Urgensi Pertegas Independensi NU
M Aminudin ;
Direktur Institute for Strategic and Development Studies;
Pengurus Pimpinan Pusat GP Ansor
2001-2013
|
KOMPAS,
28 Juli 2015
Muktamar
Nahdlatul Ulama, 1-5 Agustus 2015, merupakan momentum strategis untuk
melakukan retrospeksi perjalanan yang telah dilalui. Semenjak kelahirannya
pada 1926, NU dirancang pendirinya sebagai organisasi sosial keagamaan Islam,
bukan organisasi politik.
Sebagai organisasi sosial
keagamaan, Nahdlatul Ulama (NU) terbukti berhasil menciptakan dukungan
masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Paling tidak, menurut
survei LSI tahun 2013, jumlah warga nahdliyin mencapai 36,5 persen dari
jumlah penduduk Indonesia. Namun, yang menarik dari sepanjang sejarah NU ketika
terseret ke dalam politik praktis, dari Pemilu 1955 hingga 2009, suara NU
tidak pernah melebihi 19 persen perolehan suara nasional.
Kembali (lagi) ke "khittah"
Pertanyaan yang patut diajukan:
kenapa? Ada kesenjangan yang lebar antara realitas masyarakat yang 36,5
persen lebih mengaku sebagai orang NU dan perolehan suara partai politik yang
mengklaim dirinya NU.
Ada banyak faktor yang bisa
menjelaskan realitas ini, di antaranya data di atas menunjukkan bahwa
kekuatan besar NU bukan di kekuatan politik partai, melainkan pada
jaringan kekuatan kultural. Itu artinya, mayoritas massa NU memiliki
sikap politik relatif otonom dalam pilihan politiknya. Upaya melakukan
penggiringan massa NU ke dalam satu partai tidak hanya akan sia-sia, tetapi
juga ternyata kurang banyak manfaatnya bagi masyarakat NU yang masih cukup
banyak berada dalam garis kemiskinan.
Mayoritas warga nahdliyin
tinggal di pedesaan, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berdasarkan data
BPS per September 2014, Jatim dan Jateng merupakan provinsi dengan jumlah
penduduk miskin terbanyak, masing-masing 4,74 juta orang dan 4,56 juta orang.
Dari 4,74 juta orang miskin di Jatim, yang merupakan basis utama pendukung
NU, sebanyak 3,21 juta orang atau 68 persen tinggal di pedesaan.
Gambaran itu sedikit banyak
menunjukkan, sebagian besar warga NU kini terjerat kemiskinan. Upaya Gus Dur
(alm) mendirikan partai yang mewadahi orang-orang NU di Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) pada 1999 tepat dalam konteks upaya mencoba merespons perubahan
politik kepartaian yang semakin menguat seiring bergulirnya reformasi
demokrasi 1998. Namun, setelah empat kali pemilu, ternyata suara PKB bukannya
meningkat, melainkan justru cenderung merosot dibandingkan awal berdirinya
pada 1999.
Dalam konteks realitas masyarakat
NU yang semakin cerdas dan kritis, kini salah satu agenda mendesak yang harus
dijadikan prioritas pengambilan keputusan adalah mengembalikan NU ke rel
perjuangannya yang telah dipatri oleh KH Hasyim Asy'ari dan para pendiri NU
lainnya, yang disebut Khittah 26. Ketetapan Khittah NU 26 menggariskan bahwa
berpolitik adalah pribadi warga NU. Dengan demikian, NU tak terkait secara
organisatoris dengan partai politik mana pun. Upaya sebagian pihak yang tetap
berusaha menyeret NU ke dalam satu partai tidak hanya telah mengkhianati
semangat para pendiri NU, tetapi juga akan mengecilkan citra NU sebagai
kekuatan ormas terbesar di Indonesia.
Kerugian NU jika terus-menerus
"dibajak" satu partai bukan hanya akan makin mengerdilkan pengaruh
politiknya di pentas Indonesia, melainkan juga berisiko misi utamanya sebagai
organisasi sosial keagamaan untuk mengurusi pemberdayaan umatnya di bawah
jadi telantar. Harus diakui, dalam era demokrasi "semiliberal" saat
ini, saat hampir semua pemilihan jabatan politik dilakukan langsung oleh
rakyat, NU mengalami godaan politik sangat besar.
Semenjak bertiup demokrasi
partisipatoris pasca 1998, para pemimpin NU disibukkan oleh perebutan
kekuasaan dari pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, hingga pemilihan
DPR/DPRD. Sementara kerja-kerja sosial NU untuk melayani umat yang merupakan
misi utama NU, seperti pemberdayaan bidang pendidikan, pesantren, dan dakwal
bil-hal, kurang mendapat porsi memadai.
Secara sederhana, kondisi NU
ketika berusaha dieksploitasi ke satu partai pasca reformasi saat ini, kue
politik dan ekonomi sebagian besar hanya dinikmati kalangan elite, tetapi
kurang dinikmati kaum alit (umat di bawah). Ini bukti nyata warga NU hanya
dijadikan komoditas pengepul suara dalam pemilu oleh partai yang sering
melakukan pencitraan di media dan publik sebagai "Partainya Orang
NU".
Atas dasar berbagai
pertimbangan di atas, menegaskan kembali Khittah 26 serta mengambil jarak
yang sama ke semua partai politik dalam muktamar di Jombang, 1-5
Agustus 2015, adalah keniscayaan yang tak bisa ditawar. Itu kalau NU
tak ingin di masa depan semakin tergelincir ke jurang perpecahan politik dan
krisis kepercayaan di kalangan umatnya yang di bawah.
Namun, dalam situasi
"partai politik sebagai panglima" saat ini, mengharapkan NU hanya
sebagai organisasi puritan semata mengurus kegiatan sosial juga tak
realistis. Para pemimpin NU hasil muktamar di Jombang nanti harus tetap
memiliki inisiatif melakukan kontak-kontak ke semua partai. NU harus menjadi
payung bagi kadernya yang menyebar ke semua partai yang ada dan harus
bersikap tegas terhadap pemimpin partai yang berusaha melakukan manipulasi
sebagai wadah tunggal aspirasi NU seperti iklan Pemilu 2014 dan 2009.
Hanya dengan mempertegas
independensi politik NU dan secara bersamaan tetap kreatif merajut kadernya
di semua partai, kebangkitan kembali NU secara menyeluruh akan bisa dicapai.
Penyebaran kader NU ke semua lini, termasuk partai, akan lebih menguntungkan
karena tidak hanya memudahkan NU agar tidak mudah terkena "limbah
konflik" partai, tetapi NU juga akan menjadi sandaran semua kelompok
partai politik.
Reorientasi peran NU
Reorientasi peran politik NU ke
depan juga harus lebih banyak diarahkan untuk menjadi garda moral bagi umat
dan bangsa. NU bisa tetap berpolitik, tetapi lebih banyak sebagai moral
force seperti yang sering diistilahkan salah satu tokoh NU
terkenal, KH Achmad Sidiq. Sebagai suatu kekuatan moral, NU tidak perlu
terseret ke dalam pusaran perebutan kekuasaan. Namun, NU harus bersikap dalam
upaya penegakan, yang dalam bahasa NU lebih mudah dikenali dengan
istilah kekuasaan yang amanah. Dalam bingkai ini, NU tidak boleh diam dan
berpangku tangan terhadap penyimpangan kekuasaan atau kekuasaan korup.
Jargon NU yang terkenal
semenjak berdirinya sebagai kekuatan penyeimbang (tawassuth) hanya akan menjadi idiom yang
sulit diimplementasikan jika para pemimpin NU nanti masih berorientasi ke
perebutan kekuasaan, apalagi hanya menjadi tunggangan ambisi salah satu
pemimpin partai politik. Independensi politik NU akan membuatnya lebih bisa berkonsentrasi
mengurusi umatnya yang justru memiliki implikasi positif dalam jangka
panjang.
Posisi ini memungkinkan NU
berkembang sebagai kekuatan sosial yang semakin besar dan berpengaruh di masa
depan. Sebab, semua kelompok politik akan membutuhkan dukungan dari
organisasi berbasis pesantren dan kiai ini. Kebutuhan legitimasi semua
partai besar dan calon pemimpin Indonesia yang ada di Tanah Air itu akan
membuat NU mendapat berkah bantuan dari banyak pihak. Sebaliknya, jika NU
dalam muktamar di Jombang ini tetap tak bisa menegaskan independensi atau
menjaga jarak ke salah satu parpol, akan banyak kerugian yang didapat. Semoga
peserta Muktamar NU bisa menahan godaan pragmatisme sehingga bisa mengambil
keputusan terbaik bagi NU. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar