Sekolah Unggul dan
Penyakit Kambuhan Tahun Ajaran Baru
Indira Permanasari ;
Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
14 Juli 2015
Jelang tahun ajaran baru, sejumlah
sekolah mulai "diserbu" para orangtua murid yang mencari sekolah
terbaik bagi putra-putri mereka. Bangku-bangku sekolah yang difavoritkan
masyarakat yang dikenal sebagai "sekolah unggulan" menjadi rebutan.
Lantas, apakah yang dimaksud dengan sekolah unggul itu?
Selama bertahun-tahun, sejumlah
sekolah, terutama sekolah negeri tertentu, menjadi incaran. Cap sekolah
favorit atau sekolah unggulan dilekatkan pada sekolah-sekolah itu oleh
masyarakat. Di sejumlah daerah, termasuk di ibu kota DKI Jakarta, demi
keadilan dan transparansi, pemerintah daerah menerapkan sistem penerimaan
mahasiswa baru secara daring untuk sekolah negeri. Sistem komputer akan
"menghitung" dengan mempertimbangkan pilihan siswa, nilai, dan daya
tampung di sekolah itu. Pada umumnya, siswa dengan nilai-nilai ujian nasional
tertinggi kemudian berkumpul di sekolah-sekolah favorit tersebut.
Di tengah situasi kompetitif itu,
terdapat orang-orang yang mengambil jalan pintas dengan berbuat curang.
Kecurangan ada yang dilakukan oleh orangtua, pihak sekolah, ataupun oknum
lain. Maka, setiap tahun ajaran baru tiba, kambuh pula penyakit penyuapan,
penjualan kursi, sampai penyusupan calon murid dengan imbalan tertentu.
Untuk tahun ini, secara umum,
Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menemukan sejumlah
modus kecurangan, yakni upaya menyusupkan siswa ke sekolah incaran, pada
umumnya sekolah negeri, termasuk sekolah unggulan. Modus lain ialah
menghadirkan oknum yang mengaku sebagai lembaga swadaya masyarakat, wartawan,
hingga dari Program Indonesia Pintar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud). Nama pejabat dicatut dan oknum datang dengan surat berkop
Kemdikbud untuk memaksa agar sekolah menerima "calon siswa" yang
mereka bawa.
Ada juga modus pemalsuan kartu
keluarga di daerah yang menerapkan sistem zonasi, yakni murid harus mendaftar
ke sekolah sesuai dengan domisilinya (rayonisasi). Demi anak masuk sekolah
incaran, ada yang sengaja membuat kartu keluarga palsu. Pada kasus lain,
inspektorat jenderal menemukan sekolah-sekolah yang sengaja menyusupkan siswa
meskipun kuota sudah penuh (Kompas, 10 Juli 2015).
Beragam motivasi orangtua atau
wali murid mengincar sekolah tertentu, terutama sekolah negeri yang
difavoritkan. Salah satu motivasi ialah terpenuhinya harapan bahwa anak
terjamin pendidikannya ke depan, termasuk ketika akan masuk perguruan tinggi
(Kompas, 23 April 2015).
Di sejumlah sekolah negeri,
persentase tembus ke perguruan tinggi negeri terbilang besar. Walau masih
harus dilihat lebih dalam lagi, apakah daya tembus perguruan tinggi negeri
yang kompetitif itu karena murid yang masuk ke sekolah itu pada dasarnya
sudah memiliki kemampuan akademis tinggi, proses belajar bermutu, atau berkat
bantuan pelatihan di bimbingan belajar. Motivasi lain, almamater dari sekolah
yang difavoritkan dipandang penting dalam mencari pekerjaan kelak.
Sekolah
unggul
Lantas, apa yang sebetulnya
dimaksud dengan sekolah unggul? Pemerintah pernah membuat "strata"
sekolah dan mengenalkan istilah sekolah unggulan, mulai dari unggulan lokal
sampai nasional. Istilah sekolah unggulan antara lain diperkenalkan mantan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro pada 1994. Waktu itu,
Wardiman Djojonegoro menegaskan, pendirian sekolah-sekolah unggul di daerah
dimaksudkan untuk mempercepat transfer ilmu pengetahuan dan kesempatan yang
sama kepada anak didik di setiap daerah dalam bidang pendidikan berkualitas
(Kompas, 2 Mei 1994).
Departemen Pendidikan Nasional,
saat itu, dalam pengembangan sekolah unggul membuat sejumlah kriteria sekolah
unggulan, seperti, input diseleksi secara ketat sesuai dengan kriteria dan
prosedur tertentu. Tidak hanya nilai rapor dan Ebtanas, tetapi juga rangkaian
tes prestasi dan psikotes untuk mengukur intelegensia. Kriteria lain ialah
sarana belajar menunjang; lingkungan belajar kondusif; guru dan tenaga
kependidikan unggul, baik dalam penguasaan kurikulum, metode mengajar, maupun
komitmen; kurikulum diperkaya; kurun waktu lebih lama dari sekolah lain;
serta proses belajar berkualitas. Sekolah tidak hanya memberi manfaat bagi
peserta didik, tetapi juga memiliki resonansi sosial terhadap lingkungan sekitar;
adanya pembinaan kemampuan kepemimpinan; dan kegiatan tambahan di luar
kurikulum, seperti remedial dan pengayaan.
Namun, pengertian sekolah unggul
juga terbuka interpretasinya. Sekolah unggul dapat pula dimaknai sebagai
sekolah yang efektif yang ditandai antara lain dengan kepemimpinan
profesional; visi dan misi bersama; lingkungan belajar; konsentrasi pada
proses pembelajaran; pengajaran bermakna; adanya harapan yang tinggi;
pengayaan yang positif; organisasi pembelajar; dan adanya kemitraan dengan
orangtua. Intinya, sekolah mampu memberikan nilai tambah kepada siswanya
(Harris dan Bennet, 2001). Sekolah mampu memenuhi bahkan melebih harapan atau
standar.
Ke depannya, "model"
sekolah unggulan yang didorong pemerintah pada pertengahan 1990-an itu menuai
kritik karena menciptakan diskriminasi. Pemerintah semestinya menciptakan
pendidikan berkualitas secara merata bagi semua anak bangsa. Istilah unggulan
atau standar internasional atau strata lainnya tidak lagi digunakan di
lingkungan birokrasi pendidikan.
Setidaknya, dari fenomena
berebutan masuk ke sekolah-sekolah yang difavoritkan itu, terlihat bahwa
tuntutan masyarakat akan pendidikan dan sekolah semakin tinggi di dunia yang
kian kompetitif. Di tengah kesadaran dan tuntutan itu, pemerintah diharapkan
untuk berperan besar dalam meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan secara
lebih merata. Ketidakmerataan akses dan kualitas pendidikan (termasuk
sekolah), pada akhirnya memunculkan rasa ketidakadilan dan putus asa bagi
masyarakat. Apalagi, ketika sekolah masih dipandang masyarakat sebagai tangga
naik status sosial dan ekonomi.
Selain itu, dilihat dari
kriteria-kriteria sekolah unggul di atas, setidaknya dapat dikaji lagi sejauh
mana sekolah-sekolah yang difavoritkan masyarakat dan menjadi rebutan itu
memang memenuhi kriteria sebagai sekolah unggul. Jangan-jangan masyarakat
hanya terpaku pada kabar dari mulut ke mulut terkait dengan persentase
lulusan sekolah itu yang tembus ke perguruan tinggi negeri favorit atau
sekadar cap "unggulan" yang melekat selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar