Kekuasaan dan Kebodohan
Jakob
Sumardjo ; Budayawan
|
KOMPAS,
11 Juli 2015
Kekuasaan negara di tangan
orang-orang bodoh dan bebal akan mendatangkan musibah, baik rakyatnya bodoh
maupun rakyatnya pintar. Kekuasaan apa pun di tangan orang-orang pintar dan
bijaksana akan mendatangkan berkah, baik rakyatnya bodoh maupun rakyatnya
pintar. Kuasa adalah wewenang untuk menentukan, baik pemerintahan maupun
pengadilan. Yang punya kuasa selalu jauh lebih sedikit daripada mereka yang
di bawah kekuasaan. Maka, mereka yang berkuasa memiliki hak-hak istimewa dan
berbagai kewajiban yang juga istimewa.
Kalau negara tidak aman, kalau
negara kelaparan, kalau negara semrawut, alamat kesalahan pada penguasa,
bukan pada rakyat. Rakyat tidak pernah salah, yang salah penguasa.
Sebaliknya, kalau rakyat hidup
makmur dan tercukupi kebutuhannya, yang berjasa adalah para penguasa. Rakyat
akan memasang potret diri mereka di kamar depan rumah dan membikin
patung-patungnya.
Rakyat memilih penguasa untuk
memenuhi kebutuhan esensialnya, yakni hidup sehat walafiat, serba kecukupan,
dan aman tenteram hidup bersama. Kewajiban para penguasa adalah menghadirkan
ketiga kebutuhan dasar rakyat itu. Kekuasaan berkhianat kalau bekerja
sebaliknya, misalnya berobat ke luar negeri ketika rakyatnya tak mampu
berobat, memiliki banyak rumah, kendaraan pribadi dan kebun-kebun luas,
sementara rakyat digusur rumahnya dan berdesakan dalam bus transportasi umum.
Kekuasaan demikian bukan hanya
bodoh, melainkan juga buta-tuli dan berhati batu. Kekuasaan yang cerdas
senantiasa melihat dan mendengar suara rakyat dan peka terhadap kegagalan
menyejahterakan rakyatnya.
Kekuasaan yang bodoh tidak malu
dirinya super sejahtera sementara rakyat yang menjadi tanggung jawabnya ada
di bawah garis kemiskinan. Penguasa-penguasa yang demikian itu adalah
predator yang rakus menghabisi bagian rakyatnya.
Pemimpin
cerdas
Singapura baru saja kehilangan
bapak bangsanya, Lee Kuan Yew. Negara pulau kecil ini berhasil
menyejahterakan rakyatnya jauh di atas Indonesia yang kaya raya sumber
alamnya. Seluruh rakyat Singapura mengakui kekuasaan cerdas tokoh ini.
Jelaslah bahwa kegagalan negara dan bangsa kita disebabkan oleh berkuasanya
yang bodoh.
Lebih baik memiliki kekuasaan
cerdas meskipun rakyatnya bodoh atau kekuasaan bodoh meskipun rakyatnya
cerdas?
Akhir-akhir ini tampak kegeraman
rakyat Indonesia yang cerdas terhadap mereka yang memegang kekuasaan, tetapi
pamer kebodohan. Kekuasaan yang bodoh ini sangat berbahaya ketika mereka
keras kepala mempertahankan otak udangnya sebagai satu-satunya kebenaran.
Di masa lampau wewenang kekuasaan
negara bersifat ilahiah. Kekuasaan itu suci. Sampai sekarang pun samar-samar
kepercayaan itu masih hidup, misalnya setiap calon penguasa diambil sumpah di
bawah kitab suci. Namun, kesucian kekuasaan itu sudah amat tercemar di
Indonesia. Mulut tidak sejalan dengan hati dan perbuatan. Mereka menafikan
wewenang yang ilahiah itu. Kekuasaan tidak hanya bodoh, tetapi juga penuh
cemar.
Semua perbuatan kekuasaan itu
berakar dari niat kekuasaan. Meskipun niatnya baik, tetapi bodoh dalam
pemikiran, hasil kerjanya tidak baik.
Sebaliknya, apabila sejak awal
niat kekuatannya tidak baik, tetapi pemikirannya cerdas, kegagalan dapat
dicari dalihnya. Yang paling celaka kalau niatnya sudah tidak baik dan
pemikirannya juga bodoh. Maka, kegagalan dibela mati-matian. Itulah yang
terjadi sekarang.
Berawal
dari niat
Akar kekuasaan ada di niat. Niat
baik hanya dapat dibuktikan dengan hasil kerja kekuasaan, bukan pada
kata-katanya. Mengingat kegagalan demi kegagalan kekuasaan di Indonesia
selama ini, apakah niat para penguasanya memang tidak baik (tidak untuk
menyejahterakan rakyat) ditambah pemikirannya juga bodoh atau niatnya
sebenarnya baik hanya pemikirannya bodoh (tidak membumi dalam realitas)?
Kalau niat kekuasaan sejak awal
sudah tidak baik, dengan pemikiran apa pun hasilnya tentu tidak baik. Namun,
kalau niat kekuasaannya baik, meski gagal, jelas pemikirannya yang jelek. Ini
akibat tak percaya pada hasil pemikiran bangsa sendiri.
Kita cenderung meniru keberhasilan
bangsa-bangsa lain. Padahal, kesuksesan tiap negara dan bangsa bertolak dari
realitas persoalan mereka. Kita tidak bisa meniru negara dan bangsa lain.
Mungkin kebodohan jenis inilah
penyebab bangsa ini gagal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar