Rabu, 03 Desember 2014

Disfungsi Pengawasan Internal

                                  Disfungsi Pengawasan Internal

Robert Endi Jaweng  ;   Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
KOMPAS,  03 Desember 2014

                                                                                                                       


Dalam menjalankan kebijakan publik, negeri ini tidak memiliki tradisi kuat membangun sistem pengawasan dan evaluasi internal. Kita menaruh perhatian besar pada siklus perencanaan dan implementasi, tetapi kerap abai segi penilaian kinerja dan kontrol. Kalaupun ada, tak lebih dari laporan kemajuan yang formalistis dan akal-akalan.

Jendela kesempatan ke arah perubahan kini mulai terbuka. Minggu lalu, asosiasi para gubernur (APPSI) di depan Presiden Joko Widodo meminta agar proses hukum terhadap kepala daerah didahului pemeriksaan oleh pranata pengawas internal pemerintah (inspektorat daerah). Intensi di baliknya memang lebih untuk kepentingan diri (meminta jaminan perlindungan hukum), tetapi permintaan ini direspons publik berupa tuntutan melakukan penguatan sistem pengendalian/pengawasan internal (SPIP), khususnya di ranah pemerintahan daerah.

Tak diinginkan

Dari dukungan regulasi dan kelembagaan, sesungguhnya kita terbilang cukup siap. Paket regulasi yang bisa jadi pegangan, misalnya, adalah pengaturan soal pengawasan (Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005), laporan (PP No 3/2007), evaluasi (PP No 6/2008), sistem pengendalian/SPIP (PP No 60/2008). Bahkan, saat ini Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi hendak memperkuat kerangka legal SPIP ke level UU. Sementara institusi pelaksana, selain BPKP, terdapat Bawasda yang kini bersalin nama menjadi inspektorat daerah.

Melihat kesiapan pranata tersebut, publik gampang menebak biang berikutnya dari disfungsi pengawasan internal pemerintahan pada era otonomi ini. Jabaran lanjut dalam regulasi dan instrumentasi kerja di daerah macet. Data menunjukkan minimnya jumlah daerah yang memenuhi kewajiban membuat pedoman kerja pengendalian: tahun 2011 tercatat hanya 7 provinsi dan 96 kabupaten/kota yang memiliki kerangka operasional tersebut.

Eksistensi pranata dan hakikat fungsi pengawasan internal memang tak diinginkan dalam sektor publik kita. Secara politik dan hukum, keberadaan lembaga ini bahkan dianggap berbahaya. Hasil inspeksi bisa jadi bumerang: kepala daerah menjadi sasaran tembak para lawan politiknya, dan secara hukum berpotensi menjadi pintu masuk bagi kehadiran KPK/kejaksaan untuk menelusuri indikasi pelanggaran pidana. Maka, kalau tidak dibonsai sistematis, pimpinan dan pejabat daerah memainkan politik pembiaran alias dibiarkan ”menganggur” lewat aneka cara.

Pertama, sebagai bagian integral struktur pemerintahan, kedudukan inspektorat didesain hanya jadi unsur penunjang, bahkan sekadar suruhan untuk menutup inefisiensi, malaadministrasi dan korupsi dalam tubuh birokrasi. Pertanggungjawaban ke kepala daerah dan pengawasan oleh sekretaris daerah dimanipulasi guna memerosotkan posisi integral inspektorat menjadi subordinasi, bahkan kooptasi.

Kedua, ruang lingkup pengawasan dibatasi. Meski regulasi nasional mengatur bentang kerja yang luas dari uji laporan, pengusutan indikasi penyimpangan APBD, hingga penilaian manfaat kebijakan/kegiatan, pada praktiknya terjadi deviasi dan penyempitan area intervensi. Inspektorat lebih banyak diarahkan untuk mengecek pengelolaan keuangan dan aset daerah atau mengoordinasi konsultan pengawas pengadaan barang/jasa, dan lain-lain.

Pada segi materi kerja, pengawasan urusan dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang mestinya lebih membutuhkan audit kinerja dan evaluasi komprehensif lalu menjadi sekadar penilaian laporan kemajuan kerja dan kesesuaian formal-prosedural perencanaan, penganggaran dan realisasi proyek. Tidak heran yang mengisi lembaga inspektorat adalah tenaga fungsional auditor/akuntan, bukan para ahli evaluasi dan investigasi.

Ketiga, tindak lanjut berupa umpan balik dan mekanisme sanksi amat lemah. Hingga hari ini masih sedikit temuan inspektorat menjadi masukan perbaikan kebijakan dan peningkatan kinerja, apalagi bagi pengembangan sistem disinsentif (punishment). Hasil inspeksi tak berdaya ikat (imperatif), lebih sering menjadi dokumen mati di laci-laci meja yang penggunaannya tergantung dari kemauan pimpinan daerah atau ketaatan setiap instansi terkait untuk menjalankannya.

Keempat, menjadi rahasia umum: inspektorat bukanlah lembaga ”basah” dan kurang bergengsi dibandingkan dengan dinas/badan lainnya. Dari sisi personalia, institusi ini bahkan jadi tempat ”parkir” bagi birokrat kurang potensial atau ”singgahan” PNS sepuh menjelang pensiun. Perlakuan tersebut jelas berpengaruh buruk kepada motivasi dan kapasitas kerja, yang dalam budaya birokrasi justru hanya ”dinikmati” oleh pimpinan/staf terkait.

Akal bulus dan jebakan

Dengan ragam masalah tersebut, permintaan APPSI tadi jelas aneh. Mutu pemeriksaan apa yang diharapkan dari hasil kerja suatu institusi yang mengalami disfungsi serius demikian? Jaminan perlindungan dari represi hukum dengan meminta pemeriksaan oleh inspektorat terlebih dulu jelas menyimpan akal bulus, bahkan sebuah jebakan jika Presiden mendukungnya. Justru, seperti yang kreatif dikembangkan media, permintaan tersebut mesti diambil sebagai momentum untuk mendesak balik penguatan eksistensi, otoritas, dan kapasitas pengawasan internal.

Momentum itu bergayut sambut dengan perubahan kebijakan utama saat ini, terutama lewat UU SPIP. Sejalan dengan itu, UU Nomor 23 Tahun 20014 tentang Pemerintahan Daerah perlu direvisi lagi lantaran masih mengharuskan inspektorat bertanggung jawab kepada kepala daerah.

Tanpa revisi tersebut, pemda tetap menjadikan UU ini sebagai payung, apalagi jika lebih menguntungkan mereka. Maka, aparat pengawas niscaya sulit bergerak: jangankan pimpinannya, mengawasi dan menyampaikan hasil inspeksi dari sesama aparat pemda saja bisa dianggap mencoreng citra sejawat (spirit d’corps).

Jelas, ke depan, inspektorat menjadi lembaga di luar (otonom) dan di atas (superordinat) pemda. Struktur kelembagaannya adalah integral dengan inspektorat nasional, jika perlu menjadi elemen penguat dalam lembaga semacam UKP4.  Dari sisi business process, berbeda dengan BPK/KPK yang lebih sering terlibat pada hilir proyek, inspektorat mulai melakukan pantauan, evaluasi, dan kontrol sejak fase hulu (perencanaan) hingga hasil akhir. Di sini fungsi pengawasan sekaligus menjadi jaring pengaman internal guna menyelamatkan daerah dari kerusakan berkelanjutan yang biasanya sudah mulai terdeteksi sejak perencanaan.

Jika para pimpinan daerah serius dengan penataan dan penguatan pranata tersebut, sejatinya permintaan Ketua APPSI menjadi tak relevan. Serius membangun sistem integritas internal semacam ini adalah pencegahan (prevensi) paling ampuh ketimbang meminta jaminan perlindungan kepada Presiden dari represi hukum. Bahkan faedahnya tak semata tuah hukum: kesuksesan membangun tata kelola internal berbasis pengawasan efektif akan menjadi umpan balik bagi perbaikan kapasitas pemda dan kinerja daerah itu sendiri, sekaligus bagian dari ikhtiar perwujudan akuntabilitas publik dalam mengelola fiskal dan memberikan layanan.

Desentralisasi, sebagai cara baru berpemerintahan, mesti dilapisi pula oleh tradisi baru demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar