Rabu, 06 Maret 2013

Efisiensi Pemilu Serentak


Efisiensi Pemilu Serentak
FS Swantoro ;  Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
SUARA MERDEKA, 06 Maret 2013
  

GAGASAN pemilu secara serentak kembali mencuat, menjadi pembicaraan hangat dalam parlemen dan media, seiring dengan rencana DPR merevisi UU Nomor 42 Tahun 2012 tentang Pemilihan Presiden (Pilpres). Sebelumnya, isu ini juga menjadi debat publik ketika pembahasan Revisi UU Pemilu tapi tidak mendapat tanggapan serius dari berbagai fraksi di DPR.

Sebenarnya pemilu serentak mempunyai kebaikan demi efisiensi proses demokrasi dan praksis demokrasi substansial. Selain itu, rencana pembangunan dan implementasi bisa lebih  sinkron. Memang tak bisa dimungkiri penataan pemilu serentak itu memerlukan pengorbanan dari kepala daerah yang berkurang masa jabatannya.

Terkait dengan wacana itu, muncul dua pemikiran. Pertama; pileg dan pilpres dilakukan serentak secara nasional. Kedua; dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah tingkat provinsi, dan kabupaten/kota. Lantas apa manfaatnya, andai pemilu dilakukan serentak?     

Capres Alternatif

Jika KPU menyelenggarakan pemilu serentak, ada dua keuntungan ganda yang bisa diraih sekaligus. Pertama; dalam kaitan pilpres akan muncul tokoh alternatif. Kedua; dapat menghemat anggaran hingga triliunan rupiah, efisien waktu, tenaga, dan keefisienan proses demokrasi.

Meminjam bahasa Jimly Asshiddiqie dan Soegeng Sarjadi dalam diskusi di DPR, ’’Pemilu serentak menjadi jawaban untuk memunculkan calon presiden alternatif. Ke depan jika pileg dan pilpres dilakukan secara bersamaan maka syarat ambang batas suara bagi partai atau gabungan parpol dalam pilpres, menjadi tidak diperlukan lagi.’’

Dari substansi itu, kita bisa menyimpulkan hal itu membuat partai politik besar dan kecil menjadi seimbang (equal).

Bagaimana bisa merealisasikan gagasan itu? Tentu harus ada komponen masyarakat seperti LSM atau civil society, dan partai politik yang mengajukan yudicial review UU Nomor 42 Tahun 2008 terkait Pilpres. Undang-Undang Pilpres mengatur bahwa pemilihan presiden diselenggarakan setelah pemilu legislatif dilaksanakan. Sementara Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan pasangan capres-cawapres diusulkan partai atau gabungan partai peserta pemilu sebelum pemilu digelar.

Argumen itu mengisyaratkan bahwa konstitusi memperbolehkan pileg dan pilpres  diselenggarakan serentak. Seandainya uji materi dikabulkan, otomatis pilpres dapat diselenggarakan serentak dengan pileg. Lewat pemilu serentak, syarat ambang batas parlemen mengusung capres menjadi tidak diperlukan. Parpol peserta pemilu punya hak dan kewajiban sama mengusung capres masing-masing dan berarti sistem pemilu akan lebih murah, hemat biaya, efisien waktu, dan tenaga.

Untuk itu, ambang batas pencalonan presiden layak direvisi karena penetapan syarat minimal kursi DPR atau perolehan suara partai dan gabungan partai ketika mengajukan calon presiden menjadi tidak adil. Pasalnya, partai besar cenderung mengusulkan ambang batas tinggi, sementara partai kecil meminta persyaratan rendah. Dalam konteks bernegara seharusnya semua partai punya hak sama, bisa memunculkan calon presiden alternatif.

Efisien Anggaran

Lantas bagaimana dengan hitungan anggaran? Hitungan riil memang belum ada, masih sebatas teoritis. Tapi jika pemilu diterapkan serentak, penyusutan anggaran pasti signifikan hingga triliunan rupiah. Untuk biaya pemilu ada penyusutan anggaran pada honor penyelenggara pemilu. Selama ini honor penyelenggara pemilu menjadi komponen terbesar dari biaya pemilu, yang mencapai hampir 60% dari biaya pileg, pilpres, dan pilkada.

Besar honor dapat dilihat dari jumlah TPS, sekitar 600 ribu tempat pemungutan suara (TPS). Tiap TPS dijaga 6 orang dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Dengan total anggota KPPS sekitar 2 juta orang, jika honor per anggota rata-rata Rp 300 ribu, butuh biaya sekitar Rp 6 triliun. Itu belum biaya untuk pilpres dan pilkada.

Jumlah itu pun masih ditambah honor anggota Panitia Pemilihan Pemungutan Suara (PPS). Ada 3 anggota PPS di tiap kelurahan, dan dengan 77.465 kelurahan sehingga ada 232.395 anggota PPS.
Kalau tiap anggota PPS berhonor Rp 500 ribu, butuh dana ratusan miliar untuk honor mereka, masih ditambah anggota Panwas dan KPUD. Itu hanya pemilu legislatif, belum pilpres dan Pilkada yang praktiknya bisa dua putaran.

Karena itu, jika pemerintah menggelar pesta demokrasi itu secara serentak dengan model pemilu 
nasional dan lokal, efisiensi anggaran pasti signifikan saat pemerintah butuh dana untuk pengentasan warga dari kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Lebih dari itu, pemilu serentak akan mendorong pemilih lebih rasional menggunakan hak politik. Artinya, pemilu serentak tak hanya efisien anggaran, tenaga, dan waktu, tetapi lebih dari itu, yakni mempercepat keterwujudan penataan demokrasi substansial. Penataan demokrasi substansial ini terkait akses rakyat dalam menentukan pilihan politik, penyederhanaan sistem kepartaian dan sistem pemilu, serta penguatan sistem presidensial. Perlu secepatnya memikirkan wacana itu tapi juga tidak boleh tergesa-gesa dan gegabah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar