Kamis, 07 Agustus 2014

Transisi Kabinet dan Politik

Transisi Kabinet dan Politik

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 06 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Kita perlu mengapresiasi langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengajukan diri bekerjasama dengan presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) untuk membuat proses transisi kekuasaan menjadi lebih lancar.

Walaupun proses transisi tersebut masih harus menunggu hasil sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang sedang menyidang gugatan pasangan capres- cawapres nomor urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, penyiapan pemerintahan yang baru dapat menjadi tradisi politik yang dipertahankan di masa depan. Kita belum tahu apakah transisi ini memiliki makna untuk melanjutkan program-program kerja yang telah dilakukan pemerintahan SBY.

Atau sebaliknya justru segera mempersiapkan langkah-langkah kebijakan yang memutus kesinambungan dengan kebijakan di masa lalu. Kesemuanya akan tergantung dari Tim Transisi yang telah dibentuk minggu ini. Tugas dari Tim Transisi salah satunya adalah merancang kabinet dan kebijakan sesuai dengan visi dan misi yang dikemukakan Jokowi-JK selama masa kampanye. Mengenai pembentukan kabinet, tim ini bertugas memberikan masukan kepada presiden terpilih tentang calon-calon yang dianggap kompeten. Istilah mereka: menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat di mana janji presiden terpilih adalah mendahulukan profesionalisme ketimbang kepentingan politik partai-partai.

Mengenai pemilihan wujud kabinet, beberapa analis mengatakan atau menduga bahwa Jokowi akan membentuk kabinet yang langsing. Analisis tersebut merujuk pada pernyataan Jokowi yang telah menegaskan orientasi kabinetnya sebagai kabinet kerja dan bukan kabinet politik. Iainginmenegaskanprinsip profesionalisme bagi para pejabat untuk menduduki jabatan menteri. Selain untuk mendukung program kerjanya, Jokowi dan partai pendukungnya melihat dalam pemerintahan SBY saat ini, politik bagi-bagi kursi menteri di antara partai untuk memperkuat pemerintahan presidensial ternyata tidak berhasil.

Sebaliknya praktik itu justru merugikan pemerintahan SBY apabila kita melihat turunnya popularitas SBY menjelang berakhirnya masa jabatan sebagai ukuran. Selain menjadikan rendahnya popularitas SBY sebagai figur, Partai Demokrat juga ditinggalkan pemilihnya. Pertanyaannya kemudian apakah memang ada hubungan langsung antara memudarnya kekuasaan Partai Demokrat dan SBY sebagai bukti gagalnya politik bagi-bagi kursi kabinet? Apakah kegagalan SBY dan Partai Demokrat justru karena mereka tidak mampu mengelola konflik dalam koalisi partai yang dibentuknya?

Atau apakah karena memang secara internal SBY dan Partai Demokrat tidak melakukan pendidikan politik yang kuat sehingga kekalahan mereka saat ini mengonfirmasi bahwa kemenangan mereka di tahun 2009 lebih karena dinamika sentimen politik dan bukan karena kuatnya ideologi pendukungnya? Pertanyaan itu penting kita ajukan agar pemerintahan Jokowi-JK di masa depan juga perlu melihat dan menganalisis dengan hati-hati kesimpulan yang dibuat saat ini sebelum keputusan politik yang besar dan penting diambil.

Pemerintah di mana pun tentu akan menjaga dan perlu merumuskan formula yang cocok antara memenuhi tujuan-tujuan rasional pembangunan kesejahteraan dan mengelola tekanan-tekanan politik yang menghampiri mereka di masa depan. Kita dapat ambil misalnya tindakan Presiden SBY yang menciptakan posisi wakil menteri di departemen-departemen. Presiden SBY melalui Kabinet Indonesia Bersatu jilid 1 dan 2 mengutamakan rekrutmen seluas-luasnya dari berbagai partai untuk menjadi menteri.

Untuk menekan konflik antara tujuan politik sang menteri dan profesionalitas kerja lembaga, jabatan posisi wakil menteri diciptakan agar terjadi keseimbangan antara kemungkinan politik transaksi yang terjadi di lembaga karena kedudukan sang menteri dengan politik teknokrat pembangunannya. Pilihan politik untuk mengedepankan kabinet yang langsing dan mengurangi politik transaksional dalam pemerintahan Jokowi di masa datang tentu tidak akan bergerak secara linear dan nihil konsekuensi.

Kabinet yang langsing akan diuji dalam lima tahun ke depan dan dalam setiap kebijakan yang diambilnya baik terkait dengan politik APBN, legislasi perundang-undangan maupun kebijakan lain. Dalam pengalaman berbagai negara, pembentukan kabinet adalah saat-saat paling menentukan dan mendebarkan pascapemilu. Pertama-tama bukan karena siapa saja yang diangkat sebagai menteri, tetapi dari sana dapat terbaca strategi dan potensi tantangan bagi kepala pemerintahan terpilih. Untuk menghadapi cobaan-cobaan tersebut, pemerintahan Jokowi tentu harus memiliki sumber-sumber power.

Kabinet yang didukung suara mayoritas di lembaga legislatif berpotensi lebih mulus dalam meraih dukungan di parlemen. Suara mayoritas di parlemen adalah sumber power yang dibutuhkan untuk mengamankan kebijakannya. Sebaliknya, kabinet yang kurang mendapatkan dukungan politik di parlemen (entah karena garis preferensi kebijakan yang berbeda atau karena loyalitas pada partai yang berbeda) tentu akan kekurangan power dalam menyelesaikan hambatan-hambatan. Ada beberapa kasus di mana kurangnya power membuat pemerintahan yang berkuasa terhambat kerjanya.

Kita masih ingat betapa sengitnya filibuster (pidato-pidato berkepanjangan yang sengaja dibuat demi mengulur waktu dan membuat kebuntuan negosiasi) dalam Kongres di AS mengenai usulan Presiden Obama untuk memperbarui sistem asuransi kesehatan. Karena pihak pro-kontra sama kuat, pihak kontra tega mengunci langkah pihak pro sampai-sampai pemerintah federal AS harus mati fungsi selama 16 hari karena anggaran pemerintah federal tidak disetujui mayoritas anggota parlemen. Sistem asuransi kesehatan Obama pada akhirnya dapat berjalan setelah lobi dan transaksi politik kebijakan terjadi di antara kedua pihak.

Contoh lain adalah Krisis Ekuador 2010 di mana terjadi percobaan kudeta terhadap Presiden Rafael Correa yang dilakukan kepolisian dan oposisi di parlemen akibat kebijakan Correa untuk mengurangi anggaran kepolisian. Pihak kepolisian mengurung Presiden Correa di dalam sebuah rumah sakit, tetapi kemudian berhasil dibebaskan ketika puluhan ribu pendukungnya mendatangi rumah sakit dan gedung parlemen.

Contoh-contoh tersebut memberi pelajaran bahwa pilihan politik berbeda yang diambil untuk memutus kebiasaan politik masa lalu yang dianggap merugikan mensyaratkan pembangunan sumber-sumber power alternatif di luar kebiasaan di masa lalu. Dalam konteks pemerintahan Jokowi-JK, saya memandang bahwa sumber kekuasaan alternatif itu sejatinya tidak berada di kekuatan politik formal di parlemen, tetapi di antara kekuatan politik relawan yang telah memilih mereka.

Pendidikan politik dan sosialisasi program-program kerja kepada masyarakat dengan energi yang sama seperti dulu saat kampanye adalah usaha politik yang perlu dilakukan agar kebijakan mereka dapat dikawal. Apabila pemerintahan Jokowi-JK lalai dalam membangun kesadaran politik ini di tengah masyarakat, cobaan yang akan dijumpai di parlemen akan terasa semakin berat dan memiliki ongkos politik yang mahal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar