Sabtu, 11 Juli 2015

Pelajaran dari Yunani

Pelajaran dari Yunani

   Denni P Purbasari  ;  Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
                                                           KOMPAS, 10 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Politicians have become masters in the dark arts of expectation management.
”Economist”, 17 Januari 2015

Ketakutan pasar pada awal tahun lalu terbukti. Pada saat Alexis Tsipras (40) dari partai sayap kiri Syriza diperkirakan akan memenangi pemilihan umum di Yunani pada 25 Januari 2015, harga obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Yunani pun anjlok.
Pasar sudah membayangkan bahwa masa depan perekonomian Yunani bakal tidak jelas. Alasannya: selama masa kampanye, Alexis Tsipras menyerukan agenda anti penghematan fiskal yang populis dan berlawanan dengan nasihat para kreditornya, yaitu Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa (ECB), dan Dana Moneter Internasional (IMF), yang sering disebut Troika.
Dari utang ke retorika kedaulatan
Yunani adalah awal krisis Eropa tahun 2009. Utang Yunani saat itu mencapai 120 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) negara itu dan defisit fiskalnya mencapai 13 persen terhadap PDB. Takut utang tidak dibayar, pasar pun menarik dana-dana mereka keluar dari Yunani. Terjadilah krisis.
Karena Yunani bagian dari zona euro, Troika pun memberikan suntikan dana talangan (bail out) setelah George Papandreu, Perdana Menteri Yunani pada saat itu, setuju melakukan penghematan fiskal, restrukturisasi utang, dan reformasi struktural yang menjadi syarat pengucuran dana talangan. Masalahnya, menghemat fiskal ketika perekonomian sedang krisis, selain berat bagi rakyat, juga tak populer bagi politisi. Apalagi, apabila penghematan fiskal ini terkesan dipaksakan oleh institusi asing.
Akan tetapi, itulah kenyataannya. Setiap perekonomian harus membayar mahal kesalahan yang dibuatnya, sama seperti Indonesia yang harus menandatangani letter of intent dengan IMF dulu. Di mana pun, tak ada kreditor mau meminjamkan uang tanpa syarat—apalagi jika debitornya terbukti salah urus ekonomi. Sebab, kreditor bukanlah mesiah. Ketika pintu lain tertutup, mereka mau ”menolong” jika yakin uangnya kembali.
Yunani bukanlah satu-satunya negara di Eropa yang terjerembap ke dalam krisis. Namun, Yunani paling lambat pulih dibandingkan dengan Italia, Irlandia, Portugal, dan Spanyol. Penyebabnya adalah sikap setengah hati Pemerintah (politisi) Yunani dalam melakukan agenda reformasi. Setelah diberi utang, oleh Yunani, kemudian sering direnegosiasikan atau bahkan direferendumkan.
Padahal, menunda reformasi tidak baik untuk mempercepat deleveraging dan pemulihan ekonomi. Akibatnya, meski perbaikan ekonomi terjadi, resesi masih menyelimuti perekonomian Yunani setelah lima tahun dilakukan bail out. Kesabaran masyarakat pun menipis.
Pada saat perekonomian sedang sulit itulah, Tsipras mengusung agenda anti penghematan fiskal dalam pemilu. Ia menyorongkan pemotongan pajak, rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS), dan kenaikan pensiun. Tentu saja agenda ini sangat populer—meski too good to be true. Bagi rakyat Yunani, Tsipras ibaratnya menjanjikan air setelah kemarau panjang.
Selain itu, sikap anti penghematan fiskal yang diambil Tsipras pun ditangkap orang Yunani sebagai simbol dari perlawanan Yunani dari cengkeraman Troika. Yunani berdaulat, begitulah kira-kira retorikanya. Sangat heroik. Tsipras pun terpilih sebagai perdana menteri. Ia menjadi pemimpin Eropa pertama yang anti penghematan fiskal. Namun, seperti biasa, janji adalah satu hal, sedangkan merealisasikannya adalah persoalan lain.
Tsipras yang dulunya adalah seorang outsider, kini menjadi seorang insider di pemerintahan. Budget pemerintah yang dulunya hanyalah sebuah hitung-hitungan di atas kertas, kini berubah menjadi persoalan nyata tentang ada tidaknya uang tunai di kocek pemerintah untuk membayar gaji PNS, pensiunan, tagihan rumah sakit, hingga utang yang telah jatuh tempo.
Demi memenuhi janji kampanyenya, Tsipras bersikeras tidak mau melakukan penghematan fiskal. Dan, setelah Yunani gagal melunasi utang kepada IMF senilai €1,6 miliar euro karena tidak mendapatkan bail out lanjutan dari Troika, dengan cerdik diadakanlah referendum. Rakyat Yunani diminta memilih, apakah mau mengikuti syarat utang Troika atau tidak. Tentu saja, rakyat yang sederhana pemikirannya memilih menjawab ”tidak”. Sebab, bagi mereka, kata ”tidak” berarti kedaulatan; bahwa Yunani mau menentukan nasibnya sendiri, bukan didikte oleh Troika.
Referendum dan legitimasi politik
Hasil referendum ini pun memperkokoh legitimasi pilihan ekonomi Tsipras. Perbedaannya, jika dulu sikap anti penghematan fiskal adalah pilihan Tsipras seorang, pasca referendum menjadi pilihan rakyat. Secara implisit ini berarti, rakyat Yunani bertanggung jawab juga atas konsekuensinya—bukan hanya Tsipras.
Masalahnya, ekonomi terlalu rumit bagi rakyat biasa. Rakyat Yunani barangkali tidak tahu bahwa setelah ini, akan sulit bagi Pemerintah Yunani untuk mencari utang. Imbal surat utang Pemerintah Yunani kini sebesar 18 persen—jauh di atas sebelum Tsipras berkuasa. Setelah gagal bayar utang kepada IMF, Yunani barangkali juga akan gagal bayar utang kepada ECB -- sebesar 3,5 miliar euro yang jatuh tempo pada 20 Juli 2015. Ini krisis tahap pertama.
Pada tahap kedua, keengganan Yunani untuk melakukan pengetatan fiskal memperbesar kemungkinan Yunani akan keluar atau dikeluarkan dari zona mata uang euro. Jika ini terjadi, Yunani akan memiliki mata uang sendiri yang nilainya rendah (siapa yang mau memegang mata uang negara yang sakit?) Orang-orang pun akan berburu euro. Mereka akan mendatangi bank, menarik uang mereka (bank run). Investor juga akan menjual obligasi dan saham mereka selagi bisa. Masyarakat memborong kebutuhan pokok, inflasi akan naik. Untuk mencegah terjadinya bank run, Pemerintah Yunani menutup bank-bank dan membatasi penarikan uang di anjungan tunai mandiri (ATM) maksimal -- sebesar 60 euro saja per hari. Pasar modal juga ditutup.
Tahap ketiga, begitu bank dibuka, barangkali akan terjadi bank run. National Bank of Greece, Bank Piraeus, Bank Ergasias, dan Bank Alpha diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas dan memunculkan dampak sistemik (Economist, 6/7/2015). Yunani kembali ke ground zero, seperti ketika dihantam krisis 2009—bahkan lebih buruk karena tak ada lagi euro. Ketika itu terjadi, popularitas Tsipras akan tergerus dan ia akan menghadapi kemarahan rakyat yang pertama kali.
Jika sudah demikian, Zeus sekalipun tidak bisa menolong Yunani. Skenario di atas barangkali terlalu pesimistis. Namun, bisa jadi terjadi. Sepenggal hikayat Yunani itu membawa pelajaran berharga bagi Indonesia: jangan main-main dengan utang dan jangan pernah membuka pintu akan terjadinya krisis lagi. Kita belum tentu bisa lolos dan sabar menghadapinya seperti pemulihan panjang pasca krisis finansial tahun 1997.
Dalam keputusasaan ekonomi, orang bisa marah dan mesiah palsu—bahkan diktator pun—bisa dilahirkan. Jika sudah begitu, kita sesungguhnya memutar jarum jam kembali. Kita kalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar