Misteri
Kampanye Hitam
Pandu Rachmatika ;
Penulis lulus dari jurusan
Asian Studies Chulalongkorn University Thailand dan menempuh pendidikan
master di Graduate School of International Studies Seoul National
University-Korea Selatan, Sekarang tinggal di Seoul untuk menempuh pendidikan
di Sogang University
|
SINAR
HARAPAN, 13 Agustus 2014
Selama Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, sering kita mendengar
dan melihat yang disebut media dan pengamat sebagai black campaign atau kampanye hitam. Hampir seluruh media
konvensional maupun sosial dipenuhi gaya kampanye tersebut sebagai bentuk
ikhtiar pemenangan masing-masing pasangan kandidat. Sebagai contoh, kasus
tabloid Obor Rakyat yang disebarkan
di beberapa pesantren di Jawa Timur.
Di negara kita, kampanye hitam diartikan sebagai teknik kampanye
yang didasarkan sumber yang simpang-siur, serta dimaksudkan guna
mempermalukan kandidat lain dan menjatuhkan citranya di mata pemilih. Dengan
intensnya frekuensi black campaign
dalam pilpres kali ini, bisa diasumsikan bahwa gaya kampanye semacam
ini–setidaknya di benak para tim sukses—berperan sangat strategis untuk
memenangkan sebuah kontestasi politik.
Namun, apakah anggapan mereka itu tepat? Apabila menakar dari
sejarah dan penelitian para ahli, sejauh mana black campaign mampu memenangkan pihak yang melancarkannya?
“Black Propaganda”
Dalam bidang keilmuan hubungan internasional, istilah black campaign pertama kali
diperkenalkan saat masa Perang Dunia II. Ini untuk menggambarkan strategi
propaganda yang dilancarkan pihak-pihak yang terlibat peperangan, utamanya
NAZI di bawah pimpinan Adolf Hitler. Mereka bahkan memiliki kementerian
khusus yang mengurusi upaya propaganda yang dipimpin menteri kesayangan
Hitler, Joseph Goebbels.
Propaganda NAZI yang kental mengandung rasis dan kebencian
mengakibatkan para ilmuwan politik saat itu menambahkan satu cabang baru
dalam ilmu propaganda, di samping white
dan grey propaganda, yaitu black propaganda (Dobb, 1950). Disebut
black (hitam) karena sifatnya yang
sembunyi-sembunyi; menyinggung isu-isu sensitif; serta baik pelaku, sumber,
bahkan maksud dan tujuan sesungguhnya tertutup dalam kegelapan.
Seiring berjalannya waktu, black propaganda berevolusi. Ia tidak
hanya digunakan dalam konteks hubungan antarnegara, tapi juga untuk
kepentingan pemenangan pemilu di negara-negara penganut demokrasi.
Fridkin dan Kenney (2004) menyebutkan, ada dua teknik utama yang
sering digunakan untuk meluncurkan black propaganda (campaign), yaitu teknik menyerang (attacking tactics) dan teknik kontras (contrasting tactics). Teknik menyerang paling sering digunakan
karena dipercaya paling efektif dalam strategi black campaign.
Teknik ini sepenuhnya berisi konten negatif, bersifat
mendiskreditkan lawan, dan mengeksploitasi rasa takut pemilih akan
risiko-risiko yang akan terjadi bila memilih pihak lawan politiknya. Kasus
terbaru tabloid Obor Rakyat bisa masuk kategori ini. Teknik menyerangnya
bersifat single content, hanya mengandung informasi negatif searah menuju
pihak lawan.
Sementara itu, teknik kontras bersifat multicontent, berisi bemacam informasi tentang berbagai aspek
untuk kemudian dielaborasikan (diposisikan untuk menguntungkan dirinya) dan
dibandingkan dengan informasi milik lawan. Sering pula isinya dikarang
sendiri oleh sang pembuat kampanye sehingga akurasi dan kredibilitasnya
dipertanyakan
Efektivitas “Black
Campaign”
Para peneliti politik kebanyakan berargumen, pasca-Perang dunia
II efektivitas black campaign untuk mencapai tujuan tertentu (dalam hal ini
memenangkan pemilu) menurun drastis, utamanya di alam demokrasi yang menjamin
keterbukaan akses informasi.
Beberapa penelitian bahkan menyebutkan, sebuah pesta demokrasi
yang sarat muatan kampanye hitam berisiko tinggi meningkatkan angka undecided
voters (golput) dan mengakibatkan radikalisasi politik (Garramone et.al, 1990).
Ini terjadi saat pemilih sadar, pihak-pihak yang sedang
berkompetisi terbukti melancarkan kampanye yang bermuatan fitnah dan berita
yang menjemukan. Akhirnya, mereka memutuskan tidak memberikan suaranya kepada
siapa pun.
Meskipun demikian, argumen menarik dilontarkan Profesor James
Angelini dari Universitas Delaware. Ia mengatakan, black campaign berperan
sentral dalam proses kampanye politik. Ini didasarkan kepada hasil
penelitiannya yang menunjukkan, secara fisik black campaign berimbas negatif
ke para pemilih karena mereka cenderung malas melihat dan mengabaikan berita.
Namun secara mental (pikiran), mereka lebih mengingat informasi
yang berkenaan dengan black campaign daripada yang positif atau white
campaign. Hal inilah yang mengakibatkan masyarakat sering hanyut dalam laut
perdebatan kampanye hitam (utamanya di media sosial).
Di sisi lain, para politikus berkepentingan menancapkan citra
dan pesan tertentu di benak pemilih dengan melancarkan black campaign secara
masif dan intensif.
Perlukah “Black Campaign”?
Dalam era keterbukaan informasi, selain terbukti menurun
efektivitasnya, black campaign diyakini berpotensi backlash atau senjata
makan tuan ke pihak yang melancarkannya. Ini bahkan bisa fatal akibatnya
apabila pemilih yakin dan mampu membuktikan kandungan informasi dalam kampanye
hitam tersebut sepenuhnya bohong dan tidak berdasar.
Hal ini memantik kekhawatiran akan sumber kampanye hitam karena
bisa saja diciptakan bukan untuk menyerang lawan, melainkan menyerang diri
sendiri supaya terjadilah efek backlash. Namun terlepas dari timbul-tidaknya
efek tersebut, pihak yang melancarkan black campaign jelas menanggung risiko
lebih besar karena berhasil-tidaknya taktik tersebut bergantung nalar
kecerdasan masyarakat, serta tentu saja kejelian media dalam memberitakan
sebuah isu penting.
Dalam hal ini, pihak Prabowo-Hatta harus lebih berhati-hati
memainkan pedang tajam bemata dua ini. Menurut survei terakhir dari beberapa
lembaga, seperti Politicawave, pihak mere kalah (terlepas dari tim suksesnya
atau relawan) karena lebih gencar melancarkan black campaign, yaitu 94 persen
berbandingkan sekitar 13 persen yang dilakukan kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Ribuan tahun yang lalu, sang bijak Konfucius pernah berpesan, “Never give a sword to a man that cannot
dance.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar