Kamis, 14 Agustus 2014

Misteri Kampanye Hitam

                                          Misteri Kampanye Hitam

Pandu Rachmatika  ;   Penulis lulus dari jurusan Asian Studies Chulalongkorn University Thailand dan menempuh pendidikan master di Graduate School of International Studies Seoul National University-Korea Selatan, Sekarang tinggal di Seoul untuk menempuh pendidikan di Sogang University
SINAR HARAPAN, 13 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Selama Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, sering kita mendengar dan melihat yang disebut media dan pengamat sebagai black campaign atau kampanye hitam. Hampir seluruh media konvensional maupun sosial dipenuhi gaya kampanye tersebut sebagai bentuk ikhtiar pemenangan masing-masing pasangan kandidat. Sebagai contoh, kasus tabloid Obor Rakyat yang disebarkan di beberapa pesantren di Jawa Timur.

Di negara kita, kampanye hitam diartikan sebagai teknik kampanye yang didasarkan sumber yang simpang-siur, serta dimaksudkan guna mempermalukan kandidat lain dan menjatuhkan citranya di mata pemilih. Dengan intensnya frekuensi black campaign dalam pilpres kali ini, bisa diasumsikan bahwa gaya kampanye semacam ini–setidaknya di benak para tim sukses—berperan sangat strategis untuk memenangkan sebuah kontestasi politik.

Namun, apakah anggapan mereka itu tepat? Apabila menakar dari sejarah dan penelitian para ahli, sejauh mana black campaign mampu memenangkan pihak yang melancarkannya?

“Black Propaganda”

Dalam bidang keilmuan hubungan internasional, istilah black campaign pertama kali diperkenalkan saat masa Perang Dunia II. Ini untuk menggambarkan strategi propaganda yang dilancarkan pihak-pihak yang terlibat peperangan, utamanya NAZI di bawah pimpinan Adolf Hitler. Mereka bahkan memiliki kementerian khusus yang mengurusi upaya propaganda yang dipimpin menteri kesayangan Hitler, Joseph Goebbels.

Propaganda NAZI yang kental mengandung rasis dan kebencian mengakibatkan para ilmuwan politik saat itu menambahkan satu cabang baru dalam ilmu propaganda, di samping white dan grey propaganda, yaitu black propaganda (Dobb, 1950). Disebut black (hitam) karena sifatnya yang sembunyi-sembunyi; menyinggung isu-isu sensitif; serta baik pelaku, sumber, bahkan maksud dan tujuan sesungguhnya tertutup dalam kegelapan.

Seiring berjalannya waktu, black propaganda berevolusi. Ia tidak hanya digunakan dalam konteks hubungan antarnegara, tapi juga untuk kepentingan pemenangan pemilu di negara-negara penganut demokrasi.

Fridkin dan Kenney (2004) menyebutkan, ada dua teknik utama yang sering digunakan untuk meluncurkan black propaganda (campaign), yaitu teknik menyerang (attacking tactics) dan teknik kontras (contrasting tactics). Teknik menyerang paling sering digunakan karena dipercaya paling efektif dalam strategi black campaign.

Teknik ini sepenuhnya berisi konten negatif, bersifat mendiskreditkan lawan, dan mengeksploitasi rasa takut pemilih akan risiko-risiko yang akan terjadi bila memilih pihak lawan politiknya. Kasus terbaru tabloid Obor Rakyat bisa masuk kategori ini. Teknik menyerangnya bersifat single content, hanya mengandung informasi negatif searah menuju pihak lawan.

Sementara itu, teknik kontras bersifat multicontent, berisi bemacam informasi tentang berbagai aspek untuk kemudian dielaborasikan (diposisikan untuk menguntungkan dirinya) dan dibandingkan dengan informasi milik lawan. Sering pula isinya dikarang sendiri oleh sang pembuat kampanye sehingga akurasi dan kredibilitasnya dipertanyakan

Efektivitas “Black Campaign”

Para peneliti politik kebanyakan berargumen, pasca-Perang dunia II efektivitas black campaign untuk mencapai tujuan tertentu (dalam hal ini memenangkan pemilu) menurun drastis, utamanya di alam demokrasi yang menjamin keterbukaan akses informasi.

Beberapa penelitian bahkan menyebutkan, sebuah pesta demokrasi yang sarat muatan kampanye hitam berisiko tinggi meningkatkan angka undecided voters (golput) dan mengakibatkan radikalisasi politik (Garramone et.al, 1990).

Ini terjadi saat pemilih sadar, pihak-pihak yang sedang berkompetisi terbukti melancarkan kampanye yang bermuatan fitnah dan berita yang menjemukan. Akhirnya, mereka memutuskan tidak memberikan suaranya kepada siapa pun.

Meskipun demikian, argumen menarik dilontarkan Profesor James Angelini dari Universitas Delaware. Ia mengatakan, black campaign berperan sentral dalam proses kampanye politik. Ini didasarkan kepada hasil penelitiannya yang menunjukkan, secara fisik black campaign berimbas negatif ke para pemilih karena mereka cenderung malas melihat dan mengabaikan berita.

Namun secara mental (pikiran), mereka lebih mengingat informasi yang berkenaan dengan black campaign daripada yang positif atau white campaign. Hal inilah yang mengakibatkan masyarakat sering hanyut dalam laut perdebatan kampanye hitam (utamanya di media sosial).

Di sisi lain, para politikus berkepentingan menancapkan citra dan pesan tertentu di benak pemilih dengan melancarkan black campaign secara masif dan intensif.

Perlukah “Black Campaign”?

Dalam era keterbukaan informasi, selain terbukti menurun efektivitasnya, black campaign diyakini berpotensi backlash atau senjata makan tuan ke pihak yang melancarkannya. Ini bahkan bisa fatal akibatnya apabila pemilih yakin dan mampu membuktikan kandungan informasi dalam kampanye hitam tersebut sepenuhnya bohong dan tidak berdasar.

Hal ini memantik kekhawatiran akan sumber kampanye hitam karena bisa saja diciptakan bukan untuk menyerang lawan, melainkan menyerang diri sendiri supaya terjadilah efek backlash. Namun terlepas dari timbul-tidaknya efek tersebut, pihak yang melancarkan black campaign jelas menanggung risiko lebih besar karena berhasil-tidaknya taktik tersebut bergantung nalar kecerdasan masyarakat, serta tentu saja kejelian media dalam memberitakan sebuah isu penting.

Dalam hal ini, pihak Prabowo-Hatta harus lebih berhati-hati memainkan pedang tajam bemata dua ini. Menurut survei terakhir dari beberapa lembaga, seperti Politicawave, pihak mere kalah (terlepas dari tim suksesnya atau relawan) karena lebih gencar melancarkan black campaign, yaitu 94 persen berbandingkan sekitar 13 persen yang dilakukan kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ribuan tahun yang lalu, sang bijak Konfucius pernah berpesan, “Never give a sword to a man that cannot dance.”  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar