Don Quixote
Goenawan
Mohamad ; Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 06 Juli 2015
Sebuah olok-olok yang panjang bisa jenaka dan kemudian
jadi serius. Olok-olok paling panjang dalam sejarah ditulis Miguel de
Cervantes di Spanyol abad ke-17: tentu saja Don Quixote, novel setebal lebih
1000 halaman.
Menertawakan Don Quixote telah jadi kelaziman
berabad-abad. Tokoh ini seorang hidalgo, bangsawan kecil, yang jadi majenun
karena terlampau banyak membaca cerita ksatria zaman lama. Ia begitu
terpengaruh hingga ia ingin berlaku seperti tokoh-tokohnya. Kita kenal adegan
lucu yang termashur ini: Don Quixote menaiki kuda kurus yang ia beri nama
Rocinante, memakai panci sebagai tutup kepala, dan menyerang kincir angin
karena ia yakin itulah gergasi.
Cervantes sadar kisahnya kocak. Tertawa pertama kita
temukan di novel itu sendiri di bab ke-9.
Di sana mula-mula disebutkan bagaimana sang pengarang tak
bisa menyelesaikan ceritanya: ia tak bisa menemukan bahan tertulis tentang
petualangan Don Quixote. Untunglah pada suatu hari ia berada di alcaná,
bagian pasar tua orang Yahudi di kota Toledo. Ia menemukan seorang anak yang
menjual berkas kertas-kertas lama. Tertarik, Cervantes membelinya.
Lembar-lembar itu bertuliskan Arab. Penuh rasa ingin tahu apa gerangan isinnya, ia mencari seorang morisco untuk
menerjemahkannya. Baru saja mulai membaca, si penerjemah terkekeh-kekeh...
Tapi bagian ini tak dilanjutkan dengan adegan lucu. Dengan
segera lanjutan cerita menukik ke dalam sebuah narasi yang justru minta
dihadapi dengan bersungguh-sungguh. Pada berkas kertas itu tercantum:
"Hikayat Don Quixote dari La Mancha, ditulis oleh Sayid Hamid Bin
Angeli, seorang sejarawan Arab"...
Don Quixote: ditulis seorang sejarawan? Sebuah cerita
sejarah? Tak ada jawaban yang jelas. Dalam bahasa Spanyol-Castilia
(setidaknya di abad itu), baik "sejarah" dan "kisah"
disebut historia. Cervantes menggunakan dua arti dan dua sisi itu dengan
menarik -- dan mungkin itu sebabnya Don Quixote dianggap model novel modern:
ia membawakan pelbagai lapisan suara.
Jika sejarah adalah "kebenaran" dan kisah adalah
"fiksi", Cervantes mendorong pembaca untuk percaya bahwa buku yang
diikutinya itu kedua-duanya.
Tak ada batas yang pasti. Semuanya mungkin. Juga akhirnya
siapa yang mengarang novel ini: Cervantes sendiri? Sayid Hamid bin Angeli?
Narasi Don Quixote, sebagaimana tokohnya yang gila, bergerak antara dunia
nyata dan yang imajiner, antara fakta yang benar, verdades, dan dusta,
mentiras. Don Quixote, tokoh fiksi ini, sadar bahwa ia memang
"hidup" dalam fiksi.
Di situ pula Cervantes menempatkan Sayid Hamid Bin Angeli
yang misterius itu sebagai pembentuk cerita. Sang Sayid juga sebuah
ambiguitas: ia dua perspektif, dua wajah. Cervantes menganggapnya orang yang
tak bisa dipercaya, sebab ia seorang Arab, dan, katanya, berbohong adalah
"sifat umum bangsa itu." Tapi ia juga menilai orang ini "arif".
Bahkan di jilid kedua Don Quixote, di adegan akhir hayat
Don Quixote, Sayid Hamid disebut sebagai pemegang kunci kebenaran riwayat
hidup lelaki kurus tua yang sebenarnya bernama Alonso Quixano itu. Orang La
Mancha itu wafat seraya meninggalkan keinginan agar tak ada pengarang lain,
"kecuali Sayid Hamid Bin Angeli", yang bisa menghidupkan kisahnya
kembali.
Pertalian antara mereka berdua dikukuhkan, dengan
mengharukan, beberapa baris sebelum buku tutup. "Hanya untukku Don
Quixote dilahirkan, dan sebaliknya, aku dilahirkan untuknya," begitulah
pernyataan sang Sayid di halaman penghabisan buku.
Olok-olok itu tak terasa lagi di sana...
Yang terasa adalah pertemuan-pertemuan panjang. Don
Quixote terbit pertama kali pada 1601. Jilid keduanya beredar 15 tahun
kemudian, 1615, persis empat abad yang lalu. Jejak sejarah-lah yang
mempertalikan Cervantes dan Sayid Hamid yang fiktif itu.
Jejak sejarah itu bernama "Islam".
"Islam," tulis Frederick Quinn dalam The Sum of All Heresies: The
Image of Islam in Western Thought (2008), "dulu jadi sebuah topik bukan
hanya dalam tulisan-tulisan politik, agama, dan kebudayaan di Prancis dan
Inggris, tapi juga merupakan fokus pengarang besar Spanyol abad ke-17, Miguel
de Cervantes".
Cervantes memang hidup dalam bayang-bayang pertautan dan konflik
antara Islam dan Kristen seperti yang tercermin dalam sejarah Spanyol antara
abad ke-12 dan abad ke-15. Perang antara Spanyol di bawah dinasti Habsburg
dan Turki di bawah daulat Usmani di abad ke-16 tentu juga membekas. Kita
merasakannya ketika kalimat-kalimat Cervantes menyentuh tokoh Sayid Hamid:
sikap yang ambivalen.
Kita telah melihat bagaimana Cervantes menyebut sang Sayid
bagian dari "bangsa Arab" yang gemar berdusta. Tapi ia juga
mengatakan bahwa siapapun yang menikmati kisah Don Quixote patut berterima
kasih kepada Sayid Hamid, untuk ketelitiannya menelaah. "Ia gambarkan
apa yang dipikirkan, ia ungkapkan khayalan, ia jawab pertanyaan yang
tersirat, bersihkan keraguan..."
Pada akhirnya Don Quixote memberi makna bukan dengan
menggambarkan sebuah kehidupan, melainkan dengan mengekspresikan laku yang
menerobos garis-garis demarkasi. Islam, Kristen, Arab, Spanyol, realitas,
waham dan ilusi, fiksi, non-fiksi, humor, tragedi... Tokoh itu majenun, ia
tak menghitung untung atau rugi, aneh atau tak aneh; ia pemberani. "Don
Quixote melontarkan diri ke dalam aksi, ke dalam laku, dan membuka diri untuk
diolok-olok", tulis Miguel de Unamuno, "dengan demikian, dialah
salah satu tauladan kerendahan-hati yang paling murni." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar