Ruang
Kosong Pemekaran
Irfan Ridwan Maksum ; Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI,
Anggota Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) RI
|
KORAN
SINDO, 06 Agustus 2014
Sekretariat Wakil Presiden RI belum lama ini mendiskusikan
persoalan pemekaran terkait kajian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, bersamaan dengan keinginan DPR RI meng-endorse 65 daerah baru plus
22 dari DPD RI.
Pemerintah, LSM, dan anggota DPD tampak galau dan memiliki visi
yang sama terkait hal tersebut yakni ingin membendung animo politik yang
berlebihan agar dapat diarahkan pada proporsi yang tepat. Namun, diskusi
tidak berhasil menemukan cara membendung yang tepat dengan tidak total
mengharamkan pemekaran. Faktanya, pemekaran mengandung sisi negatif dan
positif meski dalam diskusi tersebut diungkap lebih banyak sisi negatifnya.
Ini perlu mendapat perhatian serius dari kita.
Nirparadigma
Pemekaran daerah otonom baru sejak masa reformasi diatur dalam
Undang-Undang (UU) Pemerintahan Daerah dan diatur lebih jauh dalam peraturan
pemerintah. Peraturan pemerintah yang berlaku sekarang adalah PP 78/2007
sebagai pengganti PP 129/2000. Baik PP lama maupun PP baru, bahkan UU-nya,
hampir tidak memiliki paradigma terkait pemekaran. Terdapat ruang kosong
dalam kebijakan pemekaran saat ini. Dua produk peraturan perundangan, kalau
boleh disebut paradigmatik, mengandung unsur teknokratis prosedural semata.
Asumsi para penyusunnya tampak akan berjalan dengan mulus dan
baik jika sudah diatur dalam peraturan perundangan. Baik penyusun UU maupun
PP tidak melihat bahwa UU dan PP tersebut berlaku bukan dalam ruang hampa.
Dua PP berlaku dalam ruang politik, sosial, budaya, dan ekonomi tertentu.
Hasil kajian terhadap calon daerah otonom baru yang baik, terukur, dan valid
pun akan mendapat tekanan yang kompleks. Apalagi jika kajian pemekaran tidak
berlandaskan pada kajian yang objektif, rasional dan logis, serta
terburu-buru, niscaya akan mendapat hantaman keras dari sana-sini.
Kita tahu bahwa animo pemekaran daerah otonom baru sangat
tinggi. Beberapa kasus dari diskusi tersebut tertangkap bahwa peraturan amat
menjadi formalistik, bahkan dikhawatirkan jika tidak jelas pengaturannya,
kelompok pengusung pemekaran dapat meminta tanpa kajian terlebih dahulu.
Secara instan daerahnya dimekarkan dengan pertimbangan animo politik lokal
yang besar. Ini akibat paradigma dalam UU dan PP yang miskin keberpihakan di
tengah nilai demokrasi menguat dan tekanan politik yang besar. Celakanya,
politik yang muncul adalah politik sesaat, sentrifugalistik, nepotisme, dan
sektarian.
Paradigma Progresif
Pemekaran daerah otonom yang diatur dalam produk hukum yang
miskin paradigma membawa mismanagement dalam praktik. Jika kita ingin mengisi
paradigma apa yang seharusnya dikuatkan dalam peraturan kebijakan terkait
pemekaran, dapat ditengok perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam mengelola
soal tersebut. Menarik dicatat soal ini sejak masa Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda hanya mengadaptasikan kelembagaan yang
berkembang di bumi Nusantara untuk mengelola kebijakan otonomi daerahnya
sehingga lahir perjanjian jangka panjang dan jangka pendek dengan kalangan
kerajaan Nusantara. Ketika makin kuat, adaptasi dilanjutkan dengan pembedaan
perlakuan Jawa-luar Jawa mengenai susunan pemerintahannya. Jumlah daerah
otonom pun tidak dibuat baru, melainkan hanya mengadaptasi satuan-satuan
masyarakat yang sudah ada.
Paradigma lanjutan dalam masa Hindia Belanda adalah progresif
dengan memperhatikan nilai pertumbuhan. Dari nilai pertumbuhan, kita dapat
memetakan perkembangan masyarakat dari masyarakat perdesaan ke masyarakat
perkotaan. Perkembangan ini berpengaruh pada pola kelembagaan pemerintahan
daerahnya. Juga untuk kepentingan keadilan, masyarakat perkotaan harus
dibedakan dengan masyarakat perdesaan.
Di kota dibentuk gementee dengan “gementee-raad “-nya. Kotakota
tersebut tumbuh dari ibu kota kabupaten. Sebelum ada provinsi terdapat
keresidenan. Kota-kota dapat berkembang sebagai ibu kota keresidenan pula.
Jadi Belanda menunggu pertumbuhan wilayah untuk soal pemekaran. Untuk menjadi
sebuah kota, diketahui terdapat persyaratan yang ketat pada masa itu mengenai
kualitas pelayanan publiknya, kesejahteraan masyarakatnya, dan
infrastrukturnya. Jadi wilayah perkotaan dibandingkan dengan perdesaan dapat
dinilai dari sisi pertumbuhannya.
Ketika keresidenan ditempatkan sebagai susunan antara dan muncul
provinsi pun demikian. Ibu kota provinsi dapat tumbuh menjadi kota otonom
dengan tidak otomatis. Harus melalui proses pengkajian yang serius. Ibu
kota-ibu kota tersebut dapat saja berfungsi ganda, sebagai ibu kota kabupaten
sekaligus ibu kota provinsi. Jika dimekarkan sebagai kota otonom, berfungsi
ganda sebagai kota dan ibu kota provinsi. Suasana seperti ini berlangsung
terus-menerus meskipun berganti rezim, termasuk dalam suasana kemerdekaan
hingga masa rezim Soeharto.
Perbedaannya pada soal susunan pemerintahan kota yang
bervariasi, pernah terdapat kota kecil, kota madya, dan kota besar. Masa
Soeharto dibuat susunan kota administratif dan kota madya sebagai turunan
asas dekonsentrasi, di mana jika otonom terdapat embel-embel daerah tingkat
(dati) II. Inti dari potret sejarah tersebut adalah bahwa amat jarang
dilakukan pemekaran yang dilakukan di luar perkembangan kota. Kabupaten
muncul karena kepentingan nasional yang dapat didorong keadaan lokal seperti
geografi dan faktor sejarah, provinsi pun demikian.
Paradigma pertumbuhan sangat dipegang kuat sejak lama dalam
manajemen pemekaran ini meski peraturan kebijakannya tidak eksplisit. Itulah
kenapa di zaman Pak Harto pemekaran hanya untuk kota dan kota otonom
berkembang setelah melewati kota administratif terlebih dahulu. Pemekaran
kabupaten tidak pernah dilakukan, termasuk provinsi kecuali dimasukkan Timor
Timur saat itu. Di masa Bung Karno pun demikian, hanya terjadi ketika
dimasukkan Irian Barat. Pemekaran provinsi sekali lagi lebih besar atas
aspirasi nasional di masa-masa tersebut.
Masa sekarang isi kebijakan mengenai pemekaran tidak berpihak
pada nilai pertumbuhan sama sekali. Jika tim revisi UU dan PP terkait
pemekaran masih mengangkat perbaikan sebatas nilai teknokratis dan
legal-approach, dapat diprediksi tekanan politik lokal tidak dapat dibendung
terlebih jika bertemu tekanan politik nasional yang amat miskin orientasi
kualitas pelayanan publiknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar