Rabu, 08 Juli 2015

Don Quixote

Don Quixote

   Goenawan Mohamad  ;  Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
TEMPO.CO, 06 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebuah olok-olok yang panjang bisa jenaka dan kemudian jadi serius. Olok-olok paling panjang dalam sejarah ditulis Miguel de Cervantes di Spanyol abad ke-17: tentu saja Don Quixote, novel setebal lebih 1000 halaman.

Menertawakan Don Quixote telah jadi kelaziman berabad-abad. Tokoh ini seorang hidalgo, bangsawan kecil, yang jadi majenun karena terlampau banyak membaca cerita ksatria zaman lama. Ia begitu terpengaruh hingga ia ingin berlaku seperti tokoh-tokohnya. Kita kenal adegan lucu yang termashur ini: Don Quixote menaiki kuda kurus yang ia beri nama Rocinante, memakai panci sebagai tutup kepala, dan menyerang kincir angin karena ia yakin itulah gergasi.
Cervantes sadar kisahnya kocak. Tertawa pertama kita temukan di novel itu sendiri di bab ke-9.

Di sana mula-mula disebutkan bagaimana sang pengarang tak bisa menyelesaikan ceritanya: ia tak bisa menemukan bahan tertulis tentang petualangan Don Quixote. Untunglah pada suatu hari ia berada di alcaná, bagian pasar tua orang Yahudi di kota Toledo. Ia menemukan seorang anak yang menjual berkas kertas-kertas lama. Tertarik, Cervantes membelinya. Lembar-lembar itu bertuliskan Arab. Penuh rasa ingin tahu apa gerangan isinnya, ia mencari seorang morisco untuk menerjemahkannya. Baru saja mulai membaca, si penerjemah terkekeh-kekeh...

Tapi bagian ini tak dilanjutkan dengan adegan lucu. Dengan segera lanjutan cerita menukik ke dalam sebuah narasi yang justru minta dihadapi dengan bersungguh-sungguh. Pada berkas kertas itu tercantum: "Hikayat Don Quixote dari La Mancha, ditulis oleh Sayid Hamid Bin Angeli, seorang sejarawan Arab"...
Don Quixote: ditulis seorang sejarawan? Sebuah cerita sejarah? Tak ada jawaban yang jelas. Dalam bahasa Spanyol-Castilia (setidaknya di abad itu), baik "sejarah" dan "kisah" disebut historia. Cervantes menggunakan dua arti dan dua sisi itu dengan menarik -- dan mungkin itu sebabnya Don Quixote dianggap model novel modern: ia membawakan pelbagai lapisan suara.

Jika sejarah adalah "kebenaran" dan kisah adalah "fiksi", Cervantes mendorong pembaca untuk percaya bahwa buku yang diikutinya itu kedua-duanya.
Tak ada batas yang pasti. Semuanya mungkin. Juga akhirnya siapa yang mengarang novel ini: Cervantes sendiri? Sayid Hamid bin Angeli? Narasi Don Quixote, sebagaimana tokohnya yang gila, bergerak antara dunia nyata dan yang imajiner, antara fakta yang benar, verdades, dan dusta, mentiras. Don Quixote, tokoh fiksi ini, sadar bahwa ia memang "hidup" dalam fiksi.

Di situ pula Cervantes menempatkan Sayid Hamid Bin Angeli yang misterius itu sebagai pembentuk cerita. Sang Sayid juga sebuah ambiguitas: ia dua perspektif, dua wajah. Cervantes menganggapnya orang yang tak bisa dipercaya, sebab ia seorang Arab, dan, katanya, berbohong adalah "sifat umum bangsa itu." Tapi ia juga menilai orang ini "arif".

Bahkan di jilid kedua Don Quixote, di adegan akhir hayat Don Quixote, Sayid Hamid disebut sebagai pemegang kunci kebenaran riwayat hidup lelaki kurus tua yang sebenarnya bernama Alonso Quixano itu. Orang La Mancha itu wafat seraya meninggalkan keinginan agar tak ada pengarang lain, "kecuali Sayid Hamid Bin Angeli", yang bisa menghidupkan kisahnya kembali.

Pertalian antara mereka berdua dikukuhkan, dengan mengharukan, beberapa baris sebelum buku tutup. "Hanya untukku Don Quixote dilahirkan, dan sebaliknya, aku dilahirkan untuknya," begitulah pernyataan sang Sayid di halaman penghabisan buku.

Olok-olok itu tak terasa lagi di sana...

Yang terasa adalah pertemuan-pertemuan panjang. Don Quixote terbit pertama kali pada 1601. Jilid keduanya beredar 15 tahun kemudian, 1615, persis empat abad yang lalu. Jejak sejarah-lah yang mempertalikan Cervantes dan Sayid Hamid yang fiktif itu.

Jejak sejarah itu bernama "Islam". "Islam," tulis Frederick Quinn dalam The Sum of All Heresies: The Image of Islam in Western Thought (2008), "dulu jadi sebuah topik bukan hanya dalam tulisan-tulisan politik, agama, dan kebudayaan di Prancis dan Inggris, tapi juga merupakan fokus pengarang besar Spanyol abad ke-17, Miguel de Cervantes".

Cervantes memang hidup dalam bayang-bayang pertautan dan konflik antara Islam dan Kristen seperti yang tercermin dalam sejarah Spanyol antara abad ke-12 dan abad ke-15. Perang antara Spanyol di bawah dinasti Habsburg dan Turki di bawah daulat Usmani di abad ke-16 tentu juga membekas. Kita merasakannya ketika kalimat-kalimat Cervantes menyentuh tokoh Sayid Hamid: sikap yang ambivalen.

Kita telah melihat bagaimana Cervantes menyebut sang Sayid bagian dari "bangsa Arab" yang gemar berdusta. Tapi ia juga mengatakan bahwa siapapun yang menikmati kisah Don Quixote patut berterima kasih kepada Sayid Hamid, untuk ketelitiannya menelaah. "Ia gambarkan apa yang dipikirkan, ia ungkapkan khayalan, ia jawab pertanyaan yang tersirat, bersihkan keraguan..."

Pada akhirnya Don Quixote memberi makna bukan dengan menggambarkan sebuah kehidupan, melainkan dengan mengekspresikan laku yang menerobos garis-garis demarkasi. Islam, Kristen, Arab, Spanyol, realitas, waham dan ilusi, fiksi, non-fiksi, humor, tragedi... Tokoh itu majenun, ia tak menghitung untung atau rugi, aneh atau tak aneh; ia pemberani. "Don Quixote melontarkan diri ke dalam aksi, ke dalam laku, dan membuka diri untuk diolok-olok", tulis Miguel de Unamuno, "dengan demikian, dialah salah satu tauladan kerendahan-hati yang paling murni."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar