Tugas
Berat Pemerintahan Baru
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah
Mada
|
KOMPAS,
07 Agustus 2014
SAMBIL menunggu proses akhir pemilihan presiden di tingkat
Mahkamah Konstitusi, ada baiknya kita mencoba menginventarisasikan isu-isu
strategis apa saja yang bakal menjadi tugas berat pemerintahan presiden
terpilih nanti.
Ujian pertama bagi pemerintahan baru bisa disebut sudah dilalui
dengan baik. Indikasinya, pasar menyambut antusias dengan penguatan rupiah
(Rp 11.500-an per dollar AS) dan Indeks Harga Saham Gabungan (di atas 5.000).
Sentimen positif ini hendaknya terus dipertahankan, melalui pembentukan
kabinet yang tidak saja mencerminkan kapasitas intelektual para menteri,
tetapi juga dilengkapi integritas dan kemauan untuk bekerja keras dan
bertindak sebagai ”pelayan” publik.
Jika presiden terpilih sampai tergelincir menyusun kabinet
dengan basis sekadar membagi-bagi jatah bagi koalisi politiknya sehingga
cenderung mengabaikan aspek kompetensi, seperti terjadi pada kabinet
sebelumnya, pasar akan segera menghukumnya. Rupiah dan IHSG pun akan berhenti
berakselerasi, sementara arus modal masuk (capital inflow) pun akan berubah menjadi capital outflow. Ini
tentu tidak boleh terjadi.
Tujuh isu strategis
Berikut tujuh isu strategis bagi pemerintah baru. Pertama,
subsidi energi. Tahun ini subsidi energi (BBM dan listrik) akan mencapai Rp
350 triliun, terdiri dari subsidi BBM Rp 246,49 triliun dan subsidi listrik
Rp 103,82 triliun. Ini jelas berlebihan karena volume APBN sekitar Rp 1.877
triliun. Itu berarti subsidi energi mencapai hampir 19 persen dari seluruh
belanja negara. Ini tak masuk akal. Bahkan biaya penyelenggaraan Piala Dunia
sepak bola di Brasil 2014 ”hanya” sekitar 15 miliar dollar AS (sekitar Rp 170
triliun), termasuk membikin baru dan merenovasi 12 stadion serta membangun
infrastruktur (data Bloomberg dan Forbes). Dengan kata lain, subsidi energi
kita bisa untuk penyelenggaraan dua kali Piala Dunia!
Terlalu besarnya subsidi energi ini menimbulkan dua implikasi
negatif. Pertama, tak memberi ruang gerak fiskal untuk mengalokasikannya ke
kegiatan lain yang produktif, misalnya membangun infrastruktur. Kedua,
pengelolaan fiskal dan makroprudensial dipersepsikan buruk oleh investor
asing. Imbasnya, akan menurunkan peringkat kredit obligasi pemerintah. Karena
itu, tugas berat pertama presiden terpilih menghentikan ”kegilaan” ini dengan
menaikkan harga BBM.
Beranikah dia melakukannya, dan kapan waktu yang tepat? Mungkin
agak sulit melakukannya pada tahun ini. Biarkan 2014 berakhir dengan inflasi
rendah, 5-6 persen. Kenaikan harga BBM bisa dilakukan pada saat bulan-bulan
yang inflasinya rendah, yakni Maret-April 2015, agar dampak negatif
inflasinya bisa diminimalkan. Harga BBM bersubsidi bisa dinaikkan dari Rp
6.500 ke Rp 8.000-Rp 8.500 per liter, untuk secara bertahap mendekati harga
keekonomian Rp 11.000 per liter.
Namun, menaikkan harga BBM saja sesungguhnya belum menuntaskan masalah.
Masih ada problem ketidakadilan karena salah sasaran (misallocation of resources) dalam distribusi BBM bersubsidi. Cara
yang cukup radikal adalah melarang para pemilik mobil pribadi mengisi
tangkinya dengan BBM bersubsidi. Hanya sepeda motor dan angkutan umum yang
diizinkan menggunakan BBM bersubsidi. Kebijakan ini akan mendorong masyarakat
memilih kendaraan hemat energi.
Kedua, akselerasi pembangunan infrastruktur. Joko Widodo sebagai
presiden terpilih beruntung punya pengalaman dalam menangani isu ini. Sebagai
Gubernur DKI, dialah orang yang berhasil memulai proyek mass rapid transit,
yang selama ini mengalami kebekuan dalam beberapa periode gubernur
sebelumnya. Sayang dia belum sempat berhasil mengeksekusi proyek monorel yang
kini masih berlanjut pertikaiannya. Selanjutnya, sesuai visinya tentang
negara maritim, dia harus membangun lebih banyak pelabuhan laut. Di sepanjang
pantai utara Jawa, perlu ada sebuah pelabuhan di setiap 100 kilometer. Jadi,
paling tidak harus ada tujuh pelabuhan terbentang antara Jakarta dan
Surabaya, yang panjangnya 727 kilometer.
Ide Jokowi tentang perlunya kapal-kapal besar untuk menurunkan
biaya logistik sangat menarik. Biaya kontainer rute Jakarta-Papua lebih mahal
daripada Jakarta-Los Angeles karena skala ekonomis (economies of scale). Kapal rute Jakarta-LA menggunakan kapal
besar, sedangkan Jakarta-Papua kapalnya kecil. Penggunaan kapal besar jauh
lebih efisien. Masalahnya, bagaimana membuat rute Jakarta-Papua lebih efisien
dengan kapal besar? Investasi besar dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
(sehingga permintaan naik) akan menjadi kuncinya.
Pelabuhan udara juga harus terus didorong. Pada era Yudhoyono
telah dibangun dan direnovasi Bandar Udara Kuala Namu, Hasanuddin, Juanda,
dan Ngurah Rai. Ini pun masih belum cukup. Pada era pemerintahan baru nanti
harus lebih banyak lagi bandara berstandar internasional dibangun, apalagi
kita berupaya menarik lebih banyak turis asing, yang kini baru 8 juta orang.
Angka ini kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia (2013) yang bisa menarik
25,7 juta orang dan menghasilkan devisa 21 miliar dollar AS!
Ketiga, sudah banyak literatur yang menyebutkan daya saing
Indonesia harus ditingkatkan untuk menghadapi kompetisi komunitas ASEAN sejak
1 Januari 2016. Selain infrastruktur, titik kritisnya terletak pada kualitas
sumber daya manusia. Di ASEAN, ternyata Indonesia hanya nomor tiga sebagai
negara pengirim anak-anak muda bersekolah di luar negeri (international student mobility).
Negara paling agresif Malaysia (54.000) dan Vietnam (48.000).
Selanjutnya, Indonesia (34.000), Thailand (26.000), dan Singapura (20.000).
Dengan catatan, penduduk Indonesia 250 juta, Vietnam (92 juta), Thailand (70
juta), Malaysia (30 juta), dan Singapura (6 juta). Jokowi harus mengulang
kembali agresivitas mantan Presiden serta Menteri Riset dan Teknologi BJ
Habibie yang dulu banyak mengirim mahasiswa merebut teknologi dari Amerika
Serikat dan Eropa.
Keempat, sesuai janjinya, Jokowi sebagai presiden terpilih juga
harus bisa mencetak minimal sejuta lahan pertanian tanaman pangan (padi).
Proyek ini dulu pernah dilakukan Soeharto, tetapi kurang berhasil. Swasembada
pangan—sebenarnya juga banyak komoditas lain—hanya bisa dilakukan melalui
ekstensifikasi atau penambahan lahan. Program transmigrasi masih relevan
dilanjutkan dalam rangka mendorong petani mengerjakan luas lahan yang
menjamin tercapainya skala ekonomis, yakni batas luas minimum yang bisa
menyebabkan petani berproduksi efisien, misalnya 2 hektar per petani.
Kelima, pengendalian penduduk. Sesudah era reformasi 1998,
Indonesia cenderung lengah menangani isu ini. Bertambahnya penduduk memang
bisa mendatangkan manfaat berupa ”bonus demografi”. Namun, itu bisa berbalik
menjadi beban jika kita tidak bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Syarat
untuk itu adalah pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen, sesuatu yang tidak
pernah kita rasakan sejak krisis 1998. Tidak ada kompromi lagi, pertumbuhan
penduduk maksimal harus di bawah 1 persen per tahun.
Konsolidasi bank
Keenam, konsolidasi bank di sektor finansial adalah hal yang
gagal dilakukan pemerintah sebelumnya. Jumlah bank di Indonesia saat ini 119
bank lokal untuk melayani 250 juta penduduk. Di Malaysia, hanya ada delapan
bank lokal untuk melayani 30 juta penduduk. Itu pun Malaysia masih terus
berupaya mengonsolidasikan bank-banknya. Di Singapura, cuma ada tiga bank
lokal raksasa: DBS, OCBS, dan UOB. Dalam industri perbankan, berlaku hukum
size does matter. Artinya, semakin besar ukuran suatu bank, akan semakin
efisien. Karena itulah, di banyak negara sudah timbul tren konsolidasi
antarbank. Indonesia pernah sukses menggabung empat bank BUMN (BDN, Bapindo,
BBD, dan Bank Exim) menjadi Bank Mandiri.
Dalam jangka pendek dan menengah ke depan, pemerintah harus
berani mengonsolidasikan empat bank BUMN yang sekarang ada (Mandiri, BRI,
BNI, dan BTN) menjadi sebuah bank raksasa yang kompetitif. Integrasi sektor
finansial di ASEAN akan terjadi pada 2020, ketika kita tidak mungkin
menghindarinya. Konsolidasi bank memang berisiko resistensi. Kombinasi antara
skema pensiun dini yang menarik dan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja
adalah hal-hal yang bisa mengurangi gejolak. Pengalaman merger Bank Mandiri
telah mengajarkannya.
Ketujuh, Indonesia adalah negara yang tertinggal dalam hal
pengumpulan pajak. Dengan tax ratio
(rasio penerimaan pajak terhadap PDB) hanya 12 persen, kita tercecer
dibandingkan dengan Filipina (14,4 persen), Vietnam dan India (15 persen),
Malaysia (15,5 persen), Tiongkok dan Thailand (17 persen). Secara tipikal, di
negara-negara yang kian miskin, tax ratio-nya rendah, misalnya Pakistan (10
persen) dan Banglades (8,5 persen). Indonesia harus mengejar penerimaan pajak
untuk mengurangi defisit APBN, alias mengurangi akselerasi utang pemerintah.
Jumlah karyawan Ditjen Pajak, yang kini 32.000 orang, harus banyak ditambah
untuk memperkecil ruang gerak para penghindar dan penggelap pajak. Tentu
masih banyak lagi agenda bagi pemerintahan baru, tetapi tujuh isu strategis
itu setidaknya bisa membantu memetakan masalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar