Konvergensi Muhammadiyah-NU?
Pradana Boy ZTF ;
Dosen FAI-UMM;
Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda
Muhammadiyah Jawa Timur
|
JAWA
POS, 27 Juli 2015
PADA awal Agustus ini, dua organisasi Islam terbesar di
Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, akan menghelat muktamar.
Masing-masing di Makassar dan Jombang. Perhelatan ini penting bukan hanya
karena ini merupakan forum di mana pemimpin baru dua ormas Islam itu akan
terpilih, tetapi juga karena di dalamnya akan terpetakan dinamika baru di dua
organisasi ini.
Salah satu perkembangan yang bisa diidentifikasi berkaitan
dengan pergeseran arah pendidikan dua organisasi ini. Selama ini,
Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi modernis yang memberikan titik tekan
pada pendidikan ”sekolahan”. Sementara NU dikenal luas sebagai organisasi
dengan kecenderungan tradisional yang sangat populer dengan pendidikan
”pesantren”. Namun, belakangan kategori seperti itu barangkali tidak
sepenuhnya operasional. Nyatanya, setidaknya kurang lebih satu dasawarsa ini,
keduanya menunjukkan arah yang berkebalikan meskipun tidak berseberangan.
Tegasnya, Muhammadiyah kini banyak memberikan perhatian
pada pendidikan pesantren dalam konteks sistem pendidikan, sementara dalam
diri NU kini tumbuh berbagai pendidikan tinggi (universitas) bermodel
”sekolahan”.
Dalam konteks Muhammadiyah, perhatian pada pendidikan
pesantren melalui pendirian berbagai pondok pesantren Muhammadiyah yang
dikenal dengan sebutan Muhammadiyah Boarding School (MBS), salah satunya,
didasari oleh kesadaran akan menipisnya lapisan generasi ulama di tubuh
organisasi ini, terutama jika yang dimaknai sebagai ulama adalah ulama fikih.
Mengapa penekanan ulama fikih diperlukan? Din Syamsuddin,
ketua umum PP Muhammadiyah saat ini, sering melontarkan pemikiran bahwa jika
yang dimaksudkan dengan ulama adalah ahli fikih atau ilmu-ilmu agama
sejenisnya, barangkali sinyalemen kelangkaan ulama di kalangan Muhammadiyah
ini benar. Namun, Din menawarkan pemahaman baru tentang makna ulama.
Hendaknya, ulama tidak dimaknai secara terbatas sebagai ahli agama, tetapi
juga ahli-ahli dalam bidang keilmuan yang lain.
Jika ulama dimaknai secara khusus sebagai ahli dalam
ilmu-ilmu keislaman, barangkali sinyalemen ini bisa didiskusikan lebih
lanjut. Hanya, tumbuhnya MBS yang belakangan menjadi tren pendidikan di
Muhammadiyah secara tidak langsung merupakan respons terhadap sebuah situasi.
Di sisi lain, sangat mungkin lahirnya
pendidikan-pendidikan tinggi di lingkungan NU belakangan ini juga dimotivasi
oleh sebuah kesadaran akan minimnya perhatian pada pendidikan ”sekolahan.”
Selain itu, sangat mungkin perkembangan baru ini juga didorong oleh perubahan
sosial yang begitu deras dalam masyarakat Indonesia. Sehingga pendidikan
harus selalu mengalami penyesuaian.
Karena itu, tumbuhnya pendidikanpendidikan tinggi model
sekolahan di kalangan NU ini sangat mungkin justru dimaksudkan sebagai
pelengkap pendidikan pesantren yang selama ini telah demikian lekat pada
organisasi ini. Kemungkinan lainnya adalah bahwa dalam diri NU kini mulai
tumbuh lapisan-lapisan terdidik baru yang mengalami pendidikan pesantren di
satu sisi dan lalu melengkapi pengalamannya itu dengan pendidikan-pendidikan
modern. Bukan hanya di tanah air, tetapi juga di berbagai belahan dunia,
termasuk dunia Barat. Sehingga lapisan baru ini perlu memperoleh lahan
ekspresi yang memadai.
Meskipun belum ada angka pasti yang bisa disebut, secara
umum jumlah generasi muda Muhammadiyah dan NU yang mengenyam pendidikan
modern di Barat boleh dibilang seimbang. Disadari atau tidak, fakta inilah yang
lalu melahirkan transformasi pola dan arah pendidikan dalam konteks NU.
Maka, pada masa-masa mendatang, kenyataan ini bisa dibaca
sebagai sebuah tren menuju konvergensi. Bahwa Muhammadiyah yang selama ini
cenderung ”abai” dengan pendidikan pesantren mulai memberikan perhatian,
sementara NU yang selama ini terkesan ”cuek” dengan pendidikan tinggi model
sekolahan juga mulai bergerak ke sana. Artinya, jika pergerakan ini berjalan
sebagaimana yang dicita-citakan, jarak epistemologis antara Muhammadiyah dan NU
yang antara lain disebabkan oleh perbedaan model pendidikan pelan-pelan akan
semakin menyempit.
Tentu saja konvergensi dalam konteks semacam itu sangat
baik dan bisa memperkaya pemahaman dan corak ekspresi Islam moderat di
Indonesia. Namun, ada satu hal yang perlu memperoleh penegasan: apakah benar
orientasi baru Muhammadiyah ke arah pendidikan pesantren ini dibarengi dengan
kemampuan Muhammadiyah untuk mengelolanya? Demikian pula, apakah benar bahwa
orientasi NU ke pendidikan tinggi model sekolahan ini juga dilengkapi
perangkat pengelolaan pendidikan tinggi yang memadai?
Membangun pesantren dan pendidikan tinggi ala sekolahan
tidak hanya membangun gedung dan asrama, tetapi juga membangun sistem dan
tradisi. Maka, pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah dua organisasi
ini sudah cukup memiliki tradisi dan sistem untuk mendukung orientasi barunya
ini? Jangan-jangan, Muhammadiyah berhasil membangun gedung pesantren, tetapi
kemudian pesantren itu dikelola dengan cara sekolahan dan minus tradisi
pesantren karena Muhammadiyah terlampau lama bermain dengan sistem sekolahan.
Sementara itu, meski berhasil membangun pendidikan tinggi di berbagai tempat,
NU mengelola pendidikan tinggi ala sekolahan itu dengan pola tradisi dan
sistem pesantren karena tradisi dan sistem ini telah lama mengakar dalam
kehidupan mereka.
Muktamar masing-masing organisasi tahun ini akan menjadi
salah satu tonggak penting untuk memperoleh jawaban tersebut di masa
mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar