Senin, 14 September 2015

Negeri di Atas Kertas

Negeri di Atas Kertas

Erik R Prabowo  ;  Editor Buku, Tinggal di Magelang
                                                     KOMPAS, 12 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."

Saat menemukan dan membaca kutipan ini, penulis merasakan ada semacam ketaknyamanan pada diri sendiri. Kutipan di atas seperti sindiran atas kelangkaan karya nyata.

Secara tersurat, Pramoedya memang menyebut kata "menulis" yang merujuk pada karya berupa tulisan. Namun, secara tersirat, merujuk pada karya nyata yang beragam jenisnya, tidak hanya berupa tulisan.

Kata "menulis" digunakan dalam kutipan tersebut sebab menulis merupakan aktivitas sederhana dan mudah dilakukan. Dalam artikel ini, kutipan dari Pramoedya ini ditafsirkan menjadi, "Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika setelah selesai tak menghasilkan satu pun karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat."

Jumlah ijazah dan karya

Di atas kertas, jumlah sarjana yang dihasilkan tentu saja semakin bertambah besar tiap tahunnya. Jumlah ini sebanding dengan jumlah perguruan tinggi, dan akademi yang jumlahnya juga sangat banyak di Indonesia.

Tujuan penggunaan frasa "di atas kertas" pada paragraf di atas memiliki tujuan yang sama dengan para komentator sepak bola di TV: ingin menggambarkan keadaan yang belum pasti. Jumlah ijazah pendidikan tinggi yang banyak itu tidak memberi jaminan bahwa pemegangnya mampu menghasilkan karya inovatif.

Karya-karya inovatif memang masih belum diminati di Indonesia. Kadang dianggap tak akan laku sebab masih baru. Salah satu gejala rendahnya tingkat inovasi orang Indonesia bisa dilihat dari tren meniru skripsi orang lain.

Sebagian besar skripsi dari satu jurusan memiliki kesamaan pokok bahasan, yang berbeda hanya seputar nilai variabel. Misalnya, untuk jurusan kimia, ada sebuah skripsi berjudul "Perancangan Pabrik Diethyl Ether dengan Reaktor Uap Cair, Kapasitas 100.000 Ton Per Tahun". Di perpustakaan universitas yang sama, atau bisa juga di universitas lain, ada judul yang hampir sama. Contohnya, "Perancangan Pabrik Diethyl Ether dengan Reaktor Uap Cair, Kapasitas 300.000 Ton Per Tahun". Bagaimana mungkin di dua atau tiga universitas berbeda, mahasiswanya memiliki judul skripsi yang hampir sama?

Saat memasuki masa skripsi, setiap mahasiswa akan memulai "berburu" menemukan judul-judul skripsi untuk diajukan ke hadapan dosen pembimbing. Mahasiswa berburu judul untuk mempercepat waktu pengerjaan skripsi. Jika setiap mahasiswa harus menyusun judul dan penelitian baru, waktu pengerjaannya bisa sangat lama.

Berkembang sebuah penilaian di kampus, mahasiswa yang terlalu lama menempuh studi akan mendapat cap malas atau bodoh. Meskipun penilaian ini sering disangkal, kenyataannya orang-orang yang memperoleh predikat cum laude adalah mereka yang ber-IPK tinggi dan lulus cepat.

Saat masih kuliah, penulis pernah dinasihati kakak senior, "Sudahlah, S-1 jangan terlalu idealis skripsinya, yang penting bisa lulus dulu." Saat pertama mendengarnya, penulis langsung tak setuju dengan nasihat ini sebab tidak mencerdaskan. Namun, seiring berjalannya waktu, nasihat ini juga perlu dipertimbangkan.

Penyebabnya, job center di beberapa kampus sering memasang pengumuman lowongan pekerjaan dari beberapa perusahaan ternama, beberapa di antaranya berkelas internasional. Beberapa perusahaan ini lebih sering mencari para fresh graduate. Umur yang diinginkan biasanya berkisar 23-28 tahun.

Supaya bisa mengikuti seleksi di perusahaan-perusahaan ini, setiap mahasiswa harus mampu menyelesaikan studi lebih kurang empat tahun. Dalam rentang waktu tersebut, proses belajar setiap mahasiswa harus dilakukan dengan cepat dan padat.

Motivasi setiap mahasiswa Indonesia umumnya ingin cepat lulus dan segera bekerja. Hal ini manusiawi mengingat biaya kuliah sangat mahal. Para mahasiswa ini memiliki kewajiban untuk segera menyelesaikan kuliah dan segera bekerja untuk mengurangi beban orangtua.

Demi mengejar waktu kelulusan, memperdalam pemahaman materi kuliah menjadi sulit dilakukan. Kebanyakan mahasiswa lebih banyak belajar dari catatan yang diberikan dosen saat kuliah, soal-soal kuis, dan materi tugas. Sebab, dosenlah yang membuat soal dan memberi nilai ujian. Buku-buku teks referensi yang tebal mulai ditinggalkan karena dianggap mayoritas isinya tidak keluar dalam ujian.

Bagaimana dengan kualitas keilmuan? Nanti saja, diperdalam seiring berjalannya waktu.

Mahasiswa dan pelajar kita bukan tak kreatif, melainkan tak terlatih untuk menjadi kreatif. Bagaimana mungkin jadi kreatif jika setiap hari otak dibebani dengan berbagai macam hafalan materi pelajaran? Hal ini terjadi sejak kita masih duduk di bangku SD hingga perguruan tinggi.

Sayangnya, untuk benar-benar memahami sebuah materi pelajaran diperlukan waktu. Sementara di sisi lain, waktu belajar di sekolah dan di rumah terlalu sedikit sebab banyak mata pelajaran/kuliah di setiap semester. Ditambah tugas setiap hari, hasilnya beban belajar sangat besar. Dalam keadaan seperti ini, cara tercepat menguasai materi adalah dengan menghafal.

"The mere imparting of information is not education," kata Carter G Woodson. Kutipan ini lebih kurang memiliki makna, "Proses menghimpun informasi dan sekadar menanamkannya di otak (menghafal) bukanlah aktivitas pendidikan."

Saat menemukan kutipan dari sejarawan Amerika ini, ada rasa tersindir dalam hati. Sebab, selama sekolah sampai kuliah, penulis juga terus menghafal dan menghafal materi pelajaran.

Pendidikan mencerdaskan

Mengubah orang yang tidak cerdas menjadi cerdas adalah kewajiban negara melalui institusi pendidikan. Sistem pendidikan yang dibangun semestinya juga mencerdaskan. Bukan sistem yang hanya menjaring mana yang cerdas, mana yang tidak cerdas, lalu memberi cap anak ini pintar, anak itu bodoh, dengan deretan nilai di rapor dan ijazah.

Sejak di bangku SD hingga perguruan tinggi, seingat penulis, tidak ada mata pelajaran yang secara khusus mengajarkan bagaimana berpikir inovatif dan kreatif, bahkan cara membuat pemetaan pikiran pun tidak diajarkan. Singkatnya, sejak dini mayoritas orang Indonesia tidak diajarkan cara berpikir dan berlogika dengan benar.

Sebelum terlambat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepertinya perlu menciptakan sebuah mata pelajaran baru, yang secara khusus mengajarkan bagaimana berpikir inovatif, dilengkapi dengan guru-guru kreatif. Mungkin akan lebih baik jika kreativitas gurunya setingkat dengan Yoris Sebastian, sang master dunia kreatif Indonesia.

Bangsa ini sedang mengalami darurat karya nyata dan orisinalitas dalam hal apa saja. Kemdikbud perlu mengurangi jumlah mata pelajaran agar para pelajar tidak terlalu banyak menghafal, tapi berlatih berpikir dan berlogika. Mungkin sebagian dari kita menganggap banyaknya skripsi yang judulnya hampir sama, di tingkat universitas, adalah hal biasa, tetapi jika dibiarkan, lama-lama akan membuat negeri ini jadi "negeri di atas kertas".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar