Keluar dari Resesi
Berly
Martawardaya ;
Ekonom UI;
Ketua
PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
|
KORAN
SINDO, 08 Juli 2015
Salah satu definisi yang banyak
dirujuk tentang resesi dinyatakan pada 1975 oleh ahli statistik bernama
Julius Shiskin. Menurutnya, resesi adalah ketika suatu perekonomian mengalami
pertumbuhan negatif pada dua kuartal berturut. Berdasarkan definisi tersebut,
ekonomi Indonesia yang pada triwulan IV-2014 kontraksi/negatif 2,06% dan
negatif 0,18% di triwulan I-2015 sudah berada dalam resesi. Tidak semua
resesi sama bahayanya. Intensitas dan sumber resesi juga berbeda-beda.
Resesi bisa berjalan singkat dan bisa
juga lama. Dengan mengetahui karakteristik resesi kali ini, dapat disusun
kebijakan yang tepat untuk akselerasi jalan keluar pada paruh kedua 2015.
Data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan triwulan IV terhadap triwulan
sebelumnya pada 2011-2014 selalu negatif sehingga tidak perlu terlalu
dikhawatirkan.
Pertumbuhan pada triwulan IV-2014
justru paling tinggi dibanding tiga tahun sebelumnya yang selalu lebih rendah
dari -2.14%. Bagaimana dengan triwulan I-2015? Sejak 2012, triwulan I selalu
menjadi triwulan terendah kedua pertumbuhannya dengan tren menurun (0.8% pada
2012, 0.56% pada 2013, dan 0.11% pada 2014).
Berdasarkan data tersebut,
diagnosis awal bahwa resesi kali ini masih pada tahap ringan dan tidak parah.
Tapi, respons harus disesuaikan dengan tantangan eksternal dan kondisi
internal sehingga tidak terjadi lagi.
Tantangan
Eksternal
Kondisi ekonomi dunia sedang
bergolak di Eropa dan China serta membaik di Amerika yang ketiganya memiliki
pengaruh negatif ke Indonesia. Penolakan Yunani pada referendum akan memicu
ketidakpastian dan penurunan pertumbuhan di Eropa. Ekonomi Amerika setahun
ini tumbuh lebih tinggi dari tahun sebelumnya dan terjadi penurunan
pengangguran yang cukup signifikan.
Tingkat bunga efektif The Fed
selama beberapa tahun ini ditekan hanya sekitar 0,1-0.2% untuk mendorong recovery disertai dengan open market
operation yang masif di pasar modal. Kekhawatiran kenaikan bunga The Fed
setelah kondisi ekonomi membaik telah menekan nilai tukar dan pasar modal
banyak negara berkembang termasuk Indonesia.
China yang biasanya menjadi
penyerap ekspor negara berkembang juga mengalami masalah ekonomi. Pertumbuhan
yang sempat menembus 12% pada 2010, pada triwulan I- 2015 turun drastis
menjadi ”hanya” 7%. China juga sedang melakukan transisi dari dimotori ekspor
ke aktivitas domestik. Akibatnya, impornya dari negara berkembang juga
berkurang.
Sumber
Perlambatan
Data BPS menunjukkan bahwa
terdapat beberapa sektor yang melambat secara signifikan dalam enam bulan
terakhir yaitu pertambangan, industri, perdagangan, dan konstruksi. Dengan
pertumbuhan sektor pertambangan - 9,2% pada triwulan I-2015, sekilas terkesan
mengkhawatirkan. Namun, kebijakan moratorium ekspor mineral mentah adalah
amanat UU Minerba yang perlu dilaksanakan untuk meraih nilai tambah melalui
pembangunan smelter yang butuh waktu.
Pada Repelita III ditetapkan
moratorium ekspor kayu gelondongan untuk mendorong industri kayu lapis yang
berdampak negatif pada jangka pendek. Sektor ini juga terpengaruh dari
penurunan harga komoditas sehingga nilainya merosot jauh walau volume ekspor
tidak banyak berubah. Kontribusi sektor industri terhadap pertumbuhan turun
drastis dari 1% di triwulan I-2014 menjadi 0,85% di triwulan I-2015.
Otomotif adalah yang subsektor
yang paling terpengaruh dengan penjualan mobil Januari-Mei 2015 turun 16%
dibanding 2014. Mengingat kita akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN, di
mana Thailand dan Malaysia mempunyai basis industri yang kuat, percepatan dan
penguatan tahun ini sangat mendesak. Perdagangan juga mengalami kontraksi
dari berkontribusi 0,82% pada pertumbuhan menjadi hanya 0,5%.
Subsektor pergudangan dan
transportasi khususnya tumbuh negatif 1.2%. Adapun sektor konstruksi juga
mengalami pertumbuhan negatif sebesar 5.9%. Perlambatan beberapa sektor di
atas adalah pertanda melemahnya konsumsi masyarakat. Data BPS menunjukkan,
apabila pilar ini tetap sekuat triwulan I-2014, pertumbuhan ekonomi triwulan
I-2015 akan naik hampir 0,2%.
Kenaikan harga pada penghujung
2014 dan awal 2015 menjadi faktor kuat melemahnya konsumsi rumah tangga.
Tapi, setelah kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan beberapa komoditas akhir
2014, ternyatainflasiJanuari— Juni2015 sebesar 0,97% yang masih lebih rendah
dibandingkan periode serupa pada 2014 (1,98%) dan 2013 (3,31). Artinya,
permintaan masyarakat masih bisa dipicu dengan risiko inflasi masih di bawah
target 2015 (3-5%.)
Jalur
Keluar Resesi
Paket kebijakan pembebasan PPN
yang diumumkan menteri keuangan sepertinya ditargetkan untuk memicu konsumsi
masyarakat. Sayangnya, produk luks seperti tas mewah puluhan juga dibebaskan,
padahal distributornya terbatas dan bisa diawasi dengan ketat. Pemerintah
perlu mempercepat pengisian eselon I dan II sehingga APBN bisa dicairkan.
Dana desa juga harus segera
dikucurkan dengan sistem pelaporan dan pengawasan yang baik. Jargon membangun
dari pinggir dan dari desa memiliki multiplier effect yang tinggi pada
pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan bila dilaksanakan dengan konsisten.
Walaupun berorientasi jangka panjang dengan infrastruktur, program padat
kerja perlu dipertimbangkan untuk mendorong perekonomian jangka pendek.
Loan to deposit ratio (LDR) di
perbankan yang kian tinggi membatasi ekspansi kredit. Data dari Bank
Indonesia menunjukkan bahwa ada perlambatan pertumbuhan kredit di triwulan
I-2015 menjadi hanya 13%. Jauh lebih rendah dari pertumbuhan di tiga triwulan
sebelumnya yang di atas 75%. Perlambatan yang cukup besar dialami kredit pada
sector pertambangan (-40,4%) dan kredit multiguna konsumsi (-35.9%).
Adapun kredit KUR-UMKM yang mengalami
penurunan - 13,9%. Perubahan formula LDR menjadi loan to funding bisa
mendorong ekspansi kredit tanpa mengharuskan penambahan modal. Kebijakan baru
untuk subsidi bunga KUR diharapkan bisa mendorong pertumbuhan kredit dan
usaha kecil. Namun, supaya efektif, diperlukan sosialisasi yang efektif agar
UMKM mengetahui dan bisa mengajukan.
Bank juga dapat berkolaborasi
dengan menitipkan dana KUR pada bank yang memiliki track record dalam
menangani golongan debitur ini. Investasi yang turun kontribusinya pada
pertumbuhan 0,1% perlu didorong lagi. Selain dengan promosi investasi,
langkah riil yang diperlukan adalah simplifikasi perizinan dan kebijakan
politik anggaran dengan memberikan tambahan dana transfer (khususnya DAU) pada
daerah yang lebih baik iklim usahanya.
Tren penurunan pertumbuhan ekonomi
yang dialami Indonesia tidak mudah untuk dilawan dan dibalikkan arahnya.
Dibutuhkan kebijakan yang koheren dengan dirigen dan tim ekonomi yang kokoh.
Tapi, bila prinsip the right person at
the right place diimbangi dengan pembagian tugas yang baik dan
akuntabilitas yang tegas, masa resesi dapat diakhiri dan periode pertumbuhan
dapat dimulai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar