis Arbain, dan secara khusus juga alat ini disebut sebagai quadcopter
atau helikopter berbaling-baling empat.
Soal
istilah
Gretchen
A Peck dalam satu tulisan di situs Editor
& Publisher (1 Agustus 2014) mengatakan bahwa pabrik pembuat pesawat
ini lebih memilih untuk tak menyebut produknya (pesawat tanpa awak ini)
sebagai drone. Hal ini karena kata
ini mengandung konotasi negatif karena teknologi yang sama telah dipergunakan
oleh militer Amerika Serikat dan dipersenjatai untuk menembaki musuh AS di
Timur Tengah. Juga kekhawatiran bahwa teknologi ini akan dipergunakan
Pemerintah AS untuk memata-matai warganya sendiri.
Dalam
tulisan yang sama dikatakan, pembuat pesawat dan pihak FAA (Federal Aviation Administration) lebih
memilih istilah: unmanned aircraft
system (UAS) atau unmanned aircraft vehicles (UAVs). Jika diindonesiakan,
istilah mungkin adalah ”sistem pesawat tanpa awak” atau ”kendaraan pesawat
tanpa awak”.
Menurut
Matt Waite, profesor dari University of Nebraska-Lincoln, dan pendiri Drone
Journalism Lab, istilah drone memang lebih singkat dan mudah diingat orang
walau dalam kenyataannya hal ini mengaburkan antara pesawat kecil yang
harganya hanya 30 dollar AS dengan pesawat Global Hawk yang bernilai 130 juta
dollar AS, yang besarnya seperti pesawat tempur.
Lepas
dari soal istilah, pesawat tanpa awak ini kini sudah mulai digunakan untuk
menghiasi karya-karya jurnalistik sejumlah media di Indonesia. Dengan
keluwesan untuk terbang, baik vertikal maupun horizontal dalam jangkauan
tertentu, serta mengambil gambar dari ketinggian tertentu, drone journalism
atau drone fotografi telah menawarkan gambar atau lanskap berbeda dalam
melihat peristiwa.
Drone
memungkinkan fotografer atau videografer memotret peristiwa yang sulit
diabadikan dengan cara biasa. Misalnya mengabadikan kehidupan satwa di hutan,
meliput peristiwa bencana, tragedi, atau konflik sosial dengan sedikit meminimalkan
risiko pada diri sendiri. Atau, jika kita melihat beberapa hasil karya video
dari wartawan GeoTimes, kita akan
melihat pemandangan Jakarta yang tak biasa di waktu malam, atau Monumen
Nasional (Monas) dalam ketinggian tertentu, atau kondisi Kota Tua Jakarta
dalam angle yang berbeda.
Dalam
bahasa Mike Levin, mantan fotografer untuk Philadelphia Inquirer, drone memberikan kemungkinan bagi
fotografer mengambil gambar tanpa harus menyewa pesawat helikopter yang
mahal. Juga bagi videografer, drone
memberikan kemungkinan untuk melakukan perekaman gambar dari atas dengan
lebih stabil.
John
V Pavlik (Journalism and New Media,
2001) pun mengatakan bahwa kamera semacam ini bisa dipakai untuk membuat
liputan tentang protes-protes publik, kampanye partai politik, liputan
olahraga, hingga liputan atas kemacetan lalu lintas di kota-kota besar.
Liputan acara budaya, seni, kebakaran hutan, rasanya juga bisa ditambahkan.
Tulisan
Arbain Rambey, sebagaimana disebut di atas, sudah juga menyebut salah satu
potensi masalah dari drone journalism,
yaitu terganggunya privasi sekelompok orang tertentu jika ada pesawat drone melintasi properti pribadi
sambil merekam gambar atau video.
Di
AS hal tentang privasi ini memicu perdebatan antara pihak yang mengatakan
bahwa drone tidak mengganggu privasi dan mereka yang merasa ada potensi
gangguan dari penggunaan drone. Bulan
Mei lalu, sejumlah media besar di AS, seperti New York Times, Associated
Press, Tribune Corporation, Hearst,
dan Washington Post, menyatakan
bahwa praktik drone journalism yang
dilakukan wartawan dilindungi Amandemen Pertama Konstitusi mereka. Praktik
jurnalistik menjadi pembeda antara pemakai drone untuk kepentingan hobi dan
kepentingan komersial lain (Jason
Koebler dalam situs motherboard.vice.com).
Lima
belas grup media AS ini menunjukkan sikap pembelaan atas Raphael Pirker yang
didenda FAA sebesar 10.000 dollar AS atas tudingan mengendalikan drone secara ceroboh. Ini kasus
pertama dengan pengendali drone terkena hukuman tersebut.
Lepas
dari soal privasi yang menjadi perhatian utama sebagai dampak drone
journalism, Pavlik mengingatkan hal yang lebih esensial terkait dengan
penggunaan drone untuk kegiatan jurnalistik, yaitu soal potensi penggunaan
drone untuk lebih melengkapi berita yang dihasilkan oleh wartawan.
Pavlik
menyebutkan, ”Risiko besar dari
penggunaan omnidirectorial technology (istilah Pavlik untuk menyebut
teknologi yang mampu meliput peristiwa dari berbagai sudut) adalah teknologi
ini dipakai hanya sekadar gimmick (trik) dari kantor media yang
menggunakannya ketimbang dipergunakan untuk meningkatkan kemampuan bercerita
dari media tersebut.”
Makna
untuk Indonesia
Masuknya
teknologi baru dalam dunia jurnalistik selalu butuh waktu untuk menyesuaikan
dalam lanskap yang sudah ada. Perlahan-lahan dengan makin banyak media atau
pribadi menggunakan drone, kita pun akan terbiasa melihat peristiwa dari
angle-angle bak mata burung menatap dari angkasa. Namun, bagaimanapun, esensi
jurnalisme tetap memiliki nilai-nilai yang sama dan sudah lama ada: yaitu
bagaimana alat yang baru seperti ini menambah informasi ataupun cara
penyajian informasi kepada konsumennya.
Tentu
saja ada masa saat kita akan terpesona melihat gambar dari ketinggian
tertentu atas suatu peristiwa, tetapi lagi-lagi kita jangan semata terpukau
atas teknologi ini. Pertanyaan pentingnya adalah seberapa teknologi baru ini
memberikan informasi berguna untuk kepentingan publik atau kepentingan
konsumen media. Pengabdian kepada publik atas keutamaan pertama yang harus
selalu diingat oleh para wartawan. Belum lagi jika kita mempertimbangkan
kemungkinan drone dapat mengganggu privasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar