Alarm Ucapan Takut Miskin
Azrul Ananda ; Dirut Jawa Pos Koran
|
JAWA
POS, 14 Juli 2015
HAMPIR semua orang punya rasa takut pada sesuatu. Anda
takut apa?
Di kelas-kelas menulis, kami dibiasakan untuk tidak
menyebut ’’semua’’ orang begini atau begitu. Misalnya, tidak boleh bilang
’’Semua orang punya rasa takut’’. Atau, ’’Semua orang merasakannya’’.
Karena ’’semua’’ tergolong generalisasi. Dan kita harus
bisa berpikir bahwa belum tentu semua orang merasa atau suka pada hal yang
sama.
Sebagai ganti, kami dibiasakan menggunakan kalimat
’’Hampir semua orang punya rasa takut’’. Atau, ’’Hampir semua orang
merasakannya’’.
Mengacu pada pelajaran logika ini, bicara soal rasa takut,
saya pun memakai kalimat ’’Hampir semua orang punya rasa takut’’.
Karena mungkin saja ada satu atau dua yang memang tidak
punya rasa takut sama sekali. Entah karena alasan psikis (error di kepala?
Wkwkwkwk), atau karena alasan kekurangan bagian tubuh (tidak punya udel. Ini
meminjam guyonan sahabat saya, Mas Dewo. Wkwkwkwkwkwkwkwk...).
Coba perhatikan diri sendiri. Perhatikan orang-orang yang
Anda kenal. Kadang rasa takutnya lucu-lucu. Ada yang begitu berani menghadapi
gerombolan orang beringas, tapi lari ketakutan ketika melihat seekor anjing.
Ada pula yang berbadan tegap dan atletis, tapi bisa
terkencing-kencing ketika dipaksa naik roller coaster. Saya sih tidak takut,
cuman lebih baik menghindari roller coaster dan mengaku merasa tidak nyaman.
Sama ya? Wkwkwkwk…
Di sekeliling saya, misalnya. Ada orang yang takut tanjakan,
takut makan tahu, takut naik pesawat, dan –bagi teman-teman laki-laki– banyak
yang takut kepada istri.
Ada juga survei di Amerika yang menyatakan bahwa orang
lebih takut bicara di depan publik daripada takut mati. Dan itu berarti
mereka lebih siap terjun di medan perang daripada disuruh pidato!
Kebanyakan rasa takut itu bisa ditanggapi dengan tawa,
dengan cibiran, atau cukup dengan perasaan heran. Namun, ada pula yang ketika
disampaikan mampu membuat sensor di kepala kita bereaksi lebih kuat.
Sekian tahun yang lalu, ketika makan lewat tengah malam
–setelah deadline pengerjaan koran– dengan beberapa manajer dan staf, saya
pernah ditanyai soal rasa takut.
Seorang manajer senior itu bertanya, saya takut apa?
Waktu itu, saya tidak menanggapinya terlalu serius. Saya
jawab saja: ’’Takut ikan hiu.’’
Penyebabnya? Menonton film Jaws benar-benar membuat saya
merinding setiap kali melihat ikan hiu. Walau di sisi lain, menonton film itu
juga menjadikan great white shark sebagai binatang favorit saya (begitu
streamlined dan efisien!).
Belakangan, film Jurassic World juga membuat saya kagum
pada Mosasaurus. Bagaimana tidak, dia dengan mudah makan ikan hiu!
Selain itu, saya tidak nyaman dengan ruangan sempit
(claustrophobia) dan takut pada tikus (mungkin jijik lebih tepatnya).
Jawaban saya itu jujur, tapi juga sambil lalu. Yang tidak
saya sangka adalah ucapan yang muncul dari mulut manajer tersebut.
’’Saya takut miskin.’’ Begitu dia berucap.
Glodak! Prang! Tet-tet-tet-tet! Niiiiuuuu, niiiiuuuu,
niiiiiuuuuu…
Berbagai bunyi-bunyian bersahut-sahutan di dalam kepala
saya (yang waktu itu sebenarnya sedang cuek santai, sedang recovery mode
setelah selesai deadline koran).
Terus terang, saya tidak ingat lagi apa percakapan
selanjutnya. Yang jelas, berbagai mekanisme saringan dan pengolahan bekerja
aktif di dalam kepala saya.
Entah mengapa, saya sangat terhenyak dengan ucapan
tersebut, yang sedikit banyak mungkin mencerminkan pola pikir dan sikap sang
manajer.
Saya mencoba berpikir positif, karena orang yang ’’takut
miskin’’ akan berusaha dan bekerja keras supaya tidak jatuh miskin. Dan itu
mungkin baik.
Hanya, ada perasaan khusus yang mengingatkan saya juga,
bahwa orang itu juga berpotensi rela melakukan apa saja agar tidak jatuh
miskin. Dan itu belum tentu baik.
Pada akhirnya, sang manajer senior itu memang tidak lagi
bersama kami. Saya tidak akan bercerita lebih jauh, dan ini sudah terjadi
sangat lama.
Yang jelas, saya juga jadi mengevaluasi diri sendiri.
Apakah saya takut miskin? Entahlah. Wong dulu waktu kecil keluarga saya juga
termasuk tidak kaya.
Saya mungkin pernah menulis sebelumnya, bahwa waktu kecil
saat minta dibelikan mainan kereta, saya hanya dikasih sapu lidi dan sejumlah
karet, lalu disuruh merakit sendiri relnya…
Dan orang tua selalu mengingatkan saya: Uang selalu bisa
dicari. Kalau kerja jangan terlalu banyak berpikir, asal serius, hasil akan
datang dengan sendirinya.
Lebih dari itu, banyak hal lain dalam hidup ini yang tidak
selalu bisa dibeli dengan uang. Misalnya, reputasi, pertemanan, dan –apa pun
bentuk dan definisinya– kebahagiaan…
Nah, Anda takut apa? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar