Perihal Dasar Islam Nusantara
Akh. Muzakki ;
Sekretaris PW NU Jawa Timur;
Profesor Sosiologi Pendidikan
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 27 Juli 2015
DI
AKHIR Ramadan lalu, saya
ditanya seorang wartawan majalah Islam begini: Apa pentingnya NU mengusung
tema Islam Nusantara dalam muktamar ke-33? Apakah tidak takut justru tema itu
akan memecah belah Islam? Sebab, Islam itu kan satu. Kenapa harus ada
embel-embel Nusantara segala macam?
Pertanyaan
wartawan di atas sebetulnya tidak sendirian. Pertanyaan itu hanya mewakili
perhatian sekian banyak individu atau kelompok tentang hakikat Islam
Nusantara.
Serangkaian
pertanyaan di atas sejatinya menyiratkan kegundahan tertentu atas konsep
Islam Nusantara. Dasarnya macam-macam. Mulai tidak tahu, salah paham, hingga
tidak mau tahu. Bagi kalangan yang mempertanyakan konsep tersebut, Islam itu
ya satu. Lalu, kalau sampai dimunculkan Islam Nusantara, dikhawatirkan muncul
Islam dalam berbagai varian: Islam Timur Tengah, Islam India, Islam Tiongkok,
bahkan Islam Jawa, Islam Madura, dan seterusnya. Ada kekhawatiran, konsep
tersebut akan memecah belah Islam.
Kepada
wartawan itu, saya membuat ilustrasi sederhana. Saya memahamkannya melalui
contoh makanan cepat saji (fast food) dengan ayam goreng sebagai komoditas
utamanya. Saya mengambil kasus dua brand perusahaan ayam goreng terkenal asal
Amerika. Dua brand tersebut telah menjelajah tanah air. Hampir semua orang
pun sudah mengenal dua brand itu.
Lalu, saya
tanya rekan wartawan tersebut: ’’Apa yang dijual dua brand makanan cepat saji
asal Amerika itu?’’ Dia jawab: ’’ Ya, ayam goreng plus kentang goreng.’’
Saya
kemudian bilang: Nah, itulah yang menjadi ciri khas dua brand makanan cepat
saji asal Amerika itu. Di mana dan ke mana pun pergi, kita pasti akan
mendapati counter dan stall dua brand tersebut menjual ayam goreng ( fried
chicken) dan kentang goreng irisan (chips). Di negeri asalnya, Amerika,
jualan dua brand tersebut ya ayam goreng dan kentang goreng irisan itu. Di
Eropa, juga sama. Di Asia juga serupa, termasuk di Indonesia.
Tapi, di
negeri kita ini, dua brand asal Amerika tersebut menjual ayam goreng dan
kentang goreng irisan dengan disertai nasi sebagai tawaran menu. Mengapa
begitu? Sebab, mereka tahu, orang Indonesia belum akan merasa makan jika
belum makan nasi. Karena itu, nasi disertakan sebagai pendamping dari
komoditas ayam goreng dan kentang goreng irisan.
Ini semua
mereka lakukan agar jualan mereka bisa diterima masyarakat Indonesia.
Caranya, menyesuaikan dagangan mereka dengan selera dan kecenderungan gaya
kuliner lokal. Dengan begitu, masyarakat lokal merasa ayam goreng dan kentang
goreng irisan yang menjadi jualan dua brand Amerika di atas juga menjadi
kebutuhan mereka. Maka, di mana pun di negeri ini, kita bisa melihat begitu
tingginya tingkat marketabilitas jualan dua brand tersebut.
Tapi, jangan
pernah berharap dua brand di atas menjual nasi pecel atau nasi rawon sebagai
komoditas. Sebab, mereka akan menyalahi ’’khitah’’ bisnis dan dagangannya.
Identitas jualan ( trademark) mereka dari awalnya adalah fried chicken dan
chips.
Meski nasi
pecel atau nasi rawon sangat populer di negeri ini, dua brand asal Amerika di
atas tidak akan pernah menjual dua makanan lokal itu di counter atau stall
mereka. Kalau itu mereka lakukan, mereka sudah keluar dari trademark -nya
sebagai industri bisnis makanan cepat saji fried chicken dan chips. Begitulah
kira-kira ilustrasi sederhana tentang Islam.
Dalam teori
’’Melintasi Batas Kultural’’ (Crossing
Cultural Boundaries), John R. Bowen ( Religions in Practice, 2005:164)
menegaskan, dua hal penting pasti terjadi tatkala sebuah agama mengalami
persebaran meluas ke berbagai belahan dunia. Pertama, penerjemahan (translating) elemen-elemen keagamaan
dari sebuah bahasa dan budaya asal munculnya agama tersebut kepada sebuah
bahasa dan kultur baru. Kedua, penyesuaian diri (adapting) agama dimaksud
dengan lingkungan baru.
Meski
begitu, (maaf) untuk kepentingan simplifikasi, kecenderungan pergerakan Islam
sama halnya dengan dua brand makanan cepat saji asal Amerika di atas:
melakukan proses penerjemahan dan penyesuaian. Tapi, proses ini tidak sampai
membuat pemahaman dan praktik muslim di negeri mana pun kehilangan ajaran
dasar (core teaching) Islam itu
sendiri.
Islam
Nusantara yang diusung NU dalam muktamar ke-33 pun juga tidak akan pernah
keluar dari lingkaran ajaran dasar Islam. Yang dilakukan hanya untuk
memperkuat kembali cara keberagamaan muslim Indonesia yang santun, toleran,
damai, dan moderat penuh respect atas perbedaan sebagai model bagi peradaban
dunia.
Ini semua
penting di tengah buruknya representasi Islam di dunia. Kehidupan dunia
global-modern yang mendambakan praktik hidup kosmopolitan penuh kesantunan,
toleransi, kedamaian, moderasi, dan respect atas perbedaan tidak menemukan referensinya
pada pengalaman hidup, termasuk kalangan muslim. Pasalnya, konflik dan
pertumpahan darah lebih kerap mengemuka daripada praktik hidup dimaksud.
Timur Tengah dan Asia Selatan contoh sebagiannya.
Maka, Islam
Nusantara dihadirkan untuk memperjelas contoh konkret dari konsep Islam
rahmatan lil ‘alamin. Islam memang tidak lahir di negeri ini. Tapi, Islam di
negeri ini bisa menjadi referensi dan model bagi tatanan kehidupan dan
peradaban global yang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar