Kontroversi Jaminan Hari Tua
Timboel Siregar ;
Sekjen OPSI; Koordinator Advokasi BPJS Watch
|
KOMPAS,
29 Juli 2015
Berbagai kontroversi dan hiruk-pikuk masalah pencairan
dana Jaminan Hari Tua mewarnai pelaksanaan awal secara penuh BPJS Ketenagakerjaan
pada 1 Juli 2015 lalu. Para pekerja peserta program Jaminan Hari Tua (JHT)
yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak bisa lagi mencairkan dana
JHT-nya secara keseluruhan pasca pemberlakuan UU No 40 Tahun 2004 (UU SJSN)
dan Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2015 tentang JHT (PP JHT). Atas
peraturan baru ini, para pekerja melakukan penolakan masif dengan membuat
petisi di media sosial menuntut agar skema pencairan dana JHT dikembalikan
seperti semula, yaitu pencairan dana JHT setelah lima tahun kepesertaan plus
satu bulan pasca PHK. Ketentuan baru pencairan dana JHT yang mensyaratkan
masa kepesertaan sepuluh tahun dengan pembatasan pencairan dana paling banyak
10 persen secara tunai atau 30 persen untuk perumahan dari jumlah JHT
(diamanatkan Pasal 22 Ayat 4 dan Ayat 5 PP No 46 Tahun 2015) tidak menjawab
kebutuhan para pekerja, khususnya pekerja yang mengalami PHK.
Atas permasalahan ini, pekerja dan serikat pekerja
langsung menyalahkan kehadiran PP JHT yang baru ditandatangani 30 Juni lalu.
PP JHT dinilai tak mengakomodasi kebutuhan pekerja yang mengalami PHK.
Pemerintah menyadari ini, dan atas protes itu, Presiden Jokowi langsung
memanggil dan memerintahkan Menteri Tenaga Kerja dan Direktur Utama BPJS
Ketenagakerjaan merevisi PP JHT. Meski pekerja hanya meminta pengembalian
skema kepesertaan lima tahun plus satu bulan pasca PHK, Presiden memberikan
arahan agar dana JHT bisa langsung dicairkan seluruhnya kepada pekerja yang
mengalami PHK tanpa syarat lima tahun kepesertaan.
Masalahnya di UU SJSN
Apakah memang PP JHT menjadi sumber masalah sehingga
pemerintah langsung ingin merevisinya? Jika membaca UU SJSN lebih cermat,
Pasal 35 Ayat (2) secara eksplisit mensyaratkan pencairan dana JHT secara
keseluruhan hanya bisa dilakukan pada tiga kondisi, yaitu pekerja pensiun,
meninggal dunia, atau pekerja mengalami cacat total. UU SJSN tak membuka
ruang bagi pencairan dana JHT karena alasan PHK. Memang Pasal 37 Ayat (3) UU
SJSN memungkinkan pencairan dana JHT bagi pekerja yang ter-PHK maupun pekerja
yang masih aktif bekerja, tetapi pasal itu mensyaratkan kepesertaan minimal
sepuluh tahun dan dana yang bisa dicairkan hanya sebagian sampai batas
tertentu. Klausula "sebagian
sampai batas tertentu" inilah yang diterjemahkan PP JHT dengan aturan paling
banyak 10 persen secara tunai atau 30 persen untuk perumahan dari jumlah JHT.
Memang PP JHT tak memperbolehkan pencairan dana JHT secara
keseluruhan bagi pekerja yang mengalami PHK karena UU SJSN tak
mensyaratkannya. Namun, Pasal 26 Ayat (1d) PP JHT mewajibkan pencairan dana
JHT secara keseluruhan bagi peserta, yaitu tenaga kerja asing (TKA) ataupun
pekerja Indonesia yang meninggalkan Indonesia untuk selamanya. Kehadiran
Pasal 26 Ayat (1d) sudah melanggar ketentuan Pasal 35 Ayat (2) UU SJSN, dan kehadiran
pasal ini juga tak konsisten. Pekerja yang mengalami PHK tak bisa mencairkan
dana JHT secara keseluruhan, tetapi TKA yang ter-PHK, dan tentunya ia akan
pulang ke negaranya, bisa langsung mencairkan JHT-nya.
Jika membandingkan dengan ketentuan sebelumnya, UU No 3
Tahun 1992 (UU Jamsostek), memang manfaat program JHT juga diperuntukkan bagi
pekerja yang memasuki usia pensiun, mengalami cacat total, atau meninggal
dunia. Namun, pada Pasal 15-nya dibuka peluang pencairan dana JHT secara
keseluruhan pada kondisi tertentu. Ketentuan pada kondisi tertentu ini oleh
PP No 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jamsostek diartikan sebagai
kondisi pekerja yang mengalami PHK dan masa kepesertaan minimal lima tahun.
Atas dasar inilah pekerja yang mengalami PHK dan sudah memiliki masa
kepesertaan minimal lima tahun dapat mencairkan dana JHT.
Tentunya ada perbedaan signifikan antara UU SJSN dan UU
Jamsostek. Jika UU Jamsostek memberikan ruang kepada pemerintah melalui PP No
14 Tahun 1993 untuk mengatur soal pencairan dana JHT secara keseluruhan bagi
pekerja yang ter-PHK, di UU SJSN pemerintah tak mengatur hal itu. Jadi,
sebenarnya penyebab kisruh masalah pencairan dana JHT ini ada di UU SJSN,
bukan di PP JHT.
Oleh karena itu, rencana pemerintah yang hanya mau merevisi
PP JHT guna mengakomodasikan ketentuan pencairan dana JHT secara keseluruhan
bagi pekerja yang ter-PHK adalah tidak tepat. Yang harus direvisi terlebih
dahulu adalah UU SJSN. Misalnya, dengan menambah satu pasal seperti Pasal 15
UU Jamsostek, barulah setelah itu PP JHT direvisi. Kalaupun pemerintah
memaksakan revisi hanya pada PP JHT, hasil revisi PP JHT ini akan
bertentangan dengan UU SJSN.
PHK, JHT, dan usulan revisi
Penulis berpendapat, proses penyusunan UU SJSN tak
terlepas dari kehadiran UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Kedua UU ini sudah ada sebelum UU SJSN disahkan. Dengan lahirnya UU
Ketenagakerjaan dan UU PPHI, diharapkan kondisi ideal akan terjadi, yaitu
pekerja dan pengusaha akan dengan mudah membangun hubungan industrial yang
harmonis sehingga pekerja bisa bekerja hingga pensiun. Jika harus ter-PHK,
pekerja dapat kompensasi PHK, dengan proses penyelesaian perselisihan PHK-nya
sudah dibatasi paling lama 140 hari kerja. Jadi, dengan demikian, UU SJSN
hanya diperuntukkan bagi pekerja pensiun, meninggal dunia, atau cacat total.
Faktanya, kondisi ideal yang diharapkan ini tak terjadi.
PHK mudah dilakukan, banyak pekerja yang ter-PHK tak dapat kompensasi PHK,
dan bilapun akan mendapatkannya, mereka harus menunggu proses penyelesaian
perselisihan di Pengadilan Hubungan Industrial hingga MA selama 2-4 tahun.
Kehadiran sistem kerja alih daya yang dilegitimasi UU Ketenagakerjaan membuat
pekerja alih daya mudah ter-PHK dan sulit mendapatkan kompensasi PHK karena
mayoritas pekerja alih daya diikat oleh kontrak kerja.
Sebenarnya pencairan JHT tak diperlukan apabila kondisi
ideal itu dapat diimplementasikan. Pada kondisi tersebut, pekerja akan lebih
senang menempatkan dananya di BPJS Ketenagakerjaan guna menjamin hari tuanya
nanti. Tentunya juga imbal hasil dana JHT yang ditempatkan pasti lebih besar
dari rata-rata suku bunga deposito di bank pemerintah karena PP JHT
mewajibkannya. Pada 2014 saja BPJS Ketenagakerjaan mampu memberikan imbal
hasil 10,55 persen untuk dana JHT yang ditempatkan pekerja. Memang dana JHT
bukanlah Dana Pengangguran. Dana JHT diperuntukkan bagi masa tua pekerja,
tetapi kehadiran JHT selama ini sangat membantu pekerja ketika mengalami PHK.
Oleh karena itu, tuntutan pekerja agar regulasi pencairan JHT dikembalikan
seperti semula adalah sesuatu yang logis.
Tentunya PP JHT yang ada saat ini harus direvisi. Rencana
pemerintah mengatur kembali ketentuan pencairan dana JHT untuk pekerja yang
ter-PHK merupakan hal yang baik, tetapi ini tentunya setelah UU SJSN direvisi
terlebih dahulu. Arahan Presiden Jokowi agar dana JHT bisa langsung dicairkan
seluruhnya kepada pekerja yang ter-PHK tanpa harus menunggu masa kepesertaan
minimal lima tahun sebaiknya dipertimbangkan lagi.
Penulis mengusulkan agar syarat masa kepesertaan tetap
dipertahankan, tetapi diturunkan menjadi minimal tiga tahun, termasuk juga
untuk TKA. Sebenarnya syarat kepesertaan minimal lima tahun sudah biasa dan
bisa diterima pekerja. Namun, mengingat kondisi ekonomi saat ini yang belum
stabil dan berpengaruh pada eksistensi pekerja, persyaratan masa kepesertaan
minimal tiga tahun bisa jadi solusi.
Selain itu, jika pencairan JHT bisa dilakukan tanpa syarat
masa kepesertaan, dana JHT akan menjadi dana jangka pendek dan menjadi dana
berjaga-jaga saja. Tentunya hal ini akan berpengaruh pada pola investasi yang
dilakukan BPJS Ketenagakerjaan. Jika dana JHT ditempatkan pada instrumen
investasi jangka pendek, peluang peserta JHT mendapatkan imbal hasil dua
digit seperti tahun lalu akan semakin sulit tercapai.
Selain masalah di atas, ada dua pasal di PP JHT yang
memang perlu direvisi juga, yaitu Pasal 4 Ayat 2 yang tak mengakomodasi
pekerja penerima upah yang bekerja pada yayasan atau lembaga sosial keagamaan
dan tentang besaran iuran yang diatur pada Pasal 16. Sebaiknya pemerintah
menaikkan iuran JHT menjadi 7 persen, yaitu pemberi kerja mengiur 4 persen
dan pekerja 3 persen. Peningkatan iuran JHT ini akan memperkuat tabungan
pekerja di masa tuanya nanti.
Penyelesaian kontroversi JHT tak boleh berhenti pada
revisi UU SJSN dan PP JHT saja, tetapi harus diikuti sosialisasi kepada semua
pemangku kepentingan, terutama pemberi kerja dan pekerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar