Yunani dan Indonesia
Anwar
Nasution ; Guru
Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
10 Juli 2015
Tingkat laju ekonomi yang terus
menurun dalam beberapa tahun terakhir, terus merosotnya harga komoditas
ekspor dan daya saing industri manufaktur, melemahnya nilai tukar rupiah,
membengkaknya utang luar negeri sektor swasta, serta kondisi industri
perbankan yang semakin lemah menggambarkan kurang baiknya kondisi ekonomi
Indonesia.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo
belum menunjukkan inisiatif untuk menanggulangi kondisi ini. Sementara para
pejabat pemerintah memberikan analisis yang menyesatkan, seolah-olah tidak
ada yang perlu dikhawatirkan karena kondisi utang luar negeri Pemerintah
Indonesia jauh lebih kecil daripada utang luar negeri Yunani.
Ada berbagai persamaan dan
perbedaan yang menonjol antara krisis Yunani dewasa ini dan kerawanan yang
dihadapi perekonomian Indonesia. Persamaannya antara lain dalam sistem
politik dan pemerintahannya yang lemah dan korup, badan usaha milik negara
(BUMN)-nya tak kompetitif sehingga hanya merupakan beban bagi masyarakat,
sedangkan sistem hukumnya tak dapat melindungi hak milik individu dan
memaksakan berlakunya kontrak perjanjian secara efektif dan efisien.
Tabung haji Malaysia kaya raya dan
punya berbagai perkebunan sawit di Indonesia dan properti di Arab Saudi,
sedangkan dana haji kita hanya jadi sumber korupsi. Administrasi
perpajakannya buruk, sedangkan dunia usaha dan orang kayanya lebih suka
menyimpan kekayaannya di luar negeri.
Penyebab krisis ekonomi Yunani
dengan kesulitan ekonomi Indonesia dewasa ini adalah berbeda bagaikan bumi
dengan langit. Krisis Yunani bermula dari pinjaman luar negeri sektor
pemerintah yang dewasa ini mencapai 450 persen dari jumlah penerimaannya.
Beban bunga utang saja sudah 13 persen dari penerimaannya sehingga membatasi
pengeluaran lainnya. Pemerintah Yunani lama hidup lebih besar pasak daripada
tiang dan menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)-nya
dengan pinjaman luar negeri dengan memanfaatkan tingkat suku bunga yang
rendah di pasar uang dan modal di negara-negara anggota Uni Eropa lainnya.
Ketidakseimbangan
Di lain pihak, pinjaman luar
negeri Pemerintah Indonesia lebih terkontrol dan kini rasio pinjaman terhadap
produk domestik bruto sekitar 25 persen. Seperti halnya pada saat krisis
1997-1998, sumber utama kerawanan ekonomi Indonesia dewasa ini adalah pada
utang luar negeri sektor korporat yang semakin membengkak. Lebih dari
sepertiga likuiditas bursa obligasi dan efek-efek Jakarta bersumber dari
pemasukan modal asing jangka pendek.
Barangkali sebagian daripadanya
uang milik orang Indonesia yang di parkir di luar negeri. Utang luar negeri
swasta tersebut dinyatakan dalam satuan mata uang asing dan berjangka pendek.
Pinjaman itu digunakan untuk membelanjai investasi jangka panjang dan
sebagian daripadanya hanya menghasilkan penerimaan dalam mata uang rupiah.
Oleh karena itu, terjadilah dua
bentuk ketidakseimbangan yang sangat membahayakan, yakni ketidakseimbangan
jangka waktu kredit dan investasi serta mata uang (maturity and currency
mismatches).
Pengusaha Indonesia menyimpan dana
dan meminjam ke luar negeri karena tidak adanya kepastian sehubungan dengan
buruknya sistem politik dan sosial kita serta karena tidak efisiennya bank-bank
nasional yang didominasi oleh bank-bank negara. Efisiensi perbankan di
Indonesia, yang didominasi oleh bank-bank BUMN, adalah yang terendah di ASEAN
sedangkan tingkat suku bunga bank merupakan yang tertinggi di kawasan ini.
Kredit luar negeri tersebut digunakan
untuk membelanjai investasi di sektor real estat yang sangat marak di seluruh
pelosok Tanah Air, pertambangan, perkebunan, industri manufaktur, serta
pembangkit tenaga listrik dan prasarana lainnya.
Penerimaan dunia usaha dalam
rupiah semakin membesar setelah Bank Indonesia mengeluarkan aturan yang
mensyaratkan agar semua transaksi di Indonesia hanya dinyatakan dalam rupiah.
Aturan ini hanya bersifat legalistis tanpa melihat fungsi uang secara
ekonomi. Mata uang dollar Amerika Serikat menjadi mata uang dunia bukan
karena adanya resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau invasi militer
Amerika Serikat, melainkan atas dasar kepercayaan saja pada mata uang itu dan
kepada pemerintah yang memelihara stabilitas nilainya.
Kebijakan
distortif
Harga komoditas industri primer
hasil pertambangan dan perkebunan yang menjadi andalan ekspor Indonesia
terus-menerus merosot sejak tahun 2011. Sementara itu, peranan industri
manufaktur semakin tergusur karena menguatnya mata uang rupiah, memburuknya
iklim berusaha, semakin distortifnya sistem perdagangan dan investasi, serta
kurangnya infrastruktur selama 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo bambang
Yudhoyono.
Penerimaan devisa dari kiriman
para tenaga kerja Indonesia (remittances) sangat kecil karena rendahnya
tingkat pendidikan dan keterampilan mereka. Sistem perdagangan dan investasi
yang distortif itu, antara lain, tecermin pada larangan ekspor ataupun
pengenaan tarif bea ekspor yang tinggi pada biji tambang yang belum diolah.
Padahal, kemampuan kita untuk mendirikan industri pengolahan (smelter) tidak
ada karena tidak adanya listrik dan infrastruktur, seperti jalan dan
pelabuhan.
Seperti halnya pada 1997-1998,
dunia usaha dan perbankan semakin megap-megap. Dunia usaha kesulitan untuk
melunasi utang bunga dan pokok utang pada bank di dalam negeri dan luar
negeri. Penyebabnya adalah, di satu pihak, harga produknya melemah, sedangkan
di lain pihak, tingkat suku bunga meningkat dan kurs rupiah semakin melemah.
Hambatan pada penggunaan kredit
meningkatkan rasio kredit bermasalah (NPL) bank dan pelemahan rupiah
meningkatkan risiko pasarnya dari transaksi valuta asing. Pada gilirannya,
kedua hal ini menggerogoti kecukupan modal perbankan, seperti yang terjadi
pada 1997-1989 yang mengempaskan perekonomian nasional. Pada waktu itu, APBN
sedikit mengalami surplus dan defisit neraca berjalan tidak mengkhawatirkan
karena hanya di bawah 4 persen dari produk domestik bruto. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar