Transisi
Kabinet dan Politik
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 06 Agustus 2014
Kita perlu mengapresiasi langkah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) yang mengajukan diri bekerjasama dengan presiden terpilih
Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) untuk membuat proses transisi
kekuasaan menjadi lebih lancar.
Walaupun proses transisi tersebut masih harus menunggu hasil
sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang sedang menyidang gugatan pasangan
capres- cawapres nomor urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, penyiapan pemerintahan
yang baru dapat menjadi tradisi politik yang dipertahankan di masa depan.
Kita belum tahu apakah transisi ini memiliki makna untuk melanjutkan program-program
kerja yang telah dilakukan pemerintahan SBY.
Atau sebaliknya justru segera mempersiapkan langkah-langkah
kebijakan yang memutus kesinambungan dengan kebijakan di masa lalu. Kesemuanya
akan tergantung dari Tim Transisi yang telah dibentuk minggu ini. Tugas dari
Tim Transisi salah satunya adalah merancang kabinet dan kebijakan sesuai
dengan visi dan misi yang dikemukakan Jokowi-JK selama masa kampanye.
Mengenai pembentukan kabinet, tim ini bertugas memberikan masukan kepada
presiden terpilih tentang calon-calon yang dianggap kompeten. Istilah mereka:
menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat di mana janji presiden
terpilih adalah mendahulukan profesionalisme ketimbang kepentingan politik
partai-partai.
Mengenai pemilihan wujud kabinet, beberapa analis mengatakan
atau menduga bahwa Jokowi akan membentuk kabinet yang langsing. Analisis
tersebut merujuk pada pernyataan Jokowi yang telah menegaskan orientasi
kabinetnya sebagai kabinet kerja dan bukan kabinet politik.
Iainginmenegaskanprinsip profesionalisme bagi para pejabat untuk menduduki
jabatan menteri. Selain untuk mendukung program kerjanya, Jokowi dan partai
pendukungnya melihat dalam pemerintahan SBY saat ini, politik bagi-bagi kursi
menteri di antara partai untuk memperkuat pemerintahan presidensial ternyata
tidak berhasil.
Sebaliknya praktik itu justru merugikan pemerintahan SBY apabila
kita melihat turunnya popularitas SBY menjelang berakhirnya masa jabatan
sebagai ukuran. Selain menjadikan rendahnya popularitas SBY sebagai figur,
Partai Demokrat juga ditinggalkan pemilihnya. Pertanyaannya kemudian apakah
memang ada hubungan langsung antara memudarnya kekuasaan Partai Demokrat dan
SBY sebagai bukti gagalnya politik bagi-bagi kursi kabinet? Apakah kegagalan
SBY dan Partai Demokrat justru karena mereka tidak mampu mengelola konflik
dalam koalisi partai yang dibentuknya?
Atau apakah karena memang secara internal SBY dan Partai
Demokrat tidak melakukan pendidikan politik yang kuat sehingga kekalahan
mereka saat ini mengonfirmasi bahwa kemenangan mereka di tahun 2009 lebih
karena dinamika sentimen politik dan bukan karena kuatnya ideologi
pendukungnya? Pertanyaan itu penting kita ajukan agar pemerintahan Jokowi-JK
di masa depan juga perlu melihat dan menganalisis dengan hati-hati kesimpulan
yang dibuat saat ini sebelum keputusan politik yang besar dan penting
diambil.
Pemerintah di mana pun tentu akan menjaga dan perlu merumuskan
formula yang cocok antara memenuhi tujuan-tujuan rasional pembangunan
kesejahteraan dan mengelola tekanan-tekanan politik yang menghampiri mereka
di masa depan. Kita dapat ambil misalnya tindakan Presiden SBY yang
menciptakan posisi wakil menteri di departemen-departemen. Presiden SBY
melalui Kabinet Indonesia Bersatu jilid 1 dan 2 mengutamakan rekrutmen
seluas-luasnya dari berbagai partai untuk menjadi menteri.
Untuk menekan konflik antara tujuan politik sang menteri dan
profesionalitas kerja lembaga, jabatan posisi wakil menteri diciptakan agar
terjadi keseimbangan antara kemungkinan politik transaksi yang terjadi di
lembaga karena kedudukan sang menteri dengan politik teknokrat
pembangunannya. Pilihan politik untuk mengedepankan kabinet yang langsing dan
mengurangi politik transaksional dalam pemerintahan Jokowi di masa datang
tentu tidak akan bergerak secara linear dan nihil konsekuensi.
Kabinet yang langsing akan diuji dalam lima tahun ke depan dan
dalam setiap kebijakan yang diambilnya baik terkait dengan politik APBN,
legislasi perundang-undangan maupun kebijakan lain. Dalam pengalaman berbagai
negara, pembentukan kabinet adalah saat-saat paling menentukan dan
mendebarkan pascapemilu. Pertama-tama bukan karena siapa saja yang diangkat
sebagai menteri, tetapi dari sana dapat terbaca strategi dan potensi
tantangan bagi kepala pemerintahan terpilih. Untuk menghadapi cobaan-cobaan
tersebut, pemerintahan Jokowi tentu harus memiliki sumber-sumber power.
Kabinet yang didukung suara mayoritas di lembaga legislatif
berpotensi lebih mulus dalam meraih dukungan di parlemen. Suara mayoritas di
parlemen adalah sumber power yang
dibutuhkan untuk mengamankan kebijakannya. Sebaliknya, kabinet yang kurang
mendapatkan dukungan politik di parlemen (entah karena garis preferensi
kebijakan yang berbeda atau karena loyalitas pada partai yang berbeda) tentu
akan kekurangan power dalam
menyelesaikan hambatan-hambatan. Ada beberapa kasus di mana kurangnya power membuat pemerintahan yang
berkuasa terhambat kerjanya.
Kita masih ingat betapa sengitnya filibuster (pidato-pidato berkepanjangan yang sengaja dibuat demi
mengulur waktu dan membuat kebuntuan negosiasi) dalam Kongres di AS mengenai
usulan Presiden Obama untuk memperbarui sistem asuransi kesehatan. Karena
pihak pro-kontra sama kuat, pihak kontra tega mengunci langkah pihak pro
sampai-sampai pemerintah federal AS harus mati fungsi selama 16 hari karena
anggaran pemerintah federal tidak disetujui mayoritas anggota parlemen.
Sistem asuransi kesehatan Obama pada akhirnya dapat berjalan setelah lobi dan
transaksi politik kebijakan terjadi di antara kedua pihak.
Contoh lain adalah Krisis Ekuador 2010 di mana terjadi percobaan
kudeta terhadap Presiden Rafael Correa yang dilakukan kepolisian dan oposisi
di parlemen akibat kebijakan Correa untuk mengurangi anggaran kepolisian.
Pihak kepolisian mengurung Presiden Correa di dalam sebuah rumah sakit,
tetapi kemudian berhasil dibebaskan ketika puluhan ribu pendukungnya
mendatangi rumah sakit dan gedung parlemen.
Contoh-contoh tersebut memberi pelajaran bahwa pilihan politik
berbeda yang diambil untuk memutus kebiasaan politik masa lalu yang dianggap
merugikan mensyaratkan pembangunan sumber-sumber power alternatif di luar kebiasaan di masa lalu. Dalam konteks
pemerintahan Jokowi-JK, saya memandang bahwa sumber kekuasaan alternatif itu
sejatinya tidak berada di kekuatan politik formal di parlemen, tetapi di
antara kekuatan politik relawan yang telah memilih mereka.
Pendidikan politik dan sosialisasi program-program kerja kepada
masyarakat dengan energi yang sama seperti dulu saat kampanye adalah usaha
politik yang perlu dilakukan agar kebijakan mereka dapat dikawal. Apabila
pemerintahan Jokowi-JK lalai dalam membangun kesadaran politik ini di tengah
masyarakat, cobaan yang akan dijumpai di parlemen akan terasa semakin berat
dan memiliki ongkos politik yang mahal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar