Sabtu, 11 Juli 2015

Mempertaruhkan Aspirasi Rakyat

Mempertaruhkan Aspirasi Rakyat

   Tommi A Legowo  ;  Pendiri dan Peneliti Senior FORMAPPI
                                                           KOMPAS, 09 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sidang Paripurna DPR, Selasa (23/6), memutuskan melanjutkan pembahasan   usulan program pembangunan daerah pemilihan atau UP2DP yang dikenal juga sebagai dana aspirasi anggota DPR.  Keputusan ini relatif cepat di tengah kuatnya penolakan masyarakat dan tiga fraksi parpol di DPR: PDI Perjuangan, Partai Nasdem, dan Partai Hanura. Laporan Tim Penyusunan Mekanisme UP2DP ataupun Rancangan Peraturan DPR tentang Mekanisme UP2DP tak memberikan penjelasan meyakinkan bahwa ini solusi dari persoalan "... memperjuangkan aspirasi rakyat..." sebagaimana tersurat dalam bagian sumpah anggota DPR.  Tetap jadi pertanyaan, apakah UP2DP ini benar-benar wujud dari sumpah itu atau sebenarnya anggota DPR  tengah mempertaruhkan aspirasi rakyat untuk penuhi kepentingan diri sendiri?

Politik personal

Tampaknya ada pendangkalan sumpah hingga sebatas  program pembangunan dapil anggota DPR yang nilainya Rp 20 miliar. Jika diakumulasi, jumlah dana aspirasi ini sekitar Rp 11,5 triliun.  Itu proporsinya 0,5 persen dari total APBN sekitar Rp 2.000 triliun per tahun. Meski kecil, ini dapat merusak keseluruhan  APBN yang tujuan pokoknya memenuhi aspirasi rakyat. UP2DP itu akan menjebak anggota DPR dalam politik personal setiap saat selama tahun anggaran berjalan.

Bayangkan, mula-mula dia harus bekerja merumuskan aspirasi menjadi usulan program pembangunan dapil. Dalam perencanaan anggaran, dia harus berjuang memastikan usulan programnya terakomodasi dalam rancangan dana alokasi khusus (DAK) pembangunan daerah. Pasti akan menyita waktu dan tenaga anggota agar usulan programnya mendapatkan slot dalam DAK yang substansinya telah diisi penuh program pembangunan hasil persepakatan pemerintah pusat dan daerah.

Dalam implementasi program, anggota DPR akan tersita waktunya untuk melakukan kontrol atas kesuksesan program itu. Jika gagal, dia bukan hanya kehilangan kepercayaan konstituen, melainkan juga bisa harus berhadapan dengan penegak hukum. UP2DP merupakan program earmarked yang dengan gampang diketahui siapa pemiliknya. Ini memang  perintah UUMD3 17/2014, khususnya Pasal 80 J.

Pada tahap akhir, anggota DPR  harus menyusun laporan pertanggungjawaban program. Dia akan menghabiskan waktu berkutat menyiasati indikator-indikator keberhasilan program pembangunan. Gagal melakukan ini berisiko kehilangan jabatan. Kegagalan bisa menghilangkan kepercayaan parpol induknya, yang mempunyai stok kader untuk menggantikan  anggota DPR yang dipecat. Siklus itu akan berulang setiap tahun selama masa bakti anggota DPR. Selama itu pula perhatian anggota DPR akan disita untuk mengamankan program pembangunan bernilai Rp 11,5 triliun dan karena itu mengabaikan program pembangunan nasional bernilai Rp 1.988,5 triliun. Ini juga bisa berarti DPR membiarkan pemerintah bekerja sendirian tanpa pengawasan.

Politik personal itu akan membebani anggota DPR dengan persaingan di lapangan yang mudah menjadi kotor di antara sesama anggota satu parpol dan/atau beda parpol. Seperti diketahui, dapil dalam format perwakilan berimbang (PR) mempunyai wakil plural. Di Indonesia untuk tingkat nasional, satu dapil diwakili 3-10 anggota DPR. Meski tak bersifat zero-sum, dapat dipastikan setiap anggota DPR tak ingin programnya kalah berhasil dari program sekutu dan seterunya di dapil. Ini rangsangan menggunakan cara-cara kotor memenangkan persaingan; apalagi hingga kini tak terlihat tanda-tanda koordinasi/kerja sama antar-anggota DPR dalam satu dapil dan untuk UP2DP ini.

Politik personal membawa juga potensi kuat konflik kepentingan antara anggota DPR dan parpol induknya. Jika berhasil, politik personal membesarkan nama anggota DPR lebih daripada nama parpol induk. Dan, ini adalah gerbong pendukung yang menambah nilai tawar anggota DPR untuk ditukar dengan jabatan politik di parpolnya atau bahkan  untuk kepentingan menyeberang ke parpol lain. Karena itu, parpol induk belum tentu memberikan dukungan penuh untuk keberhasilan UP2DP anggota DPR. Bahkan, mungkin sekali, parpol akan jadi penghalang bagi munculnya nama-nama besar kadernya sebagai hasil dari program ini.

Harus dicatat, prinsip perwakilan berimbang mendudukkan parpol sebagai perwakilan rakyat atas dasar status kepesertaan pemilu. Kursi DPR adalah milik parpol, dan anggota DPR adalah utusannya. Parpol dapat mengganti utusan itu dengan kader lain setiap saat dengan alasan apa pun juga. Mencegah kemurkaan parpol, anggota DPR akan dituntut memberikan "pelayanan terbaik" kepada induk semangnya itu.  Sumber daya pun bisa terkuras memenuhi tuntutan ini.

Kemungkinan hasil dari persaingan kotor dan hambatan itu adalah tak semua program UP2DP akan sukses. Perkiraan optimistis, 40 persen akan mewujud dalam output program; sisanya 60 persen bakal menguap tanpa bekas. Pengalaman Filipina dapat dijadikan rujukan. Dalam laporan The Philippine Center for Investigative Journalism (Gamala, Januari 2014) tentang realisasi program aspirasi dalam skema Priority Development Assistance Fund (PDAF) dikutip pernyataan Sen Lacson bahwa "less than 50 percent actually went to the programs of work. And more than 50 percent went to the many deep pockets of corruption." Lebih jauh, persentase dana lebih kecil yang terselamatkan kembali ke kas negara hanya dari pajak proyek pembangunan PDAF ini. Lebih buruk lagi,  observasi Solita Collas-Monsod (Juli 2013) menyatakan skema program semacam ini "... may not even help the local constituents; it stops in the legislators' pockets and those of their private-sector coconspirators, with the active help or benign neglect of the government agencies and the Commission on Audit."

Reduksi makna

Waktu dan sumber daya untuk mengelola politik personal itu jelas akan mengalihkan konsentrasi anggota Dewan, dan parpol-parpol di DPR, dari penyelenggaraan peran perwakilan rakyat yang secara konstitutif harus mereka emban kepada perhatian terhadap program pembangunan dapilnya yang cenderung pragmatis. Peran perwakilan rakyat punya makna dan cakupan luas dalam sistem presidensial:  mencegah kesewenangan kekuasaan pemerintah oleh Presiden serta memastikan penyelenggaraan kekuasaan itu ditujukan untuk melayani dan memenuhi kebutuhan/aspirasi rakyat untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pengejawantahan peran ini tercakup dalam tiga fungsi pokok DPR: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Jika ketiga fungsi ini dijalankan secara berintegritas, anggota DPR pada substansinya memperjuangkan aspirasi rakyat.

Fakta empirik berkata lain. Kinerja DPR dalam tiga fungsi ini jeblok. Tak terlihat indikasi-indikasi integritas kinerja DPR.  Bahkan, DPR baru hasil Pemilu 2014 yang secara genetik berkarakter produktif, militan, dan kompeten tak memantulkan kecenderungan peningkatan kualitas kinerja dalam tiga fungsi utama itu. Penilaian FORMAPPI (Desember 2014-Mei 2015) atas kinerja DPR pada tiga masa persidangan tahun sidang pertama 2014-2015 menunjukkan capaian: legislasi di bawah 30 persen; anggaran memihak pemenuhan kepentingan sendiri (dana pembangunan rumah aspirasi Rp 1 triliun, dana aspirasi Rp 11,5 triliun); pengawasan relatif nihil jika diacukan pada tiadanya tindak lanjut temuan-temuan BPK oleh DPR; dan, serap aspirasi  tidak terdata kalaupun tidak ada sama sekali. Alih-alih melakukan upaya peningkatan kinerja, DPR malahan mencari-cari fungsi baru yang bukan bagian utama mandat perwakilan rakyat, yaitu fungsi diplomatik.

DPR kurang mampu dan berusaha sepenuhnya menjalankan peran representasinya. Hasil kerjanya memperjuangkan aspirasi rakyat tak kelihatan, kalaupun bukan tak ada. Meski dapat mencegah  kesewenang-wenangan eksekutif dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, DPR mengalami kesulitan menjelaskan keberhasilannya ini kepada konstituen. Sebab, DPR  kurang meluangkan waktu dan forum yang intens untuk berkomunikasi dengan konstituen. Dengan alasan keterbatasan dukungan fasilitas, bertemu dengan konstituen yang beragam dan menjangkau dapil yang luas adalah pekerjaan yang melelahkan; apalagi tak ada insentif langsung didapat dari forum itu, makin memperkuat keengganan anggota berlama-lama tinggal di dapil. Dari alokasi waktu 30 hari kerja reses untuk temu konstituen di dapil, anggota DPR biasanya hanya mengambil 10 hari. Jika ini sebanding lurus dengan cakupan komunikasi dan serapan aspirasi konstituen, maka capaiannya hanya 30 persen. Anggota DPR tampak kurang berkehendak mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada, dan kurang berniat menyerap secara mendalam aspirasi dari, semua ragam kelompok konstituen di dapil.

Dalam kondisi itu, UP2DP diyakini anggota DPR akan jadi bukti di hadapan konstituen  bahwa dia memenuhi aspirasi masyarakat setempat.  Namun, tampaknya bukan kepedulian anggota DPR jika UP2DP itu hanya memenuhi 30 persen aspirasi, atau bahkan kurang.  Yang penting ada pujian dan dukungan semakin kuat masyarakat setempat. Jika ini kasusnya, UP2DP benar-benar reduksi kalau bukan pengingkaran makna peran representasi rakyat jadi pemenuhan kepentingan diri anggota DPR. Ini bukti anggota DPR menyangkal sendiri sumpahnya memperjuangkan aspirasi rakyat. Ini jelas pertaruhan aspirasi rakyat yang sangat mahal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar