Kamis, 07 Agustus 2014

Ruang Kosong Pemekaran

Ruang Kosong Pemekaran

Irfan Ridwan Maksum  ;   Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI,
 Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) RI
KORAN SINDO, 06 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Sekretariat Wakil Presiden RI belum lama ini mendiskusikan persoalan pemekaran terkait kajian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, bersamaan dengan keinginan DPR RI meng-endorse 65 daerah baru plus 22 dari DPD RI.

Pemerintah, LSM, dan anggota DPD tampak galau dan memiliki visi yang sama terkait hal tersebut yakni ingin membendung animo politik yang berlebihan agar dapat diarahkan pada proporsi yang tepat. Namun, diskusi tidak berhasil menemukan cara membendung yang tepat dengan tidak total mengharamkan pemekaran. Faktanya, pemekaran mengandung sisi negatif dan positif meski dalam diskusi tersebut diungkap lebih banyak sisi negatifnya. Ini perlu mendapat perhatian serius dari kita.

Nirparadigma

Pemekaran daerah otonom baru sejak masa reformasi diatur dalam Undang-Undang (UU) Pemerintahan Daerah dan diatur lebih jauh dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang berlaku sekarang adalah PP 78/2007 sebagai pengganti PP 129/2000. Baik PP lama maupun PP baru, bahkan UU-nya, hampir tidak memiliki paradigma terkait pemekaran. Terdapat ruang kosong dalam kebijakan pemekaran saat ini. Dua produk peraturan perundangan, kalau boleh disebut paradigmatik, mengandung unsur teknokratis prosedural semata.

Asumsi para penyusunnya tampak akan berjalan dengan mulus dan baik jika sudah diatur dalam peraturan perundangan. Baik penyusun UU maupun PP tidak melihat bahwa UU dan PP tersebut berlaku bukan dalam ruang hampa. Dua PP berlaku dalam ruang politik, sosial, budaya, dan ekonomi tertentu. Hasil kajian terhadap calon daerah otonom baru yang baik, terukur, dan valid pun akan mendapat tekanan yang kompleks. Apalagi jika kajian pemekaran tidak berlandaskan pada kajian yang objektif, rasional dan logis, serta terburu-buru, niscaya akan mendapat hantaman keras dari sana-sini.

Kita tahu bahwa animo pemekaran daerah otonom baru sangat tinggi. Beberapa kasus dari diskusi tersebut tertangkap bahwa peraturan amat menjadi formalistik, bahkan dikhawatirkan jika tidak jelas pengaturannya, kelompok pengusung pemekaran dapat meminta tanpa kajian terlebih dahulu. Secara instan daerahnya dimekarkan dengan pertimbangan animo politik lokal yang besar. Ini akibat paradigma dalam UU dan PP yang miskin keberpihakan di tengah nilai demokrasi menguat dan tekanan politik yang besar. Celakanya, politik yang muncul adalah politik sesaat, sentrifugalistik, nepotisme, dan sektarian.

Paradigma Progresif

Pemekaran daerah otonom yang diatur dalam produk hukum yang miskin paradigma membawa mismanagement dalam praktik. Jika kita ingin mengisi paradigma apa yang seharusnya dikuatkan dalam peraturan kebijakan terkait pemekaran, dapat ditengok perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam mengelola soal tersebut. Menarik dicatat soal ini sejak masa Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda hanya mengadaptasikan kelembagaan yang berkembang di bumi Nusantara untuk mengelola kebijakan otonomi daerahnya sehingga lahir perjanjian jangka panjang dan jangka pendek dengan kalangan kerajaan Nusantara. Ketika makin kuat, adaptasi dilanjutkan dengan pembedaan perlakuan Jawa-luar Jawa mengenai susunan pemerintahannya. Jumlah daerah otonom pun tidak dibuat baru, melainkan hanya mengadaptasi satuan-satuan masyarakat yang sudah ada.

Paradigma lanjutan dalam masa Hindia Belanda adalah progresif dengan memperhatikan nilai pertumbuhan. Dari nilai pertumbuhan, kita dapat memetakan perkembangan masyarakat dari masyarakat perdesaan ke masyarakat perkotaan. Perkembangan ini berpengaruh pada pola kelembagaan pemerintahan daerahnya. Juga untuk kepentingan keadilan, masyarakat perkotaan harus dibedakan dengan masyarakat perdesaan.

Di kota dibentuk gementee dengan “gementee-raad “-nya. Kotakota tersebut tumbuh dari ibu kota kabupaten. Sebelum ada provinsi terdapat keresidenan. Kota-kota dapat berkembang sebagai ibu kota keresidenan pula. Jadi Belanda menunggu pertumbuhan wilayah untuk soal pemekaran. Untuk menjadi sebuah kota, diketahui terdapat persyaratan yang ketat pada masa itu mengenai kualitas pelayanan publiknya, kesejahteraan masyarakatnya, dan infrastrukturnya. Jadi wilayah perkotaan dibandingkan dengan perdesaan dapat dinilai dari sisi pertumbuhannya.

Ketika keresidenan ditempatkan sebagai susunan antara dan muncul provinsi pun demikian. Ibu kota provinsi dapat tumbuh menjadi kota otonom dengan tidak otomatis. Harus melalui proses pengkajian yang serius. Ibu kota-ibu kota tersebut dapat saja berfungsi ganda, sebagai ibu kota kabupaten sekaligus ibu kota provinsi. Jika dimekarkan sebagai kota otonom, berfungsi ganda sebagai kota dan ibu kota provinsi. Suasana seperti ini berlangsung terus-menerus meskipun berganti rezim, termasuk dalam suasana kemerdekaan hingga masa rezim Soeharto.

Perbedaannya pada soal susunan pemerintahan kota yang bervariasi, pernah terdapat kota kecil, kota madya, dan kota besar. Masa Soeharto dibuat susunan kota administratif dan kota madya sebagai turunan asas dekonsentrasi, di mana jika otonom terdapat embel-embel daerah tingkat (dati) II. Inti dari potret sejarah tersebut adalah bahwa amat jarang dilakukan pemekaran yang dilakukan di luar perkembangan kota. Kabupaten muncul karena kepentingan nasional yang dapat didorong keadaan lokal seperti geografi dan faktor sejarah, provinsi pun demikian.

Paradigma pertumbuhan sangat dipegang kuat sejak lama dalam manajemen pemekaran ini meski peraturan kebijakannya tidak eksplisit. Itulah kenapa di zaman Pak Harto pemekaran hanya untuk kota dan kota otonom berkembang setelah melewati kota administratif terlebih dahulu. Pemekaran kabupaten tidak pernah dilakukan, termasuk provinsi kecuali dimasukkan Timor Timur saat itu. Di masa Bung Karno pun demikian, hanya terjadi ketika dimasukkan Irian Barat. Pemekaran provinsi sekali lagi lebih besar atas aspirasi nasional di masa-masa tersebut.

Masa sekarang isi kebijakan mengenai pemekaran tidak berpihak pada nilai pertumbuhan sama sekali. Jika tim revisi UU dan PP terkait pemekaran masih mengangkat perbaikan sebatas nilai teknokratis dan legal-approach, dapat diprediksi tekanan politik lokal tidak dapat dibendung terlebih jika bertemu tekanan politik nasional yang amat miskin orientasi kualitas pelayanan publiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar