Menyikapi Ekologi secara Integral
J
Soedradjad Djiwandono ;
Guru Besar Emeritus Ekonomi
UI;
Professor
of IPE, Rajaratnam School of International Studies, NTU, Singapura
|
KOMPAS,
09 Juli 2015
Baik yang setuju maupun tidak,
mengagumi ataupun meremehkan, rasanya tidak ada orang yang dapat mengabaikan
ensiklik baru Pope Francis ”Laudato Si” yang minggu lalu diumumkan.
Judul itu diambil dari madah
pujian untuk meluhurkan Tuhan yang menciptakan manusia, organisme lain, dan
alam semesta, Laudato si, mi Signore, ”Terpujilah Engkau, Tuhan” ciptaan
Santo Franciscus dari Asisi.
Franciscus atau Francis adalah
nama yang dipakai Kardinal dari Argentina, Jose Mario Bergoglio, sejak
terpilih menjadi Kepala Gereja Katolik Romawi hampir dua tahun lalu. Kita
mengenalnya sebagai Bapa Suci Franciscus atau Pope Francis.
Pemimpin tertinggi Gereja Katolik
Roma dalam menyampaikan pesan dan ajaran-ajarannya kepada hierarki gereja dan
umat kristiani ataupun kepada semua orang di bumi dilakukan dengan menulis surat
yang beragam tingkatnya. Ensiklik adalah surat yang tertinggi tingkatnya.
Dalam ensiklik baru ini Pope
Francis menyampaikan pesan kepada semua orang agar menyikapi secara integral
permasalahan ekologi, hubungan kita dengan lingkungan. Manusia dalam kaitannya
dengan masyarakat, bangsa dan negara, juga organisme lain maupun alam
sekitar, semua berhubungan satu dengan yang lain. Dan semua ini terkait
dengan Tuhan Allah yang menciptakan mereka.
Ajaran
sosial gereja
Bahwa masalah utama ekologi dewasa
ini adalah perubahan iklim para ahli telah menunjukkannya. Baru-baru ini
studi Lancet-UCL Commission dengan
WHO menunjukkan kenaikan suhu udara dunia berpengaruh buruk terhadap
kesehatan manusia dan dapat menghapus kemajuan kesehatan yang dicapai 50
tahun terakhir.
Akan tetapi, tentang siapa
penyebab perubahan iklim dan merusak lingkungan, siapa yang harus bertanggung
jawab, tetap saja jadi perdebatan di arena politik dan ilmu pengetahuan.
Ensiklik ini muncul pada waktu
seluruh dunia merasakan perubahan iklim yang semakin mengganggu kenyamanan
hidup; banjir di banyak tempat bersamaan dengan kekeringan di tempat lain,
musim dingin yang mencekam dan udara panas luar biasa dan menimbulkan banyak
kematian seperti di India dan Pakistan. Semua serba ”salah mongso”.
Apakah seorang Pope membahas
permasalahan perubahan iklim, penyebab, dan kaitannya dengan kemiskinan
merupakan sesuatu yang baru? Tidak juga. Kepedulian tentang masalah-masalah
sosial-ekonomi-politik sudah lama ditunjukkan oleh para pemimpin agama, termasuk
para pendahulu Pope Francis.
”Rerum Novarum”, ensiklik Pope Leo
XIII yang mendukung hak pekerja berserikat memerangi eksploitasi, dikeluarkan
menjelang akhir abad sembilan belas dan menjadi dasar ajaran sosial gereja
Katolik. Tahun 1963 Pope John XXIII mengeluarkan ensiklik ”Pacem in Terris” untuk mencegah
perang nuklir.
Pope Paul VI dalam ensiklik ”Population Progresso” tahun 1967
menganjurkan negara-negara maju membantu negara berkembang. Pada 1971, beliau
mengeluarkan surat apostolik ”A Call
for Action” yang menyebutkan pencemaran lingkungan sebagai masalah
sosial.
Pimpinan gereja Katolik selalu
menunjukkan kepedulian terhadap masalah sosial dan kemanusiaan dengan
menunjukkan jalan keluar menurut ajaran gereja. Konsili Vatikan II tahun 1965
mengeluarkan Konstitusi Pastoral ”Gaudium et Spes”, suatu pedoman pastoral
yang menjabarkan pokok-pokok ajaran gereja Katolik di dunia modern tentang
bagaimana umat kristiani menyikapi permasalahan ekonomi, kemiskinan, keadilan
sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekumenisme.
Inti
pesan ”Laudato si”
Pesan ini dikeluarkan tepat waktu:
menjelang pertemuan puncak PBB tentang perubahan iklim, Desember 2015, di
Paris.
Radio Vatikan yang menyiarkan
pokok-pokok ensiklik yang dikutip Zenit.org menunjukkan bahwa surat Pope
Francis ini merupakan pemikiran tentang ekologi secara integral, mengaitkan
pemeliharaan lingkungan dengan memperhatikan keadilan bagi mereka yang miskin
dan yang paling menderita.
Ensiklik ini secara lugas
menunjukkan bahwa penyebab utama kerusakan alam dan lingkungan adalah negara
dan masyarakat yang kaya dan berkuasa dengan pola hidup konsumerisme,
hedonisme, keserakahan, dan mementingkan diri sendiri.
Intinya bagaimana jawaban kita
terhadap pertanyaan apakah yang akan kita wariskan kepada anak-cucu dan semua
yang hidup setelah kita nanti? Pope Francis menekankan bahwa jawaban tersebut
hanya bisa kita berikan kalau kita mengubah sistem politik, sosial dan
kultur, ataupun pola hidup kita masing-masing yang selama ini telah
menyebabkan kerusakan lingkungan.
Hanya dengan cara yang secara
radikal memperbaiki hubungan kita dengan Tuhan, dengan semua tetangga dan
alam, kita akan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi saat ini. Ilmu
pengetahuan membantu kita untuk mengetahui apa dan seberapa besar kerusakan
lingkungan yang terjadi. Menggunakan pendidikan dan melaksanakan dialog
dengan semua pihak terkait menjadi kunci kita bersama menemukan jalan keluar
dari jurang kehancuran.
Masalah ekologi yang menjadi
tantangan kita semua menyangkut pencemaran lingkungan, perubahan iklim, air
(bersih), keragaman hayati, retaknya masyarakat, dan ketimpangan pendapatan
yang meningkat. Semua ini telah dibahas dan diusahakan penanganannya, tetapi
belum ada jalan keluar yang memadai. Pope Francis merangkum semua
permasalahan ini dalam suatu pendekatan integral yang menunjukkan keterkaitan
semua, satu dengan yang lain. Namun, pada akhirnya semua ini berhubungan
dengan Tuhan Sang Pencipta.
Manusia diciptakan Tuhan untuk
memanfaatkan semua ciptaan Tuhan. Akan tetapi, karena keserakahan dan sikap mementingkan
diri sendiri (self centered) manusia telah mengartikan anugerah Tuhan
tersebut menjadi hak untuk menghamburkan sumber-sumber kekayaan alam tanpa
memperhatikan kehidupan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Dalam hal ini mereka
yang miskin dan lemah selalu menjadi korban dari kerusakan alam akibat
perbuatan manusia, utamanya yang kaya dan berkuasa.
Dalam ”Laudato si” Pope Francis
memadukan pesan dan ajaran para pendahulunya maupun pimpinan gereja yang lain
dan mengolahnya menjadi pandangan gereja dalam ekologi integral: menyangkut
ekologi kemanusiaan, ekologi sosial, dan ekologi alam. Pandangan demikian
menghormati manusia sebagai persona yang menjalani kehidupan dalam hubungan
sosial yang adil, serasi dan peduli dengan lingkungan sesuai dengan rencana
Tuhan.
Ensiklik ini berbasis kepada
ajaran gereja yang bertumpu kepada kasih; dan bagaimana secara nyata semua
berbagi kasih yang kita terima dari rahmat Tuhan dengan yang lain, terutama
yang miskin dan lemah. Tidak ada yang boleh berpangku tangan, semua dapat
memberi sumbangan; tua atau muda, kaya atau miskin, penguasa dan yang tidak
punya kuasa. Mengapa tidak, semua dapat segera mulai berpartisipasi, misalnya
dengan tidak sembarangan membuang sampah, dan seterusnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar